tag:blogger.com,1999:blog-12006403327440524492024-03-14T04:20:12.197+07:00Ika MardianaKumpulan Artikel Muslimtainkhttp://www.blogger.com/profile/12677600963245460989noreply@blogger.comBlogger56125tag:blogger.com,1999:blog-1200640332744052449.post-22936125116687428192009-01-18T22:46:00.004+07:002009-01-18T22:51:45.938+07:00Langkah Mendapatkan Kebahagiaan Hidup Berumah Tangga<div style="text-align: justify;">Allah swt. berfirman, </div><p style="text-align: justify;" class="arabic">وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (الروم) 21</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: center; font-style: italic;">“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” Ar Rum:21</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><strong>Menikah Bukti Keagungan Allah</strong></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Ayat ini sebenarnya bagian dari cerita tanda-tanda keagungan Allah swt. dan kekuasaan-Nya. Bahwa semua yang ada di langit dan di bumi dan segala yang terjadi datang dari-Nya. Termasuk diciptakannya manusia berpasang-pasangan yang dengannya terjadi kelanjutan hidup, seperti yang disebutkan pada ayat di atas. Karenanya hakikat pernikahan dan rumah tangga bagi Allah swt. adalah ikatan yang sangat agung. Karena dengannya nampak keagungan-Nya.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Sebaliknya, ketika manusia hidup di alam perzinaan, yang nampak hanyalah kebinatangan. Bila kebinatangan yang menonjol dalam hidup manusia, kerusakan pasti akan meraja lela. Paling tidak yang pertama kali hancur adalah kemanusiaan. Manusia tidak lagi perduli dengan rumah tangga. Bila rumah tangga hancur, garis nasab akan hilang. Lama ke lamaan manusia tidak tahu lagi siapa sebenarnya yang ia gauli. Tidak mustahil suatu saat - bahkan ini sudah banyak terjadi - akan lahir seorang anak dari hubungan ayah dengan anaknya, atau hubungan ibu dengan anaknya, atau hubungan antara saudara seayah dan sebagainya.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Karena itu pada ayat di atas, Allah swt. menjadikan hakikat berpasang-pasangan sebagai bukti keagungan-Nya, supaya manusia tidak begitu mudah merendahkan dirinya dengan menganggap bahwa berhubungan dengan siapa saja boleh-boleh saja. Tidak, janganlah sekali-kali perbuatan ini dilakukan. Sebab dengan melakukan perzinaan seseorang tidak saja mengahancurkan kemanusiaannya sendiri melainkan lebih dari itu ia telah merendahkan Allah swt. dengan meremehkan tanda-tanda keagungan-Nya.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Jelasnya bahwa dari ayat di atas setidaknya ada tiga langkah yang bisa kita bahas secara mendalam dalam tulisan ini untuk mencapai kebahagiaan dalam rumah tangga:</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">(a) Bangun Jiwa Sakinah</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-indent: 36pt; text-align: justify;">(b) Hidupkan Semangat Mawaddah</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-indent: 36pt; text-align: justify;">(c) Pertahankan Spirit Rahmah.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Dan ketiga langkah ini adalah bekal utama setiap rumah tangga. Bila salah satunya hilang, rumah tangga akan rapuh dan mudah retak. Karena itu hendaklah ketiga langkah tersebut benar-benar dicapai secara maksimal, atau paling tidak mendekatinya.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><strong>Bangun Jiwa Sakinah</strong></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Allah berfirman: <em>litaskunuu ilaihaa</em>, artinya agar kau berteduh wahai para suami kepada istrimu. Kata <em>litaskunuu</em> diambil dari kata <em>sakana yaskunu</em> artinya berdiam atau berteduh. Dari kata <em>sakana</em> ini di ambil istilah <em>sakinah</em> yang kemudian diartikan tenang. Memang bisa saja kata sakana diartikan tenang, tetapi pengertian dalam ayat ini lebih dalam lagi dari sekedar tenang.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Syaikh Ibn Asyur dalam tafsirnya At Tahrir wat Tanwiir mengartikan kata <em>litaskunuu</em> dengan dengan tiga makna:</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">(1) <em>lita’lafuu</em> artinya agar kamu saling mengikat hati, seperti uangkapan <em>ta’liiful quluub</em>. Dalam surah Al Anfal: 63 Allah berfirman: <em>wa allafa baina quluubihim</em> (Dialah Allah yang telah mempersatukan hati di antara mereka). Dengan makna ini maka antara suami istri hendaknya benar-benar membangun ikatan hati yang kuat. Dan sekuat-kuat pengikat hati adalah iman. Maka semakin kuat iman seseorang, semakin kuat pula ikatan hatinya dalam rumah tangganya. Sebaliknya semakin lemah iman seseorang, bisa dipastikan bahwa rumah tangga tersebut akan rapuh dan mudah retak.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">(2) <em>Tamiiluu ilaihaa</em> artinya kau condong kepadanya. Condong artinya pikiran, perasaan dan tanggung jawab tercurah kepadanya. Dengan makna ini maka suami istri bukan sekedar basa-basi untuk bersenang-senang sejenak. Melainkan benar-benar dibangun di atas tekad yang kuat untuk membangun masa depan rumah tangga yang bermanfaat. Karenanya harus ada kecondongan dari masing-masing suami istri. Tanpa kecondongan pasti akan terjadi keterpaksaan.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Karena itu orang tua jangan memaksakan kehendaknya jika memang ternyata dalam diri anaknya tidak ada kecondongan. Saya sering menemukan seorang anak muda mengeluh karena dipaksa orang tuanya untuk menikah dengan si fulanah. Sementara dalam diri anak muda tersebut tidak ada kecondongan sama sekali. Tapi orang tuanya mengancam dan bahkan menganggap ia bukan anaknya jika tidak mengikuti keinginannya.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Ini tentu sikap yang tidak pada tempatnya. Orang tua harus tahu bahwa <em>sakinah</em> dalam rumah tangga tidak akan di capai tanpa adanya kecondongan. Pun orang tua harus tahu bahwa yang akan hidup bersama istrinya adalah sang anak. Maka tidak benar menggunakan kartu merah orang tua, untuk memaksakan kecondongannya supaya anak mengikutinya.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Seringkali rumah tangga hancur karena orang tua tidak meperhatikan kecondongan sang anak. Karena itu untuk membangun sakinah harus ada dalam diri masing-masing suami istri kecondongan.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">(3) <em>Tathma’innuu biha</em> artinya kau merasa tenang dengannya.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Dalam surah Ar Ra’d:28 Allah berfirman: <em>alaa bidzikrillahi tathma’innul quluub</em> (Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram). Dari sini nampak bahwa untuk mencapai ketenangan dalam rumah tangga hanya dengan banyak berdzikir kepada Allah.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Para ulama menyebutkan bahwa dzikir ada tiga dimensi: <em>dzikurullisan</em> (dzikir dengan lidah), <em>dzikrul qalb</em> (dzikir dengan hati) maksudnya hatinya selalu sadar dan ingat kepada Allah, dan <em>dzikrul haal</em> (dzikir dengan perbuatan), maksudnya seluruh perbuatannya selalu dalam ketaatan kepada Allah swt. Maka sungguh tidak mungkin mencapai sakinah rumah tangga yang penuh dengan kemaksiatan kepada Allah swt.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Termasuk kemaksiatan ketika masing-masing suami suka berbohong. Banyak rumah tangga yang retak karena ketidak jujuran masing-masing suami istri. Bila seorang suami suka berbohong pasti sang istri akan gelisah. Selanjutnya ketenangan akan hilang dalam rumah tangga. Sebaliknya bila istri suka berbohong, sang suami pasti tidak akan merasa tenang bersamanya. Bila suami tidak tenang, bisa jadi kelak rumah tangga akan terancam. Dari sini perceraian demi perceraian terjadi. Asal muasalnya karena kebiasaan tidak jujur dan dosa-dosa.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><strong>Hidupkan Semangat Mawaddah </strong></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><em>Mawaddah</em> artinya cinta. Imam Hasan Al Bashri mengartikan kata <em>mawaddah</em> sebagai metafor dari hubungan seks. Jelasnya bahwa <em>mawaddah</em> adalah perasaan cinta dan senang dengannya rumah tangga menjadi bergairah dan penuh semangat. Tanpa <em>mawaddah</em> rumah tangga akan kering. <em>Mawaddah</em> biasanya sangat personal. Ia tidak tergantung kepada kecantikan istri atau ketampanan suami. Boleh jadi di mata banyak orang wanita itu tidak cantik, tetapi sang suami sangat mencintainya. Pun boleh jadi wanita itu disepakati sebagai wanita cantik, tetapi sang suami ternyata sangat membencinya.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Sebagian ulama tafsir mengatakan bahwa cinta biasanya sering menggebu di masa muda atau di awal-awal pernikahan. Lama ke lamaan setelah masuk dalam rutinitas rumah tangga, getaran cinta menjadi melemah. Karenanya Allah swt. bekali <em>rahmah</em> sebagai pengimbangnya, supaya ketika sinyal cinta mulai redup, masih ada semangat <em>rahmah</em> yang akan menyelamatkan rumah tangga tersebut. Lain halnya dengan orang-orang yang membangun rumah tangga hanya dengan modal cinta, rumah tangga rentan mudah roboh dan tidak kokoh.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Ibarat mesin, <em>mawaddah</em> adalah dinamo penggerak yang mengairahkan. Dengan <em>mawaddah</em> rumah tangga menjadi dinamis dan produktif. Sebaliknya bila jiwa <em>mawaddah</em> hilang, rumah tangga akan menjadi monoton tanpa dinamika sama sekali. Dalam penelitian saya minimal ciri <em>mawaddah </em>ada tiga:</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">(a) Katsratut tahaady (selalu saling memberi hadiah), karena seperti kata Nabi saw. dengan saling memberi hadiah cinta akan selalu hangat.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">(b) Katsratu dzikrihi (selalu saling mengingat kebaikannya). Sebab dengan mengingat kebaikannya seseorang akan selalu merasa berhutang budi. Hindari melihat keburukan dan kekurangannya, karena itu akan menumbuhkan kebencian dan perselisihan tiada henti.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">(c) Katsratul ittishaali ma’ahu (selalu saling berkomunikasi) sebab dari kemunikasi akan hilang prasangka. Banyak hal yang sebenarnya dimaksudkan untuk kebaikan, tetapi karena lemahnya komunikasi seringkali kesalahpahaman terjadi.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><strong>Pertahankan Spirit Rahmah</strong></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><em>Rahmah </em>artinya kasih sayang, diambil dari kata <em>rahima yarhamu</em>. Dari kata ini pula diambil kata <em>ar rahmaan</em> salah satu nama Allah swt. Bahwa Allah Maha Penyayang. Para ahli tafsir mengatakan bahwa rahman-Nya Allah meliputi seluruh mahluk-Nya: manusia, binatang, dan mahluk-mahluk lainnya. Termasuk orang-orang yang tidak beriman, karenanya mereka masih bisa hidup dan bisa menikmati fasilitas kehidupan dari Allah, padahal mereka setiap hari tidak mentaati-Nya. Kata <em>rahmah</em> lebih bermakna kesungguhan untuk berbuat baik kepada orang lain, apa lagi kepada keluarga.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Memang setiap orang mempunyai kekurangan, dan tidak ada seorang pun yang mecapai kesempurnaan. Maka jika setiap manusia selalu mempersepsikan adanya pasangan yang sempurna, pasti pada akhirnya ia tidak akan pernah punya pasangan. Dalam pepatah Arab dikatakan: <em>“Man talaba akhan bilaa ‘aibin laqiya bilaa akhin (orang yang mencari kawan tanpa cacat, pasti pada akhirnya ia tidak akan punya kawan).</em></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Kata <em>rahmah</em> lebih mencerminkan sikap saling memahami kekuarangan masing-masing lalu berusaha untuk saling melengkapi. Sikap <em>rahmah</em> menekankan adanya sikap saling tolong menolong dalam bersinergi, sehingga kekurangan berubah menjadi kesempurnaan.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Sikap rahmah seringkali berperan ketika semangat cinta mulai menurun. Biasanya itu terjadi setelah usia suami istri sama-sama mencapai tahap tua. Cucu sudah mulai banyak. Badan banyak sakit-sakitan. Pada saat itu kebertahanan rumah tangga sangat ditopang oleh kekuatan <em>rahmah</em> (kasih sayang).</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Karena itu <em>mawaddah dan rahmah</em> ibarat dua sayap bagi burung. Bila kedua sayap itu berfungsi dengan baik, maka rumah tangga akan berjalan penuh kebahagiaan. Ibarat burung terbang di angkasa, ia menikmati keindahan alam semesta dan penuh dengan kelapangan dada. Tanpa sedikit pun ada beban di hatinya. Terbang ke mana saja ia mau, tidak ada hambatan dan kesulitan.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><strong>Kesadaran Akhirat</strong></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Pada penutup ayat di atas Allah swt. berfirman: <em>inna fiidzaalika laayatil liqawmiyyatafakkaruun</em> maksudnya bahwa itu semua merupakan bukti bagi orang-orang yang berpikir. Yaitu orang-orang yang menggunakan akalnya untuk memahami ajaran Allah swt.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Dalam Al Qur’an banyak sekali penegasan bahwa kelak di hari Kiamat banyak manusia menyesal karena selama di dunia tidak menggunakan akalnya. Allah swt. berfirman,</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><em>“Dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” </em>Al Mulk:10</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Dari sini nampak bahwa yang membedakan antara manusia dan mahluk lainnya adalah karena manusia Allah bekali akal. Dan di antara ciri orang-orang berakal bahwa ia selalu menegakkan kedamaian dalam hidupnya terutama minimal dalam rumah tangganya. Maka ketika ia tidak bisa membangun kedamaian dalam rumah tangganya, bisa dipastikan ia akan gagal dalam lapangan kehidupan yang lain.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Bila seseorang gagal dalam rumah tangga otomatis ia menyesal. Menyesal karena telah menyia-nyiakan kesempatan untuk berbuat baik selama di dunia. Penyesalan itu terjadi kelak setelah ia tahu bahwa ternyata Allah tidak menyia-nyiakan sekecil apapun yang dilakukan manusia. <em>Famayya’mal mitsqaal dzarratin khairay yarah wamay ya’mal mitsqaala dzarratin syarray yarah</em> (Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula.” Qs. Az Zalzalah:7-8.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Kesadaran akhirat seperti inilah yang harus selalu dicamkan oleh setiap suami istri, karena hanya dengan kesadaran ini semua prilaku akan menjadi baik dan rumah tangga akan dijalankan dengan penuh tanggung jawab. <em>Wallahu’ alam bishshwab.</em></p>tainkhttp://www.blogger.com/profile/12677600963245460989noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1200640332744052449.post-74063052228453230332009-01-18T22:38:00.002+07:002009-01-18T22:44:49.521+07:00Orang-orang Yang Beriman itu Bersaudara<div style="text-align: center;">“<em>S</em>esungguhnya o<em>rang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan </em><em>bertakwala</em><em>h </em><em>kepada</em><em> Allah, supaya kamu mendapat rahmat</em>.” (Al-Hujurat: 10) </div><p style="text-align: justify;">Ayat ini dinamakan dengan <em>ayatul ukhuwwah</em> karena berbicara tentang konsepsi Qur’ani yang baku bahwa setiap orang yang beriman terhadap orang lain yang seakidah dengannya adalah bersaudara. Konsep ukhuwwah yang berlandaskan iman ini tepat berada di pertengahan surah Al-Hujurat yang dinamakan juga dengan surah ‘Al-Adab’ karena isi kandungannya yang sarat dengan pembicaraan tentang adab dalam maknanya yang luas; adab dengan Allah, adab dengan RasulNya, adab dengan diri sendiri dan adab dengan sesama orang yang beriman.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Sesungguhnya perbedaan adalah sunnatullah yang tidak akan berubah. Di sinilah iman yang berbicara menyikapi perbedaan tersebut dalam bingkai akidah.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Secara redaksional, keterkaitan dan hubungan antar orang yang beriman begitu erat digambarkan dalam ayat di atas karena menggunakan istilah ‘ikhwah’ bukan ikhwan yang secara bahasa ikhwah bermakna saudara sekandung yang mempunyai hubungan dan ikatan darah keturunan. Seolah-olah mengisyaratkan sebuah makna yang dalam bahwa ikatan ideologis sama kuatnya dengan ikatan nasab, bahkan seharusnya lebih besar dari itu. Di sini mengandung arti bahwa keimanan seseorang masih harus diuji dengan ujian persatuan dan persaudaraan tanpa memandang ras, suku, dan bangsa. Rasulullah mengingatkan eratnya hubungan antar orang beriman dengan tamsil yang indah, “Seorang mukmin bagi mukmin yang lain ibarat satu bangunan yang saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya. Kemudian Rasulullah menggenggam jari-jemarinya.” (Bukhari & Muslim)</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Yang menarik perhatian di sini, pembicaraan Allah tentang kesatuan umat yang dominan dalam surah ini didahului dengan perintah untuk mendahulukan Allah dan RasulNya atas selain keduanya dalam semua aspek. “<em>Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului atas (aturan) Allah dan RasulNya. Dan bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui</em>.” (Al-Hujurat: 1). Hal ini menunjukkan bahwa Allah sebenarnya sangat menginginkan kebaikan untuk hamba-hambaNya yang beriman. Untuk itu, Allah mencabut dari dalam hati mereka sifat kufur, fasik, dan kemaksiatan sehingga mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk. Dan inilah sesungguhnya kenikmatan dan keutamaan yang tidak terhingga bagi setiap muslim yang tercermin dalam ungkapan Allah “Fadhlan minallah wani’mah”.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Sayyid Quthb menyimpulkan berdasarkan ayat di atas bahwa taat kepada Allah dan RasulNya merupakan benteng yang kokoh untuk menghindari perpecahan dan pertikaian yang akan merapuhkan kekuatan dan persatuan umat. Karena dengan mendahulukan taat kepada Allah dan RasulNya, maka akan lenyaplah benih-benih pertikaian yang kebanyakannya berawal dari perbedaan cara pandang yang bersumber dari hawa nafsu yang diperturutkan. Sehingga mereka masuk ke dalam kancah peperangan dalam keadaan menyerahkan segala urusan secara totalitas kepada Allah swt. Inilah faktor yang sangat fundamental bagi kebaikan generasi terbaik dari umat ini sepanjang sejarah.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Di sini jelas, konsekuensi dari ukhuwwah seperti yang ditegaskan oleh ayat ukhuwah di atas adalah adanya sikap saling menyayangi, memberikan kedamaaian, keselamatan, saling tolong menolong, dan menjaga persatuan. Inilah prinsip yang harus ditegakkan dalam sebuah masyarakat muslim. Sedangkan perselisihan dan perpecahan merupakan pengecualian dari sebuah ukhuwah yang harus dihindari. Maka memerangi kelompok yang merusak persatuan dan ukhuwah umat adalah dibenarkan, bahkan diperintahkan dalam rangka melakukan ishlah dan mengembalikan mereka ke dalam barisan kesatuan ini. “Maka perangilah kelompok yang melampaui batas sehingga mereka kembali kepada aturan Allah swt.” (Al-Hujurat: 9)</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Dalam hal ini, Rasulullah saw. memberi motivasi akan pentingnya menjaga keutuhan umat dengan menjaga persaudaraan diantara mereka, “Sesungguhnya kedudukan seorang mukmin di kalangan orang-orang beriman adalah seperti kepala dari tubuhnya. Ia akan merasa sakit jika badannya sakit.” (Imam Ahmad). Nash hadits yang mirip dengan ini adalah sabda Rasulullah yang bermaksud, “Perumpamaan orang-orang beriman dalam kecintaan, kelembutan dan kasih sayang di antara mereka ibarat satu tubuh. Jika salah satu anggota sakit, maka seluruh anggota turut merasakannya dengan tetap berjaga dan demam.” (Muslim & Ahmad). Dalam riwayat Muslim juga dinyatakan, “Orang-orang yang berlaku adil akan berada di atas mimbar yang bercahaya di hari kiamat. Yaitu mereka yang berlaku adil dalam urusan orang-orang muslim dan tidak berlaku dzalim.” Kemudian Rasulullah membaca ayat ukhuwah di atas. Maka ayat ini merupakan <em>ilat</em> dari perintah untuk melakukan ishlah terhadap sesama muslim untuk memelihara dan membangun ukhuwah antar mereka.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Pada tataran kaidah ilmu Al-Qur’an, meskipun ayat ini turun karena sebab tertentu, namun ayat ini merupakan ayat muhkam yang harus dijadikan sebagai kaidah umum yang bersifat universal yang akan tetap berlaku bagi setiap kejadian di tengah-tengah komunitas kaum beriman, karena iman dan ukhuwwah merupakan harga yang sangat mahal, sampai Allah tetap menamakan mereka ‘<strong>orang yang beriman</strong>‘ meskipun terjadi perselisihan, bahkan peperangan di antara dua golongan tersebut seperti yang ditegaskan dalam firmanNya, “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya.” (Al-Hujurat: 9). Inilah realitas Qur’ani yang sangat mungkin terjadi pada siapapun dan kelompok manapun. Namun tetap Allah mengingatkan satu prinsip, yaitu ukhuwah dan persatuan umat merupakan modal untuk meraih rahmat Allah swt. seperti yang tercermin dari petikan ayat terakhir ‘La’allakum turhamun’ <em>supaya kamu mendapat rahmat</em>.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Ayat-ayat selanjutnya berbicara tentang tips Qur’ani untuk memelihara dan menjaga keberlangsungan ukhuwwah. Di antaranya:<br /></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-weight: bold;">Pertama</span>, siap menerima dan melakukan Ishlah (fa’ashlihu bayna akhawaikum).<br /></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-weight: bold;">Kedua</span>, menghindari kata-kata hinaan/olok-olokan (la yaskhar qaumun min qaumin).<br /></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-weight: bold;">Ketiga</span>, menghindari su’udz zhan (ijtanibu katsiran minadz dzan).<br /></p><p style="text-align: justify;"><span style="font-weight: bold;">Keempat</span>, menghindari ghibah dan mencari-cari kesalahan (la tajassasu wala yaghtab ba’dhukum ba’dhan).<br /></p><p style="text-align: justify;">Seluruh etika dan adab ini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang senantiasa dipandu dan merujuk kepada barometer iman.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Sesungguhnya setan memang telah berputus asa dari membujuk dan menggoda manusia agar menyembahnya di jazirah Arab. Maka mereka akan senantiasa menyemai benih permusuhan dan pertikaian di antara orang-orang yang beriman. Maka ishlah harus dilakukan dengan cara apapun –meskipun menurut Syekh Sholih bin Al-Utsaimin– harus mengorbankan segalanya, karena hasil aktivitas ishlah itu selalu baik, dan itu demi menjaga kesatuan umat. “Wash-Shulhu Khair”.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Syekh Musthafa Masyhur dalam bukunya “jalan dakwah” mengingatkan betapa penting dan perlunya bersaudara karena Allah dalam konteks dakwah dan keumatan. Inilah yang pertama sekali Rasulullah lakukan ketika mempersaudarakan antara orang-orang muhajirin dan Anshor. Merekalah contoh teladan yang indah dan agung tentang cinta dan ikrar yang mengutamakan persaudaraannya lebih dari segalanya. “<em>Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung</em>.” (Al-Hasyr: 9)</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Saatnya kita mulai melihat sejauh mana peran kita di dalam membangun dan memelihara kesatuan umat Islam. Jangan sampai kemudian kita justru menjadi pelopor atau provokator terjadinya perpecahan umat. Karena dakwah Islam adalah dakwah yang dibangun di atas prinsip persaudaraan sesuai. Dalam kamus generasi awal umat Islam, menjaga keutuhan dan kesatuan umat merupakan amal prioritas yang menduduki peringkat pertama dari amal-amal yang mereka lakukan. Dan sarananya adalah dengan memelihara, membina, dan memperkuat tali persaudaraan antar mereka yang sesungguhnya sejak awal telah diikat oleh Allah ketika seseorang menyatakan keIslamannya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara.”</p>tainkhttp://www.blogger.com/profile/12677600963245460989noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1200640332744052449.post-71273507976657123762009-01-18T22:27:00.003+07:002009-01-18T22:34:13.567+07:00Bagaimana Pahala (amalanmu) Tidak Terbuang Percuma<div style="text-align: center;"> “<em>Hai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah,<br />juga taatlah kalian kepada RasulNya, dan janganlah kalian mensia-siakan (pahala) amal kalian</em>“. (Muhammad: 33) </div><p style="text-align: justify;">Memang Ramadhan dalam konteks waktu dan salah satu dari bulan Allah sudah berlalu meninggalkan kita. Namun semangat dan nilai Ramadhan sepatutnya tetap hadir menyertai keseharian kita. Ramadhan bukan “satu-satunya” bulan untuk beramal dan bertaqarub kepada Allah. Ramadhan hanya momentum untuk meningkatkan dan memaksimalkan kebaikan kita sebagai bekal menghadapi sebelas bulan berikutnya. Untuk itu, Ramadhan akan senantiasa hadir menyambangi kita pada setiap tahunnya. Alangkah rugi dan pelitnya seseorang yang hanya mau bersemangat beribadah dan beramal shalih hanya di bulan tertentu. Demikian juga tidaklah baik seseorang yang hanya mampu beribadah dengan baik dan maksimal di tempat tertentu yang mengandung nilai pahala lebih, seperti di Mekkah misalnya ketika menunaikan ibadah umrah atau haji, namun setelah pulang ke tanah air, kelesuan beribadah kembali terjadi di mana-mana.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Ayat ini oleh sebagian mufassir dijadikan dasar akan hilangnya pahala amal kebaikan yang berhasil dilakukan oleh seseorang jika setelah kebaikan itu ia kembali terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan, atau jika ia tidak mampu mempertahankan kebaikan tersebut di waktu berikutnya. Ayat ini juga secara korelatif memiliki hubung kait yang erat dengan ayat sebelumnya: <em>“Sesungguhnya orang-orang kafir dan (yang) menghalangi manusia dari jalan Allah serta memusuhi Rasul setelah petunjuk itu jelas bagi mereka, mereka tidak dapat memberi mudharat kepada Allah sedikitpun. dan Allah akan menghapuskan (pahala) amal-amal mereka.”</em> (Muhammad: 32).</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Kontens kedua ayat tersebut intinya berbicara tentang perilaku yang dapat menyia-nyiakan amal kebaikan, Perbedaannya, pada ayat 32 ini ancaman Allah ditujukan kepada mereka yang menghalangi manusia dari jalan Allah dan memusuhi Rasulullah saw, sehingga pada ayat 33 Allah mengingatkan orang-orang yang beriman agar tidak menyia-nyiakan amal ketaatan mereka dengan apapun bentuknya seperti yang diancamkan oleh Allah kepada golongan yang ingkar sebelum mereka. Di sini bentuk kasih sayang Allah terhadap kekasih-Nya dari orang-orang beriman sangat ketara agar mereka tetap ta’at kepad-aNya kapanpun dan di manapun, tanpa ada batasan waktu dan tempat, apalagi alasan sempat dan tidak sempat.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Ayat ketiga yang berbicara tentang perilaku yang dapat mensia-siakan amal baik seseorang adalah surah Al-Hujurat: 2 yang bermaksud:</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><em>“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.”</em> (Al-Hujurat: 2).</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Adab kepada Rasulullah saw. dalam berbicara yang disebutkan oleh ayat ini langsung diperintahkan oleh Allah sawt. yang ditujukan secara langsung juga kepada orang yang beriman, karena pada hakikatnya taat kepada Rasulullah adalah taat kepada Allah, <em>“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.”</em> (An-Nisa’: 80).</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Justeru tidak berakhlak baik kepada Rasulullah dalam segala bentuknya dapat mengakibatkan hapusnya pahala kebaikan yang dilakukan oleh orang yang beriman.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Terdapat banyak pendapat para ulama tentang sikap dan perilaku yang mengakibatkan terhapusnya amal baik seseorang.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Imam Ath-Thabari, Ibnu Katsir dan Al-Qurthubi misalnya menyebutkan bahwa mensia-siakan amal adalah dengan melakukan kaba’ir (dosa-dosa besar. Pendapat seperti ini pernah dikemukakan oleh Hasan Al-Bashri dengan berhujjah dengan surat Al-Hujurat: 2, bahwa tidak beradab kepada Rasulullah merupakan dosa besar yang dapat menghapus pahala amal shalih seseorang.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Imam Qatadah pula berpendapat bahwa amal kebaikan akan sia-sia apabila setelah itu diiringi dengan kembali melakukan dosa dan kemaksiatan. Sedangkan Ibnu Abbas berpandangan bahwa amal kebaikan itu dikhawatirkan akan hapus pahalanya jika disertai dengan riya’ dan ‘ujub (berbangga diri).</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Secara umum pendapat mereka berkisar pada segala jenis kemaksiatan dan dosa, apapun bentuknya dikhawatirkan akan menghapus dan mensia-siakan amal taat yang pernah dilakukan oleh seseorang.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Pandangan para ulama di atas diperkuat oleh sebab turun ayat ini seperti yang diriwayatkan oleh Abul Aliyah. Abul Aliyah menukil riwayat tentang sebab turun ayat ini bahwa para sahabat sebelum turun ayat ini memandang tidak masalah berbuat dosa karena mereka telah beriman, seperti juga mereka menganggap bahwa tidak ada gunanya amal jika disertai dengan syirik. Maka turunlah ayat ini yang menegur mereka agar berhati-hati dengan setiap dosa karena dapat mensia-siakan amal.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Oleh karena itu, seorang muslim “yang cerdas” adalah seorang yang mampu meneruskan musim ketaatan pasca Ramadhan. Demikian pula, sejatinya orang yang telah mengukir prestasi dengan beramal dan menjalankan ketaatan yang maksimal di bulan Ramadhan, sangat disayangkan jika setelah melewatinya kembali masuk dalam kelompok pelaku maksiat. Sebagaimana orang-orang yang sudah berhasil merasakan lezatnya ketaatan, indahnya ibadah, sangat disayangkan jika harus kalah dan kembali pada kesengsaraan karena berlumuran dosa dan kemaksiatan. Padahal di antara tanda diterimanya suatu amal ibadah seseorang adalah jika dia dapat konsisten dan lebih banyak lagi melakukan amal tanpa melihat waktu atau bulan tertentu dan tempat tertentu yang memiliki keutamaan. <em>“Jadilah hamba Rabbani, dan bukan hamba Ramadhani.”</em> Dan itulah makna hakiki dari firman Allah swt, “<em>Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)”</em>. (Al-Hijr: 99).</p>tainkhttp://www.blogger.com/profile/12677600963245460989noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1200640332744052449.post-66690628399481049352009-01-18T22:22:00.002+07:002009-01-18T22:25:59.668+07:00Berhati-hatilah Dalam Najwa (berbisik-bisik)<div style="text-align: center;"><em>“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan (pembicaraan rahasia) mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena semata-mata mencari ridha Allah, maka kelak Kami memberikan kepadanya pahala yang besar (surga)”.</em> (An-Nisa’: 114) </div><p style="text-align: justify;">Secara bahasa, najwa merupakan sebuah istilah yang menunjuk pada pembicaraan rahasia (berbisik-bisik) yang berlangsung antara dua orang atau lebih tentang sesuatu hal. Namun istilah ini lebih banyak berkonotasi negatif karena seringkali pada realitasnya, kebanyakan materi najwa adalah dalam konteks kemaksiatan dan tuduhan negatif tentang orang lain atau ghibah. Sampai Allah swt menafikan adanya kebaikan yang diharapkan dari model pembicaraan seperti ini. “Tidak ada kebaikan pada najwa” demikian klausul pertama dari ayat di atas melainkan jika materi yang dibicarakan adalah materi yang mengarah kepada kebaikan dan ishlah.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Ungkapan “kebanyakan” pada ayat di atas boleh jadi mengisyaratkan banyak dan maraknya aktivitas ini di tengah-tengah masyarakat. Bahkan seringkali dijadikan alternatif di sela-sela kejenuhan rutinitas dunia kerja atau di saat waktu luang dan kosong dari aktifitas yang bermanfaat. Padahal diantara indera manusia yang paling aktif dan produktif bekerja adalah mulut, sehingga indera ini perlu dikawal dan diarahkan kepada kebaikan. “Barangsiapa yang mampu menjaga lisannya dan anggota yang berada diantara kedua pahanya, maka aku jamin baginya surga”. (H.R. Tirmidzi) Demikian jaminan Rasulullah saw terhadap mereka yang mampu bersikap bijak dan arif dalam memanfaatkan anugerah Allah yang berupa lisan.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Dalam memahami ayat ini, sahabat Sofyan Ats-Tsauri, mengkaitkannya dengan hadits Rasulullah saw yang menyebutkan bahwa seluruh pembicaraan anak Adam akan memberikan keburukan kepadanya, kecuali jika dalam rangka berdzikir kepada Allah atau memerintah kepada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran. Tepat seperti tiga alternatif yang disodorkan Allah dalam konteks najwa: “kecuali bisikan-bisikan tentang memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia”. Karena jika tidak, dalam pembicaraan seseorang dengan saudaranya secara sembunyi-sembunyi seringkali diintai dan dijadikan perangkap syetan dalam rangka memperkeruh dan menyebabkan kedukaan di tengah orang-orang yang beriman, “Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari syaitan, supaya orang-orang yang beriman itu berduka cita”. (Al-Mujadilah: 10)</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Secara korelatif dan berdasarkan susunannya dalam mushaf, ayat ini muncul setelah 9 ayat sebelumnya diturunkan berhubungan dengan peristiwa pencurian yang dilakukan oleh seorang laki-laki Anshor, Thu’mah bin Ubairiq. Ia menyembunyikan barang curian milik Qatadah bin An-Nu’man di rumah seorang yahudi, Zaid bin As-Samin agar tuduhan diarahkan kepadanya. Ketika peristiwa ini diketahui, Thu’mah tidak mengakui perbuatannya, mala ia menuduh orang yahudi yang mencuri barang itu. Bukan itu saja, kerabat-kerabat Thu’mah mengadukan kasus ini kepada Nabi dan meminta beliau membela Thu’mah dan menghukum yahudi, kendatipun mereka tahu bahwa yang mencuri barang itu adalah Thu’mah. Nabi sendiri hampir-hampir membenarkan tuduhan Thu’mah dan kerabatnya sampai turun ayat “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena membela orang-orang yang khianat”. (An-Nisa’: 105). Betapa kejahatan berawal dari tuduhan yang dilakukan secara kolektif yang merupakan materi yang banyak dibicarakan dalam najwa di tengah-tengah masyarakat.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Menurut Ash-Shabuni, relevansi ayat di atas dengan ayat-ayat sebelumnya dapat dipahami dari tiga hal berikut:<br /></p><p style="text-align: justify;"><strong>Pertama</strong>, apapun materi pembicaraan, baik secara rahasia (berbisik-berbisik) maupun terang-terangan tidak akan lepas dari pengetahuan Allah swt. <strong><br /></strong></p><p style="text-align: justify;"><strong>Kedua</strong>, segala rencana dan usaha, meskipun dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan rahasia akan diketahui Allah swt. <strong><br /></strong></p><p style="text-align: justify;"><strong>Ketiga</strong>, tidak ada kebaikan yang diharapkan dari pembicaraan rahasia (berbisik-bisik) kecuali dengan tujuan kebaikan dan perdamaian (ishlah).</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Secara tematis, pembahasan tentang tema “najwa” secara lebih luas ditemukan dalam surah Al-Mujadilah ayat 7 hingga ayat 10. Lebih khusus, larangan berbuat demikian secara tegas ditujukan kepada orang-orang yang beriman. “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan rahasia, janganlah kamu membicarakan tentang perbuatan dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasul. Dan bicarakanlah tentang membuat kebaikan dan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepadaNya kamu sekalian akan dikembalikan”. (Al-Mujadilah: 9). Menurut Al-Qurthubi, larangan yang ditujukan kepada orang yang beriman tentang perbuatan ini disertai dengan perintah mengenainya. “<em>Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melakukan pembicaraan rahasia seperti yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang Munafik. Tetapi lakukanlah dengan tujuan meraih ketaatan, ketakwaan dan menghindar diri dari apa yang dilarang Allah swt</em>“.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Kebiasaan jelek dari najwa orang-orang yahudi dan munafik terungkap dari sebab nuzul surah Al-Mujadilah ayat 8. Berdasarkan riwayat yang dikemukakan oleh Al-Qurthubi, ayat ini turun secara khusus tentang orang-orang yahudi dan munafik yang biasa melakukan najwa sambil memandang orang-orang beriman dengan pandangan yang menghina dan merendahkan. Sungguh amat buruk prilaku mereka yang kecam oleh Allah swt. Tentu orang-orang beriman harus berbeda dan menghindari perilaku buruk seperti mereka.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Abu Hayan menambahkan, kebiasaan yahudi dan munafik dalam melakukan pembicaraan rahasia adalah dalam konteks perbuatan dosa secara umum, kemudian dalam konteks menyulut permusuhan yang akan memberatkan jiwa seseorang karena terdapat tindakan menzalimi orang lain, dan terakhir dalam konteks yang lebih besar dari itu yaitu untuk merencanakan tindakan penghinaan dan pendurhakaan terhadap Rasulullah saw. Demikian bentuk dan materi pembicaraan orang-orang yahudi dan munafik yang diungkap oleh Al-Qur’an secara berurutan.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Pembicaraan rahasia yang berunsur penghinaan dan pelecehan terhadap Nabi pernah dilakukan oleh para pemuka Quraisy ketika mereka diundang makan bersama Rasulullah saw. Setelah Rasulullah bersama mereka, beliau membacakan ayat Al-Qur’an dan mengajak mereka beriman kepada Allah swt. Maka para pemuka Quraisy berbisik-bisik diantara mereka dengan mengatakan, “ia (Muhammad) adalah tukang sihir, orang gila dan hanya membawa cerita-cerita dongeng belaka”. Begitu tuduhan yang disebarkan diantara mereka terhadap Rasulullah saw yang ternyata banyak dibicarakan dalam forum pembicaraan rahasia diantara mereka. Allah swt mengungkapkan kejadian ini dalam firmanNya, “Kami lebih mengetahui dalam keadaan bagaimana mereka mendengarkan sewaktu mereka mendengarkan kamu, dan sewaktu mereka berbisik-bisik (yaitu) ketika orang-orang zalim itu berkata: “Kamu tidak lain hanyalah mengikuti seorang laki-laki yang kena sihir”. (Al-Isra’: 47).</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Memang tergelincirnya pembicaraan seseorang dari ruang kebaikan dan takwa tidak terlepas dari peran syetan yang senantiasa berperan aktif dalam menghiasi pembicaraan rahasia diantara mereka. “Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari syetan, supaya orang yang beriman itu berduka cita, sedang pembicaraan itu tidaklah memberi mudharat sedikitpun kepada mereka kecuali dengan izin Allah. Dan kepada Allahlah hendaknya orang-orang yang beriman itu bertawakkal”. (Al-Mujadilah: 10)</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Dalam konteks sekarang, betapa kita harus lebih banyak waspada terhadap apapun jenis pembicaraan yang kita lakukan agar terhindar dari pembicaraan yang justru akan menjadi bumerang dan berdampak buruk kepada diri kita, apalagi di tengah hiruk pikuk pembicaraan yang banyak bernuansa negatif, berunsur provokatif dan berbau tuduhan dan fitnah. Padahal dengan tegas, Allah menyatakan, “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan oleh seseorang melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”. (Qaaf: 18). Hanya kepada Allah kita memohon perlindungan diri dari segala bisikan syetan dalam setiap pembicaraan kita agar terlepas dari jerat kemaksiatan dan kesesatan yang dihembuskannya.</p>tainkhttp://www.blogger.com/profile/12677600963245460989noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1200640332744052449.post-63406292813295537782009-01-18T22:19:00.002+07:002009-01-18T22:21:25.641+07:00Pondasi Umat muslimin<div style="text-align: center;"><strong>“</strong><em>Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat ihsan, serta memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran</em>” (An-Nahl: 90). </div><p style="text-align: justify;">Ayat ini merupakan diantara sekian ayat yang terbilang paling akrab di telinga kaum muslimin karena biasa dijadikan ayat penutup yang dibaca oleh khatib sebelum mengakhiri khutbah jum’at atau khutbah hari raya. Secara cermat ditemukan bahwa redaksi ayat ini bersifat umum, karena perintah Allah dalam ayat ini tidak ditujukan kepada sasaran tertentu, misalnya “Ya’murukum” (memerintah kalian) seperti dalam ayat-ayat yang lain, tetapi cukup dengan kata “Ya’muru” (memerintah). Sehingga ayat ini harus dipahami sebagai ayat universal yang mengikat seluruh hamba Allah tanpa ada beban fanatisme golongan, ideologi, suku bangsa dan sebagainya. Karena secara fithrah memang manusia dilahirkan membawa prinsip-prinsip kebaikan yang diperintahkan dalam ayat ini dan membenci perilaku keburukan yang dicegah dalam ayat ini. Bahkan dengan tegas -karena melihat kandungan yang terangkum di dalam ayat ini- Abdullah bin Mas’ud ra sampai menyimpulkan bahwa ayat ini adalah ayat yang paling komprehensif (yang paling luas cakupannya) di dalam Al-Qur’an tentang kebaikan-kebaikan yang diperintahkan dan keburukan-keburukan yang harus dicegah.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Bagi Utsman bin Madh’un, ayat ini memiliki keistimewaan dan kesan tersendiri. Pada mulanya, ia memeluk Islam hanya karena malu dengan Rasulullah saw. Namun ketika ia berada di sisi Rasulullah saw dan ikut menyaksikan peristiwa saat ayat ini turun, ia merasakan satu kekuatan iman yang menembus ke dalam hatinya. Ia mulai yakin akan keagungan prinsip-prinsip hidup dan kehidupan yang akan ditegakkan oleh Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bahkan berbangsa dan bernegara.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Diriwayatkan oleh Imam Ahmad mengenai sebab turun ayat ini, bahwa Abdullah bin Abbas menceritakan, “Ketika Rasulullah saw sedang duduk di halaman rumahnya, tiba-tiba Utsman bin Madh’un melintas di depan. Maka Rasulullah memanggilnya dan mengajaknya duduk bersama. Namun ketika sedang berlangsung pembicaraan diantara keduanya, tiba-tiba Rasulullah menengadahkan pandangannya ke langit beberapa saat, kemudian menundukkan kepalanya dan bergeser dari tempat duduknya ke sebelah kanan. Beliau menganggukkan kepala seakan-akan mengiyakan apa yang disampaikan kepadanya. Selang beberapa saat, beliau kembali mengangkat pandangannya ke langit seperti yang terjadi pada kali pertama, lantas beliau kembali ke tempat duduknya di samping Utsman bin Madh’un. Maka melihat kejadian yang tidak biasa tersebut, Utsman bertanya kepada Rasulullah saw, “Hai Muhammad, kenapa aku melihat engkau tadi mengangkat pandanganmu ke langit dan mengangguk-anggukan kepala seakan-akan mengiayakan sesuatu dan engkau bergeser menjauh dariku?”. Rasulullah balik bertanya, “Apakah engkau tadi memperhatikan apa yang terjadi?”. Utsman menjawab singkat, “Ya”. Rasulullah berkata, “Telah datang kepadaku tadi seorang Rasul Allah”. Dengan nada terkejut Utsman bertanya, “Seorang Rasul Allah?”. Rasulullah menjawab, “Benar”. Utsman bertanya lagi, “Apakah yang ia sampaikan kepadamu?”. Rasulullah menjelaskan, “Ia datang membawa wahyu kepadaku” Lantas Rasulullah membacakan surah An-Nahl ayat 90″.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Dalam riwayat Al-Qurthubi, setelah kejadian ini, dengan modal keyakinan yang mendalam Utsman bin Madh’un lantas membacakan ayat ini kepada Al-Walid bin Al-Mughirah, seorang yang sangat dikenal piawai dalam dalam bidang sastra di kalangan orang-orang Arab pada masa itu. Demi mendengar ayat tersebut dibacakan kepadanya, spontan keluar dari lisannya pernyataan yang memeranjatkan semua orang, termasuk para pemuka Quraisy yang memang menaruh dendam kepada Rasulullah, “Demi Allah, sungguh Al-Qur’an ini memiliki kelezatan dan keindahan. Di atasnya berbuah dan di bawahnya berakar, dan ini bukanlah kata-kata manusia”. Bahkan diriwayatkan bahwa Al-Walid meminta Utsman untuk mengulangi bacaan ayat ini.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Berdasarkan komprehensifitas kandungan ayat ini, terdapat tiga prinsip yang terangkum di dalamnya yang ditawarkan oleh Al-Qur’an agar dijadikan landasan dalam upaya membangun umat dan menata sebuah masyarakat, yaitu prinsip <strong><em>keadilan</em></strong>, prinsip <strong><em>ihsan</em></strong> dan prinsip <strong><em>takaful</em> </strong>yang dicontohkan dalam skala mikro dengan memberi bantuan kepada kaum kerabat. Ketiga sendi ini merupakan landasan aplikatif untuk membendung dan mengantisipasi gerak <em>Al-Fahsya’</em> yaitu segala perbuatan yang didasarkan pada pemenuhan hawa nafsu, seperti zina, minuman yang memabukkan dan sebagainya. <em>Al-Munkar</em>, yaitu perbuatan buruk yang bertentangan dengan akal sehat, seperti mencuri, merampok dan tindakan aniaya lainnya. <em>Al-Baghyu</em>, yaitu tindakan yang mengarah kepada permusuhan, seperti kezaliman, tindakan sewenang-wenang dan sebagainya. Ketiga kekuatan perusak ini merupakan penyakit masyarakat yang akan senantiasa merongrong keutuhan dan eksistensi umat. Karenanya, sebuah masyarakat tidak mungkin bisa tegak di atas dasar kekejian, kemungkaran dan permusuhan. Demikian juga, sebuah masyarakat yang telah tersebar di tengah-tengahnya perbuatan keji dengan segala warna dan kemasannya, kemungkaran dengan segala daya tariknya dan permusuhan dengan segala bentuknya tidak akan mungkin bangkit dari keterpurukan dan senantiasa berada dalam kesengsaraan.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Ibnu Katsir mengomentari bahwa dalam ayat ini Allah memerintahkan semua hamba-hambaNya agar menjunjung tinggi nilai keadilan dan keseimbangan dalam semua urusan dan selanjutnya menganjurkan bersikap ihsan dalam setiap perbuatan. Maka ayat ini merupakan dalil akan perintah berlaku adil dan anjuran untuk bersikap ihsan. Sedangkan hubungan yang ketara antara adil dan ihsan adalah bahwa keadilan merupakan sebuah kewajiban syariat, sedangkan ihsan merupakan sikap yang lebih di atas sikap adil. Karenanya berusaha mencapai derajat ihsan dalam semua perbuatan merupakan satu hal yang sangat dianjurkan.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Berbeda dengan Syekh Abu Hamid Al-Ghozali. Ia menuturkan pandangannya tentang konsep adil dan ihsan sebagai sebuah perintah yang harus dilaksanakan secara bersamaan. Ia menyatakan bahwa melalui ayat ini, Allah memerintahkan hambaNya agar bersikap adil dan ihsan secara bersamaan. Karena sikap adil hanya akan membawa kepada keselamatan. Seperti halnya dalam aktifitas perniagaan, hanya mengembalikan modal. Sedangkan sikap ihsanlah yang akan memberikan kemenangan dan kebahagiaan. Yaitu keuntungan yang lebih dari modal dalam konteks perniagaan. Sehingga, sepatutnya seorang hamba Allah tidak cukup berpuas hati karena hanya mampu melaksanakan adil tanpa dibarengi dengan ihsan. Oleh karenanya, Allah menggandengkan kedua sikap ini dalam ayatNya. Bahkan, Allah justru banyak memuji sikap ihsan di dalam ayat-ayatNya. Diantaranya, “Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan ihsan”. (Al-Kahfi: 30). <span style="font-style: italic;">“Dan berbuat ihsanlah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat ihsan kepadamu”. </span>(Al-Qashash: 77)</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Dalam konteks ini, Sayid Qutb memaparkan pemahaman tafsirnya dengan pendekatan <em>ijtima’i</em> yang menjadi ciri khas tafsirnya, bahwa di ayat inilah Al-Qur’an datang dengan membawa <em>mabadi’ </em>(prinsip-prinsip) yang akan menguatkan simpul-simpul yang terjalin di dalam sebuah masyarakat yang akan menjadi penenang bagi setiap individu, umat dan bangsa. Allah mengawalinya dengan prinsip Al-Adl yang harus dijadikan penopang sebagai kaidah yang baku dalam pergaulan sehari-hari. Terlebih lagi, prinsip Al-Adl di dalam ayat ini digandengkan dengan Al-Ihsan untuk melembutkan ketajaman keadilan yang solid. Karena kata Ihsan lebih luas penunjukannya. Maka ihsan mencakup seluruh sendi-sendi kehidupan dari hubungan seorang hamba dengan Rabbnya, hubungan dengan keluarganya, masyarakatnya dan dengan kemanusiaan dalam arti yang luas.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Menurut susunan kalimat dalam ayat ini, penyebutan “Ita’idzil Qurba” (memberi kepada kaum kerabat) setelah Al-Adl dan Al-Ihsan adalah untuk menunjukkan bentuk konkret salah satu dari perbuatan ihsan. Penyebutan khusus kalimat ini hanyalah dalam konteks <em>ta’dzim</em> (pengagungan) terhadap hubungan dengan kaum kerabat dan sebagai <em>ta’kid</em> (penegasan) terhadap konsep ihsan tersebut yang bisa dilakukan secara bertahap, dari wilayah yang paling dekat sampai ke wilayah yang jauh yang meliputi seluruh anggota masyarakat.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Betapa paksi <em>keadilan</em>, <em>ihsan</em> dan <em>takaful</em> dalam struktur bangunan masyarakat ini terasa semakin lenyap dan hilang dari kesehariannya, baik dalam skala pribadi, keluarga maupun masyarakat. Kalaupun ada, masih sangat terbatas dan sangat rapuh. Sedangkan tiga kekuatan penghancur yang tampil dalam kemasan kekejian, kemungkaran dan permusuhan justru semakin menunjukkan eksistensi kekuatannya di tengah umat yang sedang berusaha bangkit dari keterpurukan. Tiga kekuatan ini muncul serentak dalam beragam bentuk dan warnanya. Cukuplah ayat ini menjadi wejangan yang sangat berharga untuk mengembalikan <em>izzatul Islam wal Muslimin</em>. “<em>Dia (Allah) memberi pengajaran kepadamu (dengan ayat ini) agar kamu dapat mengambil pelajaran</em>.” Allahu a’lam</p>tainkhttp://www.blogger.com/profile/12677600963245460989noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1200640332744052449.post-33167518665470253342009-01-17T13:06:00.002+07:002009-01-17T13:09:58.992+07:00Kiat Praktis Menghadapi Persoalan Hidup<div style="text-align: justify;">Suatu hal yang pasti tidak akan luput dari keseharian kita adalah yang disebut masalah atau persoalan hidup, dimanapun, kapanpun, apapun dan dengan siapapun, semuanya adalah potensi masalah. Namun andaikata kita cermati dengan seksama ternyata dengan persoalan yang persis sama, sikap orangpun berbeda-beda, ada yang begitu panik, goyah, kalut, stress tapi ada pula yang menghadapinya dengan begitu mantap, tenang atau bahkan malah menikmatinya.<br /><br />Berarti masalah atau persoalan yang sesungguhnya bukan terletak pada persoalannya melainkan pada sikap terhadap persoalan tersebut. Oleh karena itu siapapun yang ingin menikmati hidup ini dengan baik, benar, indah dan bahagia adalah mutlak harus terus-menerus meningkatkan ilmu dan keterampilan dirinya dalam menghadapi aneka persoalan yang pasti akan terus meningkat kuantitas dan kualitasnya seiring dengan pertambahan umur, tuntutan, harapan, kebutuhan, cita-cita dan tanggung jawab.<br /><br />Kelalaian kita dalam menyadari pentingnya bersungguh-sungguh mencari ilmu tentang cara menghadapi hidup ini dan kemalasan kita dalam melatih dan mengevaluasi ketrampilan kita dalam menghadapi persoalan hidup berarti akan membuat hidup ini hanya perpindahan kesengsaraan, penderitaan, kepahitan dan tentu saja kehinaan yang bertubi-tubi. Na'udzubillah.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">1. Siap</span><br /><br />Siap apa? Siap menghadapi yang cocok dengan yang diinginkan dan siap menghadapi yang tidak cocok dengan keiinginan.<br /><br />Kita memang diharuskan memiliki keiinginan, cita-cita, rencana yang benar dan wajar dalam hidup ini, bahkan kita sangat dianjurkan untuk gigih berikhtiar mencapai apapun yang terbaik bagi dunia akhirat, semaksimal kemampuan yang Allah Swt berikan kepada kita.<br /><br />Namun bersamaan dengan itu kitapun harus sadar-sesadarnya bahwa kita hanyalah makhluk yang memiliki sangat banyak keterbatasan untuk mengetahui segala hal yang tidak terjangkau oleh daya nalar dan kemampuan kita.<br /><br />Dan pula dalam hidup ini ternyata sering sekali atau bahkan lebih sering terjadi sesuatu yang tidak terjangkau oleh kita, yang di luar dugaan dan di luar kemampuan kita untuk mencegahnya, andaikata kita selalu terbenam tindakan yang salah dalam mensikapinya maka betapa terbayangkan hari-hari akan berlalu penuh kekecewaaan, penyesalan, keluh kesah, kedongkolan, hati yang galau, sungguh rugi padahal hidup ini hanya satu kali dan kejadian yang tak didugapun pasti akan terjadi lagi.<br /><br />Ketahuilah kita punya rencana, Allah Swt pun punya rencana, dan yang pasti terjadi adalah apa yang menjadi rencana Allah Swt.<br /><br />Yang lebih lucu serta menarik, yaitu kita sering marah dan kecewa dengan suatu kejadian namun setelah waktu berlalu ternyata "kejadian" tersebut begitu menguntungkan dan membawa hikmah yang sangat besar dan sangat bermanfaat, jauh lebih baik dari apa yang diharapkan sebelumnya.<br /><br />Alkisah ada dua orang kakak beradik penjual tape, yang berangkat dari rumahnya di sebuah dusun pada pagi hari seusai shalat shubuh, di tengah pematang sawah tiba-tiba pikulan sang kakak berderak patah, pikulan di sebelah kiri masuk ke sawah dan yang di sebelah kanan masuk ke kolam. Betapa kaget, sedih, kesal dan merasa sangat sial, jualan belum, untung belum bahkan modalpun habis terbenam, dengan penuh kemurungan mereka kembali ke rumah. Tapi dua jam kemudian datang berita yang mengejutkan, ternyata kendaraan yang biasa ditumpangi para pedagang tape terkena musibah sehingga seluruh penumpangnya cedera bahkan diantaranya ada yang cedera berat, satu-satunya diantara kelompok pedagang yang senantiasa menggunakan angkutan tersebut yang selamat hanyala dirinya, yang tidak jadi berjualan karena pikulannya patah. Subhanalloh, dua jam sebelumnya patah pikulan dianggap kesialan besar, dua jam kemudian patah pikulan dianggap keberuntungan luar biasa.<br /><br />Oleh karena itu "fa idzaa azamta fa tawaqqal alalloh" bulatkan tekad, sempurnakan ikhtiar namun hati harus tetap menyerahkan segala keputusan dan kejadian terbaik kepada Allah Swt. Dan siapkan mental kita untuk menerima apapun yang terbaik menurut ilmu Allah Swt.<br /><br />Allah Swt, berfirman dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 216, "Boleh jadi engkau tidak menyukai sesuatu padahal bagi Allah Swt lebih baik bagimu, dan boleh jadi engkau menyukai sesuatu padahal buruk dalam pandangan Allah Swt."<br /><br />Maka jikalau dilamar seseorang, bersiaplah untuk menikah dan bersiap pula kalau tidak jadi nikah, karena yang melamar kita belumlah tentu jodoh terbaik seperti yang senantiasa diminta oleh dirinya maupun orang tuanya. Kalau mau mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri, berjuanglah sungguh-sungguh untuk diterima di tempat yang dicita-citakan, namun siapkan pula diri ini andaikata Allah Yang MahaTahu bakat, karakter dan kemampuan kita sebenarnya akan menempatkan di tempat yang lebih cocok, walaupun tidak sesuai dengan rencana sebelumnya.<br /><br />Melamar kerja, lamarlah dengan penuh kesungguhan, namun hati harus siap andaikata Allah Swt, tidak mengijinkan karena Allah Swt, tahu tempat jalan rizki yang lebih berkah.<br /><br />Berbisnis ria, jadilah seorang profesional yang handal, namun ingat bahwa keuntungan yang besar yang kita rindukan belumlah tentu membawa maslahat bagi dunia akhirat kita, maka bersiaplah menerima untung terbaik menurut perhitungan Allah Swt. Demikianlah dalam segala urusan apapun yang kita hadapi.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">2.Ridha</span><br /><br />Siap menghadapi apa pun yang akan terjadi, dan bila terjadi, satu-satunya langkah awal yang harus dilakukan adalah mengolah hati kita agar ridha/rela akan kenyataan yang ada. Mengapa demikian? Karena walaupun dongkol, uring-uringan dan kecewa berat, tetap saja kenyataan itu sudah terjadi. Pendek kata, ridha atau tidak, kejadian itu tetap sudah terjadi. Maka, lebih baik hati kita ridha saja menerimanya.<br /><br />Misalnya, kita memasak nasi, tetapi gagal dan malah menjadi bubur. Andaikata kita muntahkan kemarahan, tetap saja nasi telah menjadi bubur, dan tidak marah pun tetap bubur. Maka, daripada marah menzalimi orang lain dan memikirkan sesuatu yang membuat hati mendidih, lebih baik pikiran dan tubuh kita disibukkan pada hal yang lain, seperti mencari bawang goreng, ayam, cakweh, seledri, keripik, dan kecap supaya bubur tersebut bisa dibuat bubur ayam spesial. Dengan demikian, selain perasaan kita tidak jadi sengsara, nasi yang gagal pun tetap bisa dinikmati dengan lezat.<br /><br />Kalau kita sedang jalan-jalan, tiba-tiba ada batu kecil nyasar entah dari mana dan mendarat tepat di kening kita, hati kita harus ridha, karena tidak ridha pun tetap benjol. Tentu saja, ridha atau rela terhadap suatu kejadian bukan berarti pasrah total sehingga tidak bertindak apa pun. Itu adalah pengertian yang keliru. Pasrah/ridha hanya amalan, hati kita menerima kenyataan yang ada, tetapi pikiran dan tubuh wajib ikhtiar untuk memperbaiki kenyataan dengan cara yang diridhai Allah Swt. Kondisi hati yang tenang atau ridha ini sangat membantu proses ikhtiar menjadi positif, optimal, dan bermutu.<br /><br />Orang yang stress adalah orang yang tidak memiliki kesiapan mental untuk menerima kenyataan yang ada. Selalu saja pikirannya tidak realistis, tidak sesuai dengan kenyataan, sibuk menyesali dan mengandai - andai sesuatu yang sudah tidak ada atau tidak mungkin terjadi. Sungguh suatu kesengsaraan yang dibuat sendiri.<br /><br />Misalkan tanah warisan telah dijual tahun yang lalu dan saat ini ternyata harga tanah tersebut melonjak berlipat ganda. Orang-orang yang malang selalu saja menyesali mengapa dahulu tergesa-gesa menjual tanah. Kalau saja mau ditangguhkan, niscaya akan lebih beruntung. Biasanya, hal ini dilanjutkan dengan bertengkar saling menyalahkan sehingga semakin lengkap saja penderitaan dan kerugian karena memikirkan tanah yang nyata-nyata telah menjadi milik orang lain.<br /><br />Yang berbadan pendek, sibuk menyesali diri mengapa tidak jangkung. Setiap melihat tubuhnya ia kecewa, apalagi melihat yang lebih tinggi dari dirinya. Sayangnya, penyesalan ini tidak menambah satu senti pun jua. Yang memiliki orang tua kurang mampu atau telah bercerai, atau sudah meninggal sibuk menyalahkan dan menyesali keadaan, bahkan terkadang menjadi tidak mengenal sopan santun kepada keduanya, mempersatukan, atau menghidupkannya kembali. Sungguh banyak sekali kita temukan kesalahan berpikir, yang tidak menambah apa pun selain menyengsarakan diri.<br /><br />Ketahuilah, hidup ini terdiri dari berbagai episode yang tidak monoton. Ini adalah kenyataan hidup, kenanglah perjalanan hidup kita yang telah lalu dan kita harus benar-benar arif menyikapi setiap episode dengan lapang dada, kepala dingin, dan hati yang ikhlas. Jangan selimuti diri dengan keluh kesah karena semua itu tidak menyelesaikan masalah, bahkan bisa jadi memperparah masalah.<br /><br />Dengan demikian, hati harus ridha menerima apa pun kenyataan yang terjadi sambil ikhtiar memperbaiki kenyataan pada jalan yang diridhai Allah swt. *** (bersambung, bagian 1 dari 2 tulisan)<br /><br /><span style="font-weight: bold;">3. Jangan Mempersulit Diri</span><br /><br />Andaikata kita mau jujur, sesungguhnya kita ini paling hobi mengarang, mendramatisasi, dan mempersulit diri. Sebagian besar penderitaan kita adalah hasil dramatisasi perasaan dan pikiran sendiri. Selain tidak pada tempatnya, pasti ia juga membuat masalah akan menjadi lebih besar, lebih seram, lebih dahsyat, lebih pahit, lebih gawat, lebih pilu daripada kenyataan yang aslinya, Tentu pada akhirnya kita akan merasa jauh lebih nelangsa, lebih repot di dalam menghadapinya/mengatasinya.<br /><br />Orang yang menghadapi masa pensiun, terkadang jauh sebelumnya sudah merasa sengsara. Terbayang di benaknya saat gaji yang kecil, yang pasti tidak akan mencukupi kebutuhannya. Padahal, saat masih bekerja pun gajinya sudah pas-pasan. Ditambah lagi kebutuhan anak-anak yang kian membengkak, anggaran rumah tangga plus listrik, air, cicilan rumah yang belum lunas dan utang yang belum terbayar. Belum lagi sakit, tak ada anggaran untuk pengobatan, sementara umur makin menua, fisik kian melemah, semakin panjang derita kita buat, semakin panik menghadapi pensiun. Tentu saja sangat boleh kita memperkirakan kenyataan yang akan terjadi, namun seharusnya terkendali dengan baik. Jangan sampai perkiraan itu membuat kita putus asa dan sengsara sebelum waktunya.<br /><br />Begitu banyak orang yang sudah pensiun ternyata tidak segawat yang diperkirakan atau bahkan jauh lebih tercukupi dan berbahagia daripada sebelumnya. Apakah Allah SWT. yang Mahakaya akan menjadi kikir terhadap para pensiunan, atau terhadap kakek-kakek dan nenek-nenek? Padahal, pensiun hanyalah salah satu episode hidup yang harus dijalani, yang tidak mempengaruhi janji dan kasih sayang Allah.<br /><br />Maka, di dalam menghadapi persoalan apa pun jangan hanyut tenggelam dalam pikiran yang salah. Kita harus tenang, menguasai diri seraya merenungkan janji dan jaminan pertolongan Allah Swt. Bukankah kita sudah sering melalui masa-masa yang sangat sulit dan ternyata pada akhirnya bisa lolos?<br /><br />Yakinlah bahwa Allah yang Mahatahu segalanya pasti telah mengukur ujian yang menimpa kita sesuai dengan dosis yang tepat dengan keadaan dan kemampuan kita. "Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu pasti ada kemudahan, dan sesudah kesulitan itu pasti ada kemudahan" (QS Al-Insyirah [94]:5-6). Sampai dua kali Allah Swt menegaskan janji-Nya. Tidak mungkin dalam hidup ini terus menerus mendapatkan kesulitan karena dunia bukanlah neraka. Demikian juga tidak mungkin dalam hidup ini terus menerus memperoleh kelapangan dan kemudahan karena dunia bukanlah surga. Segalanya pasti akan ada akhirnya dan dipergilirkan dengan keadilan Allah Swt.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">4. Evaluasi Diri</span><br /><br />Ketahuilah, hidup ini bagaikan gaung di pegunungan: apa yang kita bunyikan, suara itu pulalah yang akan kembali kepada kita. Artinya, segala yang terjadi pada kita adalah buah dari apa yang kita lakukan. "Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat balasannya pula" (QS Al-ZalZalah [99]: 7-8)<br /><br />Allah Swt Maha Peka terhadap apapun yang kita lakukan. Dengan keadilan-Nya tidak akan ada yang meleset, siapa pun yang berbuat, sekecil dan setersembunyi apapun kebaikan, niscaya Allah Swt, akan membalas berlipat ganda dengan aneka bentuk yang terbaik menurut-Nya. Sebaliknya, kezaliman sehalus apapun yang kita lakukan yang tampaknya seperti menzalimi orang lain, padahal sesungguhnya menzalimi diri sendiri, akan mengundang bencana balasan dari Allah Swt, yang pasti lebih getir dan gawat. Naudzubillah.<br /><br />Andaikata ada batu yang menghantam kening kita, selain hati harus ridha, kita pun harus merenung, mengapa Allah menimpakan batu ini tepat ke kening kita, padahal lapangan begitu luas dan kepala ini begitu kecil? Bisa jadi semua ini adalah peringatan bahwa kita sangat sering lalai bersujud, atau sujud kita lalai dari mengingat-Nya. Allah tidak menciptakan sesuatu dengan sia-sia, pasti segalanya ada hikmahnya.<br /><br />Dompet hilang? Mengapa dari satu bus, hanya kita yang ditakdirkan hilang dompet? Jangan sibuk menyalahkan pencopet karena memang sudah jelas ia salah dan memang begitu pekerjaannya. Renungkankah: boleh jadi kita ini termasuk si kikir, si pelit, dan Allah Mahatahu jumlah zakat dan sedekah yang dikeluarkan. Tidak ada kesulitan bagi-Nya untuk mengambil apapun yang dititipkan kepada hamba-hamba-Nya.<br /><br />Anak nakal, suami kurang betah di rumah dan kurang mesra, rezeki seret dan sulit, bibir sariawan terus menerus, atau apa saja kejadian yang menimpa dan dalam bentuk apapun adalah sarana yang paling tepat untuk mengevaluasi segala yang terjadi. Pasti ada hikmah tersendiri yang sangat bermanfaat, andaikata kita mau bersungguh-sungguh merenunginya dengan benar.<br /><br />Jangan terjebak pada sikap yang hanya menyalahkan orang lain karena tindakan emosional seperti ini hanya sedikit sekali memberi nilai tambah bagi kepribadian kita. Bahkan, apabila tidak tepat dan berlebihan, akan menimbulkan kebencian dan masalah baru.<br /><br />Ketahuilah dengan sungguh-sungguh, dengan mengubah diri, berarti pula kita mengubah orang lain. Camkan bahwa orang lain tidak hanya punya telinga, tetapi mereka pun memiliki mata, perasaan, pikiran yang dapat menilai siapa diri kita yang sebenarnya.<br /><br />Jadikanlah setiap masalah sebagai sarana efektif untuk mengevaluasi dan memperbaiki diri karena hal itulah yang menjadi keuntungan bagi diri dan dapat mengundang pertolongan Allah Swt.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">5. Hanya Allah-lah Satu satunya Penolong</span><br /><br />Sesungguhnya tidak akan terjadi sesuatu kecuali dengan izin Allah Swt. Baik berupa musibah maupun nikmat. Walaupun bergabung jin dan manusia seluruhnya untuk mencelakakan kita, demi Allah tidak akan jatuh satu helai rambut pun tanpa izin-Nya. Begitu pun sebaliknya, walaupun bergabung jin dan manusia menjanjikan akan menolong atau memberi sesuatu, tidak pernah akan datang satu sen pun tanpa izin-Nya.<br /><br />Mati-matian kita ikhtiar dan meminta bantuan siapapun, tanpa izin-Nya tak akan pernah terjadi yang kita harapkan. Maka, sebodoh-bodoh kita adalah orang yang paling berharap dan takut kepada selain Allah Swt. Itulah biang kesengsaraan dan biang menjauhnya pertolongan Allah Swt.<br /><br />Ketahuilah, makhluk itu "La haula wala quwata illa billahil' aliyyil ' azhim" tiada daya dan tiada upaya kecuali pertolongan Allah Yang MahaAgung. Asal kita hanyalah dari setetes sperma, ujungnya jadi bangkai, ke mana-mana membawa kotoran.<br /><br />Allah menjanjikan dalam Surah Al-Thalaq ayat 2 dan 3, "Barang siapa yang bersungguh-sungguh mendekati Allah (bertaqwa), niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar bagi setiap urusannya, dan akan diberi rezeki dari tempat yang tidak disangka-sangka. Dan barang siapa yang bertawakal hanya kepada Allah, niscaya akan dicukupi segala kebutuhannya."<br /><br />Jika kita menyadari dan meyakininya, kita memiliki bekal yang sangat kukuh untuk mengarungi hidup ini, tidak pernah gentar menghadapi persoalan apapun karena sesungguhnya yang paling mengetahui struktur masalah kita yang sebenarnya berikut segala jalan keluar terbaik hanyalah Allah Swt Yang Mahasempurna. Dia sendiri berjanji akan memberi jalan keluar dari segala masalah, sepelik dan seberat apapun karena bagi Dia tidak ada yang rumit dan pelik, semuanya serba mudah dalam genggaman kekuasaan-Nya.<br /><br />Pendek kata, jangan takut menghadapi masalah, tetapi takutlah tidak mendapat pertolongan Allah dalam menghadapinya. Tanpa pertolongan-Nya, kita akan terus berkelana dalam kesusahan, dari satu persoalan ke persoalan lain, tanpa nilai tambah bagi dunia dan akhirat kita・benar-benar suatu kerugian yang nyata.<br /><br />Terimalah ucapan selamat berbahagia, bagi saudara-saudaraku yang taat kepada Allah dan semakin taat lagi ketika diberi kesusahan dan kesenangan, shalatnya terjaga, akhlaknya mulia, dermawan, hati bersih, dan larut dalam amal-amal yang disukai Allah.<br /><br />InsyaAllah, masalah yang ada akan menjadi jalan pendidikan dan Allah yang akan semakin mematangkan diri, mendewasakan, menambah ilmu, meluaskan pengalaman, melipatgandakan ganjaran, dan menjadikan hidup ini jauh lebih bermutu, mulia, dan terhormat di dunia akhirat.<br /><br />Semoga, dengan izin Allah, uraian ini ada manfaatnya. *** (Bagian terakhir dari 2 tulisan)<br /><br /><span style="color:#800080;"><span style="font-family: "Arial Narrow";" lang="EN-US">Penulis: KH Abdullah Gymnastiar</span></span><br /></div>tainkhttp://www.blogger.com/profile/12677600963245460989noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1200640332744052449.post-20226262723862802492009-01-16T12:47:00.002+07:002009-01-16T12:49:09.194+07:00Akidah Dan Perubahan<div style="text-align: center;"><span style="font-style: italic;">“</span><em style="font-style: italic;">Setiap Nabi mempunyai sahabat dan hawari yang selalu berpegang teguh dengan petunjuknya dan mengikuti sunnahnya. Lalu muncullah generasi pengganti (yang buruk) yang (hanya) mengatakan apa yang tidak mereka lakukan dan melakukan apa yang tidak diperintahkan. Maka siapa yang berjuang (untuk meluruskan) mereka dengan tangannya, dia adalah mukmin. Dan barang siapa yang berjuang dengan lidahnya, maka ia adalah mukmin. Dan barangsiapa berjuang dengan hatinya, maka ia adalah mukmi</em><span style="font-style: italic;">n.</span><em style="font-style: italic;"> Dan tidak ada di belakang itu keimanan sedikit pun.”</em><br /><em></em></div><em><br /></em><p style="text-align: justify;">Perubahan harus dikawal dengan aqidah islamiyyah. Aqidah islamiyyah memberi keuntungan yang luar biasa bagi individu yang mencita-citakan perubahan, seperti yang telah dijelaskan pada tulisan bagian terdahulu. Namun bukan itu saja. Aqidah islamiyyah juga punya peran besar dalam menciptakan ketenteraman dan keharmonisan kehidupan sebuah masyarakat. “Keimanan kepada Allah, Rasul-Nya, dan hari akhir serta berserah diri kepada Allah dan patuh kepada agama-Nya telah meluruskan semua yang bengkok di dalam kehidupan dan mengembalikan setiap individu dalam masyarakat manusia kepada kedudukannya, tidak mengurangi dan tidak pula melebih-lebihkan martabatnya,” tulis Maududi. (<span style="font-weight: normal;">Kerugian Dunia Akibat Kemorosotan Kaum Muslimin</span>, hal.127, th. 88)</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Perubahan harus dikawal dengan aqidah islamiyyah. Aqidah islamiyyah memberi keuntungan yang luar biasa bagi individu yang mencita-citakan perubahan, seperti yang telah dijelaskan pada tulisan bagian terdahulu. Namun bukan itu saja. Aqidah islamiyyah juga punya peran besar dalam menciptakan ketenteraman dan keharmonisan kehidupan sebuah masyarakat. “Keimanan kepada Allah, Rasul-Nya, dan hari akhir serta berserah diri kepada Allah dan patuh kepada agama-Nya telah meluruskan semua yang bengkok di dalam kehidupan dan mengembalikan setiap individu dalam masyarakat manusia kepada kedudukannya, tidak mengurangi dan tidak pula melebih-lebihkan martabatnya,” tulis Maududi. (<span style="font-weight: normal;">Kerugian Dunia Akibat Kemorosotan Kaum Muslimin</span>, hal.127, th. 88)</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Aqidah Islam telah behasil menghadirkan tonggak-tonggak masyarakat sejahtera dan berkeadilan. Tonggak-tonggak itu adalah: (1) Kebebasan jiwa; (2) Persamaan kemanusiaan yang sempurna; (3) Aktifitas amar ma’ruf dan nahi munkar; dan (4) Solidaritas sosial yang kuat. Tanpa keempat tonggak itu mustahil tercipta kedamaian, ketenteraman, dan kesejahateraan pada sebuah mansyarakat. Secara konsepsional dan empiris, keempat tonggak itu dapat dijelaskan sebagai berikut:</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><em>Pertama</em>, kebebasan jiwa. Tidak akan terjalin interaksi harmonis antar anggota masyarakat tanpa kebebasan jiwa setiap anggota masyarakat tersebut. Dalam keadaan jiwa terikat, dihantui ketakutan, atau terbelenggu dengan perbudakan oleh sesama manusia, mustahil ada hubungan harmonis itu. Yang akan lahir adalah justeru perilaku-perilaku semu dan sikap-sikap terpaksa. Dalam keadaan demikian, kehidupan masyarakat hanya akan merupakan kumpulan keluhan dan daftar kesengsaraan. Yang kuat akan menjadi penguasa. Dan yang lemah akan menjadi budak pengabdi, tanpa punya pilihan. Dan adalah kondisi paling berbahaya dalam kehidupan jika antar manusia diciptakan hubungan tuhan-hamba.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Dan kemerdekaan jiwa itu hanya dilahirkan dari aqidah yang benar. Penanaman kebebasan jiwa dilakukan oleh Islam dengan menegaskan bahwa manusia harus terbebas dari peribadatan, pengabdian, kepatuhan dan loyalitas kepada selain Allah; bahwa tidak seorang pun yang memiliki kekuasaan menghidupkan dan mematikan selain Allah; bahwa sumber rezeki dan yang menentukan kepada siapa rezeki itu diberikan hanyalah Allah; serta, bahwa hanya Allah pula yang memberikan keselamatan dan bahaya (madharat).</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><em>“Katakanlah: ‘Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang berkuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup; dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Mereka akan menjawab: ‘Allah’.”</em> (Yunus: 31)</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Dengan demikian aqidah Islam adalah motivator dan orang beriman adalah pelopor perlawanan terhadap segala upaya mempertuhankan manusia oleh sesama manusia. Sebab hal itu bertentangan secara diametral dengan pembebasan jiwa manusia. <em>“Maka itulah Allah Rabb kamu yang benar. Maka tiadalah setelah kebenaran itu selain kesesatan.”</em> (Yunus: 32). Dan salah satu butir Piagam Madinah –sebuah kesepakatan antara kaum muslimin dengan penduduk Madinah– adalah “Janganlah sebagian kita menjadikan sebagian lain sebagai tuhan”. Ini sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an di surat Ali Imran ayat 64.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><em>Katakanlah: “Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah”. jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.</em></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><em>Kedua</em>, persamaan kemanusiaan yang sempurna. Di atas tonggak pertama itu dibangunlah tonggak berikutnya: persamaan kemanusian yang sempurna. <em>“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian (terdiri) dari laki-laki dan wanita; dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal.”</em> (Al-Hujurat: 15). Ayat ini menegaskan bahwa terhormat dan terhinanya manusia tidak dibedakan berdasarkan ras, suku, warna kulit, kebangsaan, kekayaan, jabatan, dan ukuran-ukuran picik lainnya.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Rasulullah saw., saat melakukan haji <em>wada’</em> (pamungkas) menegaskan pula, “Sesungguhnya darah-darah kalian dan kehormatan kalian haram (untuk dilanggar) oleh kalian, kecuali dengan hak Islam. Tiada keutamaan bagi orang Arab atas non-Arab dan tidak keutamaan bagi non-Arab atas orang Arab; tidak ada keutamaan bagi orang berkulit putih atas kulit hitam dan tidak pula orang berkulit merah atas kulit putih, melainkan dengan taqwa. Kalian semua berasal dari Adam. Sedangkan Adam berasal dari tanah.”</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Manakala penghargaan kepada seseorang diberikan berdasarkan prestasinya dalam kebaikan dan kebenaran dan bukan didasarkan pada asal-usul, ras atau sukunya, ini pertanda baik. Sebab hal itu akan melahirkan suasana yang kondusif bagi terwujudnya persaingan sehat antar warga masyarakat. Setiap orang, tanpa dibedakan oleh perbedaan-perbedaan yang bersifat taqdir –seperti warna kulit dan kebangsaan– mempunyai peluang yang sama besar untuk membaktikan segala potensi dan kemampuannya untuk mewujudkan keinginan-keinginannya. Sayyid Quthb menegaskan, “Islam bersih dari fanatisme suku dan ras; dan persamaan derajat yang diciptakannya sudah sampai pada tingkatan yang selama ini belum pernah dicapai oleh peradaban Barat, sampai detik ini sekalipun; sebuah peradaban yang memberi justifikasi kepada bangsa Amerika untuk memusnahkan bangsa Indian berkulit merah melalui penumpasan terencana, di depan mata dan telinga dunia internasional; yang memberi justifikasi kepada penguasa Afrika Selatan untuk menindas orang kulit hitam melalui undang-undang rasialis; dan memberi justifikasi pula kepada penguasa Rusia, China, dan India untuk menumpas kaum Muslimin di wilayah mereka.”</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><em>Ketiga</em>, aktivitas amar ma’ruf dan nahi munkar. Masyarakat yang dilandasi aqidah Islam akan sangat peduli tentang nasib lingkungannya. Karenanya, mereka selalu melakukan aktivitas amar ma’ruf dan nahi munkar. Dengan demikian setiap anggota masyarakat secara otomatis menjadi pengontrol terhadap perjalanan kehidupan masyarakatnya dan pemerintahannya. <em>“Dan orang-orang beriman itu, baik laki-laki maupun perempuan, sebagian mereka adalah penolong (pemimpin) bagi sebagian lain; mereka menyuruh melakukan yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.”</em> (At-Taubah: 71)</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Cukuplah menjadi alasan datangnya bencana dari Allah jika sebuah masyarakat telah tercerabut kepeduliannya terhadap perilaku anggota masyarakatnya; jika mereka lebih memilih selamat diri sendiri daripada melakukan koreksi terhadap apa yang terjadi di sekitarnya; jika mereka takut untuk mengatakan yang benar sebagai benar dan yang salah adalah salah. Dan bencana yang kini menimpa negeri tercinta ini pun tidak lepas dari adanya kelalaian untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar itu. Rasulullah saw. bersabda, “<em>Demi Zat Yang diriku ada di tangan-Nya, perintahlah kepada yang ma’ruf dan cegahlah dari yang munkar, atau (jika tidak kamu lakukan), maka Allah akan mengirimkan kepada kalian siksa dari sisi-Nya, kemudian kalian memohon kepada-Nya dan tidak dikabulkan</em>.” (Hadits Hasan riwayat At-Tirmidzi)</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><em>Keempat</em>, solidaritas sosial yang kuat. Ajaran keimanan yang diterima oleh umat beriman menetapkan bahwa berbuat baik kepada sesama manusia adalah syarat kesempurnaan iman. Misalnya saja, di antara tuntutan iman itu: tidak mengolok-olok, tidak mencela, tidak memanggil orang lain dengan panggilan yang tidak menyenangkan, tidak buruk sangka, tidak memata-matai kesalahan orang lain, dan tidak menggibah (menggunjing). Lihat surat Al-Hujurat ayat 11-12.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Di samping itu tidak sedikit hadits yang menegaskan bahwa kesempurnaan iman seseorang terkait denga perilakunya terhadap sesama manusia. Misalnya Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah beriman kepadaku (dengan sempurna) orang yang bermalam dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan dan dia mengetahuinya.”</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Dalam hadits lain Rasulullah saw. menegaskan, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan kepada hari akhirat, maka hendaklah ia berbicara yang baik atau (jika tidak bisa maka) diamlah.” Sabdanya pula, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan kepada hari akhirat, maka hendaklah ia menghormati tetangganya. Dan barang siapa beriman kepada Allah dan kepada hari akhirat, maka hendaklah ia menghormati tamunya.”</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Itu bisa dipertegas lagi dengan adanya kewajiban zakat dan anjuran infaq, shadaqah, serta derma tidak mengikat lainnya. Tidak kurang dari 32 tempat dalam Al-Qur’an Allah mengiringi kewajiban shalat dengan kewajiban zakat. <em>“Ambillah zakat dari harta mereka yang dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.”</em> (At-Taubah: 103)</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Semua itu menegaskan bahwa aqidah telah mempunyai peran penting dalam mewujudkan kehidupan sosial yang ideal. Jadi, tanpa menyertakan aqidah untuk mewujudkan perubahan masyarakat, yang akan terjadi hanyalah kumpulan manusia yang meluncur ke jurang kehancuran yang sangat dalam. <em>Allahu a’lam</em>.</p>tainkhttp://www.blogger.com/profile/12677600963245460989noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1200640332744052449.post-17660362344748296112009-01-16T12:40:00.001+07:002009-01-16T12:42:42.239+07:00Ibroh (Pelajaran) yang kita dapat dari Khawarij<p style="text-align: justify;"><strong>1. Berhati‑hati supaya tidak terjatuh pada Khawarijisme (</strong><span class="arabic">التخذير من الوقوع</span><strong>)</strong></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Secara sosial politik Khawarij bisa muncul kapan saja. Kemunculan pertama Khawarij dimulai dari ketidakpercayaan (<em>‘adamuts tsiqah</em>) sebagian mereka kepada pemimpin kaum Muslimin, yaitu Utsman bin Affan yang mereka anggap tidak adil, nepotisme, dan mengangkat orang‑orang dekatnya. Ditambah ada sosok lain yang tidak suka dengan Islam, yaitu Abdullah bin Saba, yang sangat besar pengaruhnya dalam memecah belah umat Islam. Melihat sejarah awal munculnya Khawarij, sekarang ini fenomena itu tampaknya ada.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><strong>2. Bertaubat jika sudah terjatuh (</strong><span class="arabic">الإنقاذ إن وَقَعَ</span><strong>)</strong></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Sejarah pun telah membuktikan banyak umat Islam yang sudah terjatuh pada fitnah Khawarijisme. Di Mesir pada tahun 60‑an banyak kelompok yang keluar dari jama’ah yang benar dan menuduh pemimpinnya lemah, bahkan menuduh sesama muslim sebagai kafir. Untuk menghadapi orang‑orang yang sudah terjatuh pada Khawarij minimal dibutuhkan tiga cara: (1) memilih orang yang cocok untuk menghadapi mereka, (2) cara yang benar, (3) memeranginya jika diperlukan.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Ali, Ibnu Abbas, dan Umar bin Abdul Aziz dianggap orang yang cocok untuk menghadapi Khawarij disamping mereka bertiga memiliki ilmu yang dalam dan bijaksana serta pandai memilih cara yang tepat untuk menghadapi mereka.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Pada saat Ali r.a. menghadapi mereka, beliau bertanya, “Apa yang Anda rasa berat dari saya?” Mereka menjawab, “Karena Anda menyerahkan hak menghukum kepada manusia, padahal tidak ada yang berhak rnenghukum kecuali Allah.” Jawab Ali, “Apakah jika saya mendatangkan dengan dalil Al‑Qur’an kepada Anda, Anda akan kembali?” Mereka menjawab, “Kenapa tidak?” Maka Ali mengambil dalil dari Al‑Qur’an surat An‑Nisa ayat 35 yang artinya, <em>“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakim dari keluarga laki‑laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” </em>“Kalau pada masalah pernikahan saja Allah membolehkan mengambil hakim dari manusia apalagi masalah Khilafah!” Maka sebanyak 4.000 orang dari Khawarij bertaubat.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Begitu juga Ibnu Abbas sebagai sosok yang mampu menghadapi orang‑orang Khawarij. Suatu saat Ali mengutusnya untuk menghadapi Khawarij, maka Ibnu Abbas bertanya pada mereka, “Hal apakah yang membuat Anda dendam kepada Ali?” Mereka menjawab, “Ada tiga, pertama, dalam hal agama Allah, Ali bertahkim pada manusia; kedua, ia berperang tapi tidak menawan pihak musuh dan tidak mengambil harta rarnpasan; ketiga, waktu bertahkim ia rela meninggalkan keamirannya.” Maka jawab lbnu Abbas, “Mengenai bertahkim pada manusia apa salahnya, kemudian beliau membacakan ayat 95 dari surat AI‑Maidah. Tentang ucapan Anda, ia berperang tidak melakukan penawanan, apakah Anda menghendaki agar Aisyah, istri Rasul saw., jadi tawanan? Adapun Ali menanggalkan kekhalifahannya, Ali mencontoh Rasulullah saw. pada saat perjaniian Hudaibiyah.” Demikianlah setelah Ibnu Abbas menyelesaikan dialognya dengan sangat bijaksana, sekitar 20.000 orang Khawarij bertaubat.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Begitu juga Umar bin Abdul Aziz melakukan yang serupa dimana pada masa daulah Bani Umayyah yang paling membahayakan adalah orang‑orang Khawarij. Bahkan daulah punya pasukan khusus untuk menghadapi mereka yang dipimpin oleh Al‑Muhalab bin Abi Shufroh. Suatu saat Umar berdialog dengan salah seorang dari mereka yang bernama Al‑Bistom dan berkata, “Kami siap kembali kepada Anda dengan syarat Anda bertaubat dan melaknati Bani Umayyah.” Umar berkata, “Baiklah, apakah hal ini ada sanad tarikhnya bahwa orang yang bertaubat harus melaknati leluhurnya?” Umar melanjutkan, “Apakah Anda pernah melaknati iblis dan Fir’aun? Mengapa Anda menyuruh saya untuk melaknati orang yang kemungkinan lslamnya masih besar?”</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Bukti dari ini semua menunjukkan bahwa Ali, Ibnu Abbas, dan Umar adalah figur yang cocok untuk menghadapi Khawarij berkat ilmunya yang sangat dalam dan kebijaksanaannya. Mereka juga memiliki metodologi yang baik dalam menghadapi mereka. Kebaikan cara dan kebijaksanaan Ali terbukti ketika ditanya, “Apakah Khawarij itu kafir?” Jawab Ali, “Mereka adalah orang yang berusaha lari dari kekafiran.” “Apakah mereka munafik?” Jawab Ali, “Orang munafik tidak menyebut Allah kecuali sedikit, padahal mereka orang yang banyak menyebut nama Allah.”</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Kelompok Khawarij ini sangat unik. Hal ini terlihat pada kasus ketika mereka mengadakan kesepakatan untuk membunuh Ali, Muawiyah, dan Amru bin Al‑Ash. Salah seorang yang ditugaskan untuk membunuh Ali adalah Abdurrahman bin Muljam. Abdurrahman sebenarnya enggan diberi tugas untuk membunuh Ali, tapi ketika lewat pada perkampungan Khawarij dia mendapatkan orang yang tercantik di kampung itu dan bapak serta kakaknya sudah tewas terbunuh oleh Ali dalam peristiwa Harura. Perempuan itu bernama Qutom dan sangat dendam pada Ali. Ibnu Muljam berkata pada perempuan itu, “Saya ingin mengawini Anda!” “Boleh, tapi mahar apa yang akan engkau berikan pada saya?” jawab Qutom. “Apa saja yang engkau minta niscaya aku kabulkan,” balas Ibnu Muljam. Maka Qutom mengatakan, “Saya minta 30.000 hamba sahaya, budak yang bisa menyanyi, dan membunuh Ali.” “Kalau yang tiga pertama dapat saya kabulkan, tapi yang terakhir engkau jangan berharap.” Qutom kemudian berkata, “Jika Anda bisa melakukannya, saya akan sembuh dari sakit hati, Anda bisa menikahi saya. Tapi kalau tidak, maka akhirat lebih baik bagi Anda dari dunia dan segala isinya.” Maka terjadilah apa yang sudah terjadi. Dari kasus ini menunjukkan ada kasus yang terselubung dan tidak murni dalam pembunuhan Ali oleh Ibnu Muljam.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Bentuk keunikan lain, mereka adalah kelompok yang mudah dibodohi. Maka, untuk menghadapi mereka diperlukan cara khusus. Hal ini pernah terjadi pada Amru bin Ubaid, salah seorang tokoh Mu’tazilah. Suatu saat ia lewat perkampungan Khawarij dengan ternan‑temannya dan dihadang oleh mereka seraya berkata, “Mana kawan‑kawan Anda, tadi kelihatan banyak?” Jawab Arnru dengan menyitir ayat 6 surat At‑Taubah, “Kami orang yang musyrik yang meminta perlindungan agar dapat mendengar firman Allah.” “Boleh, kami melindungi Anda sekalian. Pergilah, Anda mendapat perlindungan.” Tapi Amru merasa belum aman karena perkampungan Khawarij masih panjang, maka dia berkata, “Tidak begitu. Antarkanlah ia ke tempat yang aman.” Maka orang‑orang Khawarij tadi mengantarkannya. Peristiwa ini menunjukkan pemikiran orang-orang Khawarij yang sangat sederhana yang mengakibatkan mudah diperdaya dengan logika yang sangat sederhana. Sehingga untuk menghadapi mereka, dibutuhkan cara yang tepat dan tidak perlu logika yang berat‑berat.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Cara yang ketiga, memeranginya jika dianggap perlu. Hal ini terbukti ampuh dan juga pernah dilakukan Ali r.a. Pada masa Daulah Abbasiyah kekuatan mereka secara politis sudah bisa dilumpuhkan, kalaupun masih ada hanya bekas‑bekas atau pengaruh pemikiran mereka dan dalam bentuk nilai seperti menyesatkan dan menganggap kafir orang muslim.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><strong>3. Mensyukuri pemahaman yang benar (</strong><span class="arabic">الشكر على الفهم الصحيح</span><strong>)</strong></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Kalau kita melihat betapa orang yang ibadahnya sangat rajin, pandai bahasa Arab, masih bisa salah dalam memahami Islam bahkan dicap oleh Rasul sebagai anjingnya ahli neraka, ini menunjukkan betapa besarnya nikmat pemahaman yang benar yang diberikan Allah pada kita.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Salah seorang ulama salaf berkata:</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="arabic">لا أدري بآية إحدى النعمتين أشكر أبالفهم الصحيح أوالتجنيب من البدع</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><em>“Saya tidak tahu bagaimana saya harus bersyukur dengan nikmat memahami Islam dengan benar atau mampu menjauhi dari bid’ah.”</em></p>tainkhttp://www.blogger.com/profile/12677600963245460989noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1200640332744052449.post-78778883910578382862009-01-16T12:35:00.001+07:002009-01-16T12:40:38.075+07:00Sifat‑sifat Khawarij<p style="text-align: justify;"><strong>I. Mencela dan Menyesatkan (</strong><span class="arabic">الطعن والتضليل</span><strong>)</strong></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Orang‑orang Khawarij sangat mudah mencela dan menganggap sesat Muslim lain, bahkan Rasul saw. sendiri dianggap tidak adil dalam pembagian ghanimah. Kalau terhadap Rasul sebagai pemimpin umat berani berkata sekasar itu, apalagi terhadap Muslim yang lainnya, tentu dengan mudahnya mereka menganggap kafir. Mereka mengkafirkan Ali, Muawiyah, dan sahabat yang lain. Fenomena ini sekarang banyak bermunculan. Efek dari mudahnya mereka saling mengkafirkan adalah kelompok mereka mudah pecah disebabkan kesalahan kecil yang mereka perbuat.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><strong>2. Buruk Sangka (</strong><span class="arabic">سوء الظن</span><strong>)</strong></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Fenomena sejarah membuktikan bahwa orang‑orang Khawarij adalah kaum yang paling mudah berburuk sangka. Mereka berburuk sangka kepada Rasulullah saw. bahwa beliau tidak adil dalam pembagian ghanimah, bahkan menuduh Rasulullah saw. tidak mencari ridha Allah. Mereka tidak cukup sabar menanyakan cara dan tujuan Rasulullah saw. melebihkan pembesar‑pembesar dibanding yang lainnya. Padahal itu dilakukan Rasulullah saw. dalam rangka dakwah dan ta’liful qulub. Mereka juga menuduh Utsman sebagai nepotis dan menuduh Ali tidak mempunyai visi kepemimpinan yang jelas.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><strong>3. Berlebih‑lebihan dalam ibadah (</strong><span class="arabic">المبالغة في العبادة</span><strong>)</strong></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Ini dibuktikan oleh kesaksian Ibnu Abbas. Mereka adalah orang yang sangat sederhana, pakaian mereka sampai terlihat serat‑seratnya karena cuma satu dan sering dicuci, muka mereka pucat karena jarang tidur malam, jidat mereka hitam karena lama dalam sujud, tangan dan kaki mereka ‘kapalan’. Mereka disebut <em>quro’</em> karena bacaan Al-Qur’annya bagus dan lama. Bahkan Rasulullah saw. sendiri membandingkan ibadah orang‑orang Khawarij dengan sahabat yang lainnya, termasuk Umar bin Khattab, masih tidak ada apa‑apanya, apalagi kalau dibandingkan dengan kita. Ini menunjukkan betapa sangat berlebih‑lebihannya ibadah mereka.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><strong>4. Keras terhadap sesama Muslim dan memudahkan yang lainnya (</strong><span class="arabic">التشدد على المسلمين والترخص على غيرهم</span><strong>)</strong></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Hadits Rasulullah saw. menyebutkan bahwa mereka mudah membunuh orang Islam, tetapi membiarkan penyembali berhala. Ibnu Abdil Bar meriwayatkan, “Ketika Abdullah bin Habbab bin Al‑Art berjalan dengan isterinya bertemu dengan orang Khawarij dan mereka meminta kepada Abdullah untuk menyampaikan hadits‑hadits yang didengar dari Rasulullah saw., kemudian Abdullah menyampaikan hadits tentang terjadinya fitnah,</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="arabic">القاعد فيها خير من القائم والقائم فيها خير من الماشي</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><em>“Yang duduk pada waktu itu lebih baik dari yang berdiri, yang berdiri lebih baik dari yang berjalan….” </em></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Mereka bertanya, “Apakah Anda mendengar ini dari Rasulullah?” “Ya,” jawab Abdullah. Maka serta-merta mereka langsung memenggal Abdullah. Dan isterinya dibunuh dengan mengeluarkan janin dari perutnya.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Di sisi lain tatkala mereka di kebun kurma dan ada satu biji kurma yang jatuh kemudian salah seorang dari mereka memakannya, tetapi setelah yang lain mengingatkan bahwa kurma itu bukan miliknya, langsung saja orang itu memuntahkan kurma yang dimakannya. Dan ketika mereka di Kuffah melihat babi langsung mereka bunuh, tapi setelah diingatkan bahwa babi itu milik orang kafir ahli dzimmah, langsung saja yang membunuh babi tadi mencari orang yang mempunyai babi tersebut, meminta maaf dan membayar tebusan.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><strong>5. Sedikit pengalamannya (</strong><span class="arabic">قلة التجربة</span><strong>)</strong></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Hal ini digambarkan dalam hadits bahwa orang‑orang Khawarij umurnya masih muda‑muda yang hanya mempunyai bekal semangat.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><strong>6. Sedikit pemahamannya (</strong><span class="arabic">قلة الفقه</span><strong>)</strong></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Disebutkan dalam hadits dengan sebutan Sufahaa-ul ahlaam (orang bodoh), berdakwah pada manusia untuk mengamalkan Al‑Qur’an dan kembali padanya, tetapi mereka sendiri tidak mengamalkannya dan tidak memahaminya. Merasa bahwa Al‑Qur’an akan menolongnya di akhirat, padahal sebaliknya akan membahayakannya.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><strong>7. Nilai Khawarij</strong></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Orang‑orang Khawarij keluar dari Islam sebagaimana yang disebutkan Rasulullah saw., <em>“Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah keluar dari busurnya.”</em></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><strong>8. Fenomena Khawarij</strong></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Mereka akan senantiasa ada sampai hari kiamat. <em>“Mereka akan senantiasa keluar sampai yang terakhir keluar bersama Al‑Masih Ad‑Dajjal”</em></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><strong>9. Kedudukan Khawarij</strong></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Kedudukan mereka sangat rendah. Di dunia disebut sebagai seburuk-buruk makhluk dan di akhirat disebut sebagai anjing neraka.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><strong>10. Sikap terhadap Khawarij</strong></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Rasulullah saw. menyuruh kita untuk membunuh jika menjumpai mereka. <em>“Jika engkau bertemu dengan mereka, maka bunuhlah mereka.”</em></p>tainkhttp://www.blogger.com/profile/12677600963245460989noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1200640332744052449.post-33135633994186638992009-01-16T12:33:00.001+07:002009-01-16T12:35:16.319+07:00Makna AL-KHAWARIJ (الخوارج)<p style="text-align: justify;">Secara bahasa kata khawarij berarti orang-orang yang telah keluar. Kata ini dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang telah menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok Mu’awiyyah yang dikomandoi oleh Amr ibn Ash dalam Perang Shiffin (37H/657). Jadi, nama khawarij bukanlah berasal dari kelompok ini. Mereka sendiri lebih suka menamakan diri dengan Syurah atau para penjual, yaitu orang-orang yang menjual (mengorbankan) jiwa raga mereka demi keridhaan Allah, sesuai dengan firman Allah QS. Al-Baqarah (2):207. Selain itu, ada juga istilah lain yang dipredikatkan kepada mereka, seperti <em>Haruriah</em>, yang dinisbatkan pada nama desa di Kufah, yaitu Harura, dan <em>Muhakkimah</em>, karena seringnya kelompok ini mendasarkan diri pada kalimat “la hukma illa lillah” (tidak ada hukum selain hukum Allah), atau “la hakama illa Allah” (tidak ada pengantara selain Allah).</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Secara historis Khawarij adalah Firqah Bathil yang pertama muncul dalam Islarn sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al‑Fatawa,</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="arabic">إبن تيمية: أول بدعة ظهورا في الإسلام بدعة الخوارج</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><em>“Bid’ah yang pertama muncul dalam Islam adalah bid’ah Khawarij.”</em></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Kemudian hadits‑hadits yang berkaitan dengan firaq dan sanadnya benar adalah hadits‑hadits yang berkaitan dengan Khawarij scdang yang berkaitan dcngan Mu’tazilah dan Syi’ah atau yang lainnya hanya terdapat dalam Atsar Sahabat atau hadits lemah, ini menunjukkan begitu besarnya tingkat bahaya Khawarij dan fenomenanya yang sudah ada pada masa Rasulullah saw. Di samping itu Khawarij masih ada sampai sekarang baik secara nama maupun sebutan (laqob), secara nama masih terdapat di daerah Oman dan Afrika Utara sedangkan secara laqob berada di mana‑mana. Hal seperti inilah yang membuat pembahasan tcntang firqah Khawarij begitu sangat pentingnya apalagi buku‑buku yang membahas masalah ini masih sangat sedikit, apalagi Rasulullah saw. menyuruh kita agar berhati‑hati terhadap firqah ini.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Fakta munculnya Khawarij bukanlah pada masa Ali r.a. sebagaimana sebagian para ahli sejarah menyebutkan, tapi sudah muncul pada masa Utsman r.a. baik secara ajaran maupun dalam bentuk aksi nyata. Buku sejarah banyak menyebutkan ini seperti buku sejarahnya Imam At‑Thabari dan Ibnu Katsir. Dalam buku tersebut orang yang memberontak kepada Utsman r.a. disebut Khawarij. Hal ini dikuatkan oleh fakta sejarah berikutnya dimana mereka berhasil membunuh Utsman r.a. Kemudian umat Islam membai’at Ali r.a. termasuk sebagian besar orang‑orang yang telah membunuh Utsman r.a. Sementara itu Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Aisyah, dan sahabat yang lain keluar dan menuntut pembelaan terhadap Utsman r.a. Ali r.a. berkata, “Saya setuju dengan pendapat Anda, tapi mereka sangat banyak dan bercampur dalam pasukan kami.” Ali r.a. menghendak masalah Khalifah diselesaikan dahulu baru menyelesaikan orang‑orang yang membunuh Utsman. Kemudian antara pihak Ali r.a. dan Aisyah r.a. sudah terjadi kesepakatan bahwa mereka tidak akan berperang kecuali untuk menuntut pembunuh Utsman, tapi orang‑orang yang membunuh Utsman membuat fitnah lagi dalam Perang Jamal. Mereka memisahkan diri jadi dua, sebagian bersama Ali dan sebagian bersama Aisyah; dan mereka berdua saling melempar lembing, dan satu sama lain mengatakan bahwa Ali telah berkhianat dan Aisyah telah berkhianat, maka terjadilah apa yang terjadi dalam Perang Jamal.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Pada waktu terjadi peperangan antara Ali r.a. dengan Muawiyah r.a., mereka juga bersama Ali dalam suatu peperangan yang terkenal dalam sejarah disebut Perang Shiffin. Dalam buku‑buku tarikh Syi’ah juga ditulis dalam buku‑buku tarikh Sunnah, disebutkan ada pihak ketiga yang netral di antaranya Abdullah bin Umar, Abu Musa Al‑Asyari, Zaid bin Tsabit, dan yang lainnya yang mencoba mengadakan ishlah pada keduanya dan mempertemukan keduanya. Terjadilah suatu dialog antara utusan Ali r.a. dengan Muawiyah bin Abi Sofyan.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">“Apakah Anda memerangi Ali karena Anda ingin menjadi khalifah?” Muawiyah berkata, “Saya tahu diri saya. Saya tahu diri saya jauh di bawah Ali, dan tidak ada dalam benak saya keinginan untuk menjadi khalifah. Saya keluar berperang untuk menuntut darah Utsman.” “Apa betul Anda tidak ingin menjadi khalifah?” Berkata Muawiyah, “Andaikata Ali menyerahkan siapa pembunuh Utsman niscaya saya orang yang pertama berbai’at.” Akantetapi suasana dikacaukan oleh orang‑orang tadi yang akhirnya terjadi Perang Shifiin.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Ketika pihak Muawiyah hampir kalah, atas usulan Amru bin Al‑Ash untuk meletakkan mushaf di pucuk pedang sebagai tanda ingin berunding. Ali r.a. tahu bahwa ini tipu daya tetapi orang‑orang Khawarij meminta Ali untuk menerimanya bahkan memaksa dan mengancam:</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="arabic">لئن أتيت لنفعلنّ بك كما فعلنا بعثمان لنقتلنك كما قتلنا عثمان</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><em>“Jika engkau menolak, kami akan memperlakukan Anda sebagaimana kami memperlakukan Utsman dan kami akan membunuh Anda sebagaimana kami telah membunuh Utsman.”</em></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Akhirnya Ali r.a. menerima dengan terpaksa, kemudian menyuruh panglima perangnya Asytar An‑Nakha’i untuk menerima tahkim. Tapi Asytar juga keberatan atas perintah itu karena ia tahu benar unsur tipuannya sangat besar. Namun, lagi‑lagi orang‑orang Khawarij memaksa Asytar dan mengatakan apa yang dikatakan kepada Ali r.a., maka Asytar pun menerima tahkim itu.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Ketika Ali r.a. tahu bahwa pihak Muawiyah mengutus Amru bin Al‑Ash, seorang yang diketahui ahli diplomasi, maka Ali r.a. mengutus Abdullah bin Al‑Abbas. Tapi lagi‑lagi orang Khawarij membuat ulah dan berkata, “Kalau Anda mengutus Ibnu Abbas apa bedanya Anda dengan Utsman. Kami memerangi Utsman karena dia selalu mengangkat keluarganya sendiri. Sekarang Anda mengutus Ibnu Abbas, keponakan anda sendiri.” Mereka meminta yang menjadi utusan dari pihak Ali adalah Abu Musa Al‑Asy’ari, tokoh netral. Tapi Ali tahu kalau Abu Musa bukanlah orang yang cocok pada masalah ini, dia terlalu lugu (ikhlash). Mereka bersikeras dan mengancam Ali r.a., sampai dalam hal ini Ali berkata,</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="arabic">كنت بالأمس أميرا وكنت اليوم مأمورا</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><em>“Dulu saya bisa memimpin tapi saya sekarang jadi dipimpin.”</em></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Kemudian setelah acara tahkim usai dengan hasil yang sangat merugikan Ali r.a., permasalahan ternyata belum selesai. Orang Khawarij membuat ulah lagi dengan mengkafrkan Ali r.a. dengan berkata,</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="arabic">كفرت لأنك حكمت رجالا في حكم الله, إن الحكم إلا لله</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><em>“Anda telah kafir karena Anda telah menyerahkan urusan tahkim kepada orang dalam hukum Allah. Tiada yang berhak menghukum melainkan Allah.”</em></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Dan mereka keluar dari pasukan Ali –jumlah mereka sebanyak 12.000 orang–, maka terpaksa Ali menghadapi mereka dan menyuruh Ibnu Abbas untuk berdiskusi dengan mereka.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Fenomena sikap Khawarij banyak terjadi sekarang dan biasa disebut Neokhawarijisme bahkan bisa jadi dekat dengan kita, apalagi hal itu telah diprediksi oleh Rasulullah saw. Ibnu Abbas ketika mengadakan dialog dengan mereka menyebutkan beberapa ciri‑ciri di antaranya: Mereka sangat wara’, pakaiannya sangat sederhana, muka mereka pucat karena jarang tidur malam, jidatnya hitam, telapak tangan dan kakinya kapalan, dan meraka disebut qura’ yaitu orang yang bagus bacaannya dan lama bila membaca Al-Qur’an.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Untuk melihat sifat‑sifat mereka lebih jauh, kita lihat hadits‑hadits Rasul saw. yang membicarakan hal ini, diantaranya:</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="arabic">عن أبي سعيد الخذري قال: بينما نحن عند رسول الله (ص) وهو يقسم قسما أتاه ذوالقويصرة وهو رجل من بني تميم فقال: يا رسول الله اعدل. قال رسول الله (ص) ويلك ومن يعدل إن لم اعدل؟ قد خبتُ وخسرتُ إن لم اعدل. فقال عمر بن خطاب (ض) يا رسول الله ائذن لي فيه اضرب عنقه. قال رسول الله (ص) دعه فإن له أصحابا يحقر أحدكم صلاته مع صلاتهم وصيامه مع صيامهم يقرئون القران لا يجاوز تراقيهم ويمرقون من الإسلام كما يمرق السهم من الرمية</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><em>Dari Abi Said Al‑Khudry berkata, Tatkala kami bersama Rasulullah saw. dan beliau sedang membagikan ghanimah, datang Dzul Khuwaishirah salah seorang dari Bani Tamim dan berkata, “Wahai Rasulullah berbuat adillah!” Berkata Rasulullah saw., “Celaka! Siapa yang akan berbuat adil jika saya tidak berbuat adil? Niscaya saya celaka dan binasa jika saya tidak adil.” Berkata Umar bin Khattab, “Wahai Rasulullah! Ijinkan saya memenggal lehernya.” Berkata Rasulullah saw., “Biarkanlah dia. Sesunggulinya dia mempunyai banyak teman, dirnana dianggap remeh shalat di antara kalian dibanding shalat mereka, puasa kalian dibanding puasa mereka, mereka membaca Al‑Qur’an tidak sampai kecuali pada tenggorokan mereka. Mereka keluar dari Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busur.” </em>(HR. Bukhari dan Muslim)</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><em>“Pada hari Hunain Rasulullah saw. mengutamakan sebagian manusia dalam pembagian ghanimah. Beliau memberi Al‑Aqra bin Habis Al‑Handhaly 100 unta, memberi Uyainah bin Badrul Fijary dengan jumlah yang serupa dan memberi para pembesar Arab, beliau mengutamakan mereka dalam pembagian. Maka berkata salah seorang, “Demi Allah, pembagian ini tidak adil dan tidak bertujuan untuk mencari ridha Allah!”</em> (HR. Muslim)</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="arabic">وفي رواية: إن من ضئضئ هذا قوما يقرئون القرآن لا يجاوز حناجرهم يقتلون أهل الإسلام ويدعون أهل الأوثان يمرقون الإسلام كما يمرق السهم من الرمية لئن أدركتهم لأقتلنهم قتل عاد</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><em>Dalam riwayat yang lain: “Sesungguhnya dari keturunan ini ada kaum yang membaca Al-Qur’an yang tidak sampai kecuali pada kerongkongan, mereka membunuh orang Islam dan membiarkan penyembah berhala, mereka keluar dari Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya, jika saya menjumpai mereka pasti akan saya bunuh mereka seperti membunuh kaum Aad.”</em> (HR. Bukhari dan Muslim)</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="arabic">سيخرج في آخر الزمان قوم أحدث الأسنان سفهاء الأحلام</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><em>“Akan keluar di akhir zaman suatu kaum yang usia mereka masih muda, dan bodoh, mereka mengatakan sebaik‑baiknya perkataan manusia, membaca Al‑Qur’an tidak sampai kecuali pada kerongkongan mereka. Mereka keluar dari din (agama Islam) sebagaimana anak panah keluar dan busurnya.”</em> (HR. Bukhari dan Muslim)</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="arabic">يخرج قوم من أمتي يقرئون القرآن يحسبون لهم وهو عليهم لاتجاوز صلاتهم تراقيهم</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><em>“Suatu kaum dari umatku akan keluar membaca Al‑Qur’an, mereka mengira bacaan Al-Qur’an itu menolong dirinya padahal justru membahayakan dirinya. Shalat mereka tidak sampai kecuali pada kerongkongan mereka.”</em> (HR. Muslim)</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="arabic">يحسنون القيل ويسيئون الفعل يدعون إلى كتاب الله وليسوا منه في شيء</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><em>“Mereka baik dalam berkata tapi jelek dalam berbuat, mengajak untuk mengamalkan kitab Allah padahal mereka tidak menjalankannya sedikitpun.” (HR. Al-Hakim)</em></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="arabic">لايزالون يخرجون حتى يخرج آخرهم مع المسيح الدجال</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><em>“Mereka akan senantiasa keluar sampai pada yang terakhir bersama Al-Masih Ad-Dajjal. Jika kalian bertemu mereka, maka bunuhlah; merekalah sejelek-jelek penciptaan dan sejelek-jelek makhluk.” (HR. An-Nasa’i dan Al-Hakim)</em></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="arabic">الخوارج كلاب أهل النار</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><em>“Al-Khawarij adalah anjingnya ahli neraka.”</em></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Dari hadits-hadits di atas dapat disimpulkan sifat-sifat, nilai, fenomena, dan kedudukan mereka.</p>tainkhttp://www.blogger.com/profile/12677600963245460989noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1200640332744052449.post-48174014080843156482009-01-16T12:20:00.004+07:002009-01-16T12:25:24.239+07:009 Bukti Keimanan (Ittiba’) kepada Rasulullah saw<div style="text-align: center;">“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (An-Nisa: 80)<br /><br /><div style="text-align: center;">Barangsiapa mengaku mentaati Allah swt. namun tidak mau ittiba’ Rasulullah saw., maka ketaatannya itu tidak sah menurut Al-Qur’an; dan Rasulullah saw. berlepas diri dari orang tersebut. Dan siapapun yang mengaku melaksanakan Al-Qur’an namun tidak ittiba’ dengan sunnah Rasulullah saw., maka pengakuannya hanyalah pengakuan palsu belaka.<br /><br /><div style="text-align: justify;"><p style="margin: 6pt 0in;" dir="ltr">Berikut ini adalah buah ittiba’ kepada Rasulullah saw.:</p> <p style="margin: 6pt 0in;" dir="ltr"><strong>1. Mahabbatullah</strong></p> <p style="margin: 6pt 0in;" dir="ltr">Natijah (buah) dari ittiba’ kita kepada Rasulullah saw. jika kita lakukan dengan benar adalah mahabbatullah (cinta dari Allah swt) sekaligus maghfirah (ampunan)Nya.</p> <p style="margin: 6pt 0in;" dir="ltr">Katakanlah (hai Muhammad), “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” (Ali Imran: 31)</p> <p style="margin: 6pt 0in;" dir="ltr">Cinta kepada Allah swt. yang dibuktikan dengan ittiba’ kepada Rasulullah saw. akan melahirkan buah manis berupa cinta Allah swt. Allah swt. memerintahkan kita mengikuti Rasulullah saw., dan setiap perintah Allah swt. apabila kita laksanakan dengan ikhlas dan benar pasti akan mendatangkan cinta dari-Nya. Ketika Allah telah mencintai hamba-Nya, maka segala kekurangan dan dosa yang terjadi akan mudah diampuni oleh Allah swt.</p> <p style="margin: 6pt 0in;" dir="ltr"><strong>2. Rahmatullah</strong></p> <p style="margin: 6pt 0in;" dir="ltr">Orang-orang yang mentaati Rasulullah saw. dengan mengikuti sunnah beliau akan memperolah rahmat dari Allah swt. Karena orang-orang yang mencontoh Rasulullah saw. pastilah orang-orang yang berbuat baik atau ihsan (ingat makna ahsanu ‘amala menurut Fudhail bin ‘Iyadh di atas), dan orang-orang yang berbuat ihsan amat dekat dengan rahmat Allah swt.</p> <p style="margin: 6pt 0in;" dir="ltr">“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 71)</p> <p style="margin: 6pt 0in;" dir="ltr">“Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Al-A’raf: 56).</p> <p style="margin: 6pt 0in;" dir="ltr"><strong>3. Hidayatullah</strong></p> <p class="arabic">«إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً، وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةً، فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّتِيْ فَقَدِ اهْتَدَى، وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ هَلَكَ» (رواه ابن خزيمة في صحيحه وأحمد في مسنده والبيهقي في الشعب والطبراني وأبو نعيم).</p> <p style="margin: 6pt 0in;" dir="ltr">Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya setiap amal itu mempunyai puncak semangat, dan setiap semangat memiliki titik jemu (lesu). Maka barangsiapa kelesuannya tetap dalam sunnahku berarti ia telah mendapat petunjuk (dari Allah), dan barangsiapa kelesuannya tidak dalam sunnahku berarti ia celaka. (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, Ahmad dalam Musnadnya, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, At-Thabarani dan Abu Nu’aim).</p> <p style="margin: 6pt 0in;" dir="ltr">Hadits di atas menegaskan bahwa tetap berada dalam sunnah Rasulullah saw. dalam segala keadaan akan mendatangkan tambahan petunjuk dari Allah swt. Oleh karenanya, orang-orang yang beriman selalu berusaha mengikuti sunnah Rasulullah saw. ketika sedang bersemangat atau sedang lesu (kurang semangat). Ia tidak membiarkan dirinya hanyut dan terbawa bisikan setan sehingga membuatnya jauh dari hidayah Allah swt.</p> <p style="margin: 6pt 0in;" dir="ltr"><strong>4. Mushahabatul Akhyar fil Jannah</strong></p> <p style="margin: 6pt 0in;" dir="ltr">“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An-Nisa: 69).</p> <p style="margin: 6pt 0in;" dir="ltr">Orang yang ittiba’ kepada Rasulullah saw. akan dikumpulkan bersama orang-orang pilihan di surga nanti, yaitu para nabi, orang-orang yang shiddiq, syuhada, dan shalihin.</p> <p style="margin: 6pt 0in;" dir="ltr">As-Syafaah</p> <p class="arabic">قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ: “اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِى وَعَدْتَهُ”، حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ » (رواه البخاري).</p> <p style="margin: 6pt 0in;" dir="ltr">Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa berdoa ketika mendengar panggilan adzan: ‘Ya Allah Rabb seruan yang sempurna ini, dan shalat yang ditegakkan, berikanlah kepada Nabi Muhammad wasilah dan keutamaan, bangkitkan dia dengan kedudukan mulia yang telah Engkau janjikan kepadanya’, maka akan mendapat syafaatku di hari kiamat.” (Bukhari).</p> <p style="margin: 6pt 0in;" dir="ltr">Hadits di atas menunjukkan keutamaan doa setelah adzan. Ia juga mengisyaratkan bahwa mengikuti perintah dan arahan Rasulullah saw. adalah sesuatu yang membuat kita berhak mendapatkan syafaat dari beliau. Logikanya, jika mentaati satu perintah Rasulullah saw. saja yakni membaca doa setelah adzan, akan membuat pembacanya berhak mendapatkan syafaat beliau, apalagi dengan mengikuti dan mentaati sunnah beliau secara keseluruhan, maka orang itu lebih berhak untuk mendapatkan syafaat beliau.</p> <p style="margin: 6pt 0in;" dir="ltr"><strong>5. Nadharatul Wajhi</strong></p> <p style="margin: 6pt 0in;" dir="ltr">Salah satu bentuk ittiba’ Rasulullah saw. adalah mendengarkan, mempelajari, menghafal, dan memahami hadits Rasulullah saw., kemudian menyampaikannya kepada orang lain. Orang yang mempelajari hadits Rasulullah saw., menghafal kemudian menyampaikannya apa adanya tanpa menambah atau mengurangi, maka Allah akan membuat wajahnya berseri dan bersinar.</p> <p class="arabic">« نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ غَيْرَهُ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ » (رواه الترمذي).</p> <p style="margin: 6pt 0in;" dir="ltr">Rasulullah saw. bersabda, “Semoga Allah menyinari (wajah) seseorang yang mendengar hadits dari kami, lalu ia hafal sehingga ia menyampaikannya kepada orang lain. Boleh jadi seorang pembawa fiqih menyampaikan (ilmunya) kepada orang yang lebih paham. Dan boleh jadi pembawa fiqih bukanlah seorang yang faqih.” (Tirmidzi).</p> <p style="margin: 6pt 0in;" dir="ltr">Hadits di atas mendorong kita untuk selalu bersemangat mempelajari, memahami, dan menghapal hadits Rasulullah saw, kemudian menyampaikan teks hadits itu apa adanya dengan penuh amanah tanpa menambah atau mengurangi sedikitpun. Jika kita itu kita lakukan kita berhak mendapatkan wajah yang bersinar di hari kiamat nanti. Hadits di atas juga menyatakan bahwa mungkin saja orang yang disampaikan kepadanya suatu ilmu kemudian ia lebih paham daripada yang menyampaikan. Atau bahkan bisa jadi yang menyampaikan sebuah riwayat tidak memahami riwayat tersebut, sedangkan yang disampaikan justru memahaminya dengan baik.</p> <p style="margin: 6pt 0in;" dir="ltr"><strong>6. Mujawaratur Rasul </strong></p> <p style="margin: 6pt 0in;" dir="ltr">Orang yang mencintai Rasulullah saw., maka ia akan berusaha sekuat tenaga untuk ittiba’ kepada Rasulullah saw. dengan mengikuti sunnah beliau. Maka orang ini akan bersama Rasulullah saw di surga, seperti sabda beliau:</p> <p class="arabic">((وَمَنْ أَحْيَا سُنَّتِى فَقَدْ أَحَبَّنِى وَمَنْ أَحَبَّنِى كَانَ مَعِى فِى الْجَنَّةِ)) (رواه الترمذي والطبراني في الأوسط)</p> <p style="margin: 6pt 0in;" dir="ltr">“Barangsiapa menghidupkan sunnahku, berarti ia mencintaiku; dan barangsiapa mencintaiku, maka ia bersamaku di surga.” (Tirmidzi dan Thabarani di Al-Mu’jam Al-Awsath).</p> <p style="margin: 6pt 0in;" dir="ltr"><strong>7. Izzatun Nafsi</strong></p> <p style="margin: 6pt 0in;" dir="ltr">Orang yang mengikuti Rasulullah saw. dengan ikhlas semata-mata karena mencintai Allah dan Rasul-Nya, akan meraih kemuliaan dan kekuatan jiwa dihadapan Allah swt. Betapa tidak? Ia telah mendapatkan kecintaan, ampunan, rahmat, hidayah, dan berbagai anugrah lain dari Allah swt. Dengan itu semua terangkatlah dirinya menuju tempat yang tinggi dan mulia, ia tidak lagi peduli dengan kemuliaan di mata manusia selama ia mulia di sisi Allah.</p> <p style="margin: 6pt 0in;" dir="ltr">Ingatlah, kemuliaan itu terletak pada mengikuti Allah Al-‘Aziz (yang memiliki Izzah atau keperkasaan) dan mengikuti Rasul-Nya. “Padahal ‘izzah itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (Al-Munafiqun: 8).</p> <p style="margin: 6pt 0in;" dir="ltr"><strong>8. Al-Falah</strong></p> <p style="margin: 6pt 0in;" dir="ltr">“Maka orang-orang yang beriman kepadanya (Muhammad saw), memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-A’raf: 157)</p> <p style="margin: 6pt 0in;" dir="ltr">Keberuntungan pasti akan diperoleh oleh mereka yang selalu ittiba’ kepada Rasulullah saw. dengan beriman kepadanya, memuliakannya, menolong (ajaran)nya, dan selalu mengikuti cahaya Al-Qur’an.</p> <p style="margin: 6pt 0in;" dir="ltr"><strong>9. Kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat</strong></p> <p style="margin: 6pt 0in;" dir="ltr">Tak dapat diragukan lagi bahwa orang yang mendapatkan semua nataij dari mengikuti Rasulullah saw. di atas adalah orang-orang yang pasti berbahagia hidupnya dengan kebahagiaan hakiki di dunia maupun di akhirat.</p> <p style="margin: 6pt 0in;" dir="ltr">“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97)</p> <p style="margin: 6pt 0in;" dir="ltr">Kalau sudah begitu, siapa yang gak mau. Makanya, buruan deh ittiba’ kepada Rasulullah saw.!</p></div></div></div>tainkhttp://www.blogger.com/profile/12677600963245460989noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1200640332744052449.post-17590686693647858042009-01-12T20:20:00.001+07:002009-01-12T20:22:41.088+07:00Hak Istri dan Kewajiban Suami<p style="text-align: justify; font-family: georgia;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><b style=""><i style=""><span style="color: fuchsia;">D</span></i></b></span><span style="font-size:100%;">alam Islam memberi nafkah kepada istri dan anak dimasukkan dalam kategori ibadah. Dari Sa'ad bin Abi Waqqash, Rasulullah SAW telah bersabda kepadanya, "Engkau tiada memberi belanja demi mencari ridha Allah, melainkan pasti diberi pahala, sekalipun yang engkau suapkan ke dalam mulut istrimu." (HR. Bukhari Muslim)</span></p><div style="text-align: justify; font-family: georgia;"> </div><p style="text-align: justify; font-family: georgia;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;">Bahkan nilai menghidupi anak dan istri itu lebih utama dari pada menyumbangkan harta demi perjuangan Islam sekalipun, sementara anak dan istri kelaparan. Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, "Satu dinar yang engkau belanjakan untuk perang di jalan Allah dan satu dinar yang engkau belanjakan untuk istrimu, yang paling besar pahalanya ialah apa yang engkau berikan kepada istrimu." (HR. Bukhari Muslim)</span></p><div style="text-align: justify; font-family: georgia;"> </div><p style="text-align: justify; font-family: georgia;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;">Istri berhak untuk mendapatkan belanja sewajarnya, tergantung seberapa besar kemampuan suami. Contohnya soal pangan dan pakaian. Kalau suami punya jatah makanan daging dan keju misalnya, maka istri berhak pula untuk mendapatkan makanan sekualitas itu. Sebaliknya bila sang suami cuma mampu membeli nasi dan ikan asin, istri pun tak boleh menuntut untuk bisa makan ayam.</span></p><div style="text-align: justify; font-family: georgia;"> </div><p style="text-align: justify; font-family: georgia;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;">Begitu pula dalam hal memberi pakaian, harus yang sekualitas. Bukan karena alasan suami sering keluar rumah, lantas dibelinya jas kemeja yang mahal-mahal sementara istrinya di rumah dibelikan daster butut.</span></p><div style="text-align: justify; font-family: georgia;"> </div><p style="text-align: justify; font-family: georgia;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;">Abu Sufyan adalah seorang sahabat Rasulullah SAW yang cukup berada. Sayangnya, ia tergolong pelit. Saking pelitnya, ia terlalu sedikit memberikan nafkah belanja kepada istrinya. Sang istri pun nekad, mencuri dari saku suaminya.</span></p><div style="text-align: justify; font-family: georgia;"> </div><p style="text-align: justify; font-family: georgia;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;">Dari Aisyah diceritakan, Hindun, istri Abu Sufyan berkata kepada Nabi, "Sungguh Abu Sufyan adalah orang yang kikir. Ia tidak memberiku belanja yang mencukupi bagi diriku dan anaknya, sehingga aku terpaksa mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya." Nabi pun menanggapi, "Ambillah sebanyak yang mencukupi dirimu dan anakmu dengan wajar." (HR. Bukhari dan Muslim)</span></p><div style="text-align: justify; font-family: georgia;"> </div><p style="text-align: justify; font-family: georgia;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;">Tetapi sekali lagi, tetap disesuaikan dengan kemampuan suami. Istri yang baik tak akan merengek-rengek meminta sesuatu yang tak kuat dibeli oleh suaminya. Allah menerangkan dalam surah Ath-Thalaaq ayat 7 : "<i style="">Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan</i>."</span></p><div style="text-align: justify; font-family: georgia;"> </div><p style="text-align: justify; font-family: georgia;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;">SEDEKAH ISTRI. Lalu bagaimana dengan istri yang bekerja dan dari pekerjaannya itu ia bisa menopang biaya hidupnya? Apakah suami tetap berkewajiban memberi nafkah?</span></p><div style="text-align: justify; font-family: georgia;"> </div><p style="text-align: justify; font-family: georgia;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;">Istri meminta atau tidak, memberi nafkah tetap menjadi tanggung jawab seorang suami. Apakah kalau istri tidak minta lantas suami cuma ongkang-ongkang? Enak betul kalau begitu.</span></p><div style="text-align: justify; font-family: georgia;"> </div><p style="text-align: justify; font-family: georgia;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;">Kendati istrinya berharta sekalipun, atau bergaji yang lumayana besar, tanggungjawab suami tidak gugur begitu saja. Ia wajib untuk tetap bekerja sekuat tenaga, walau dengan hasil minim, demi memenuhi tugas berat ini. Alangkah malunya bila sang istri sibuk dengan kerjanya di kantor sementara suaminya berleha-leha.</span></p><div style="text-align: justify; font-family: georgia;"> </div><p style="text-align: justify; font-family: georgia;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;">Dalam Islam, wanita benar-benar mendapatkan kedudukan sepantasnya yang amat terhormat. Perkawinan tidak mengubah kedudukannya menjadi budak suami. Ia tetap mempunyai hak-hak pribadi yang tak boleh diganggu walau oleh suami. Misalkan dalam hal harta kekayaan.</span></p><div style="text-align: justify; font-family: georgia;"> </div><p style="text-align: justify; font-family: georgia;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;">Istri yang berasal dari keluarga kaya, bisa jadi mendapat pesangon yang cukup besar dari keluarganya saat akan menikah. Atau didapatnya harta waris yang banyak dari orang tuanya yang meninggal dunia. Maka, Islam mengakui bahwa ia berhak memiliki sendiri hartanya tersebut. Demikian pula aturannya bila istri bekerja dan mendapat penghasilan atas kerjanya itu, maka akan dimasukkan dalam harta pribadinya.</span></p><div style="text-align: justify; font-family: georgia;"> </div><p style="text-align: justify; font-family: georgia;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;">Harta gono-gini (istilah Jawa), yaitu harta milik bersama suami istri yang didapat dari hasil gaji keduanya selama setelah pernikahan, tak ada dalam Islam. Bila istri berpenghasilan, maka bukan lantas milik bersama, tetapi tetap jadi haknya pribadi. Mengenai kerelaan istri untuk memberikan hartanya kepada suami, itu masalah lain, dan dinilai sebagai sedekah.</span></p><div style="text-align: justify; font-family: georgia;"> </div><p style="text-align: justify; font-family: georgia;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;">Adalah sepasang suami istri, Zainab dan Abdullah bin Mas'ud. Sang suami tergolong orang fakir, sementara istrinya memiliki harta pribadi yang lumayan, yang ingin ia sedekahkan. Maka ia pun mendatangi Rasulullah ditemani seorang wanita yang punya kepentingan sama. Ketika di depan rumah beliau mereka bertemu Bilal, berkata Zainab, "Katakanlah kepada beliau bahwa ada dua orang perempuan yang akan bertanya apakah cukup kalau harta mereka diberikan kepada suami mereka dan kepada anak yatim di rumah-rumah mereka? Tolong jangan kau katakan siapa kami."</span></p><div style="text-align: justify; font-family: georgia;"> </div><p style="text-align: justify; font-family: georgia;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;">Bilal pun masuk dan menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah SAW. Lebih dahulu beliau bertanya siapakah wanita itu. Bilal pun berkata, "Seorang wanita Anshar dan Zainab."</span></p><div style="text-align: justify; font-family: georgia;"> </div><p style="text-align: justify; font-family: georgia;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;">Zainab yang mana?</span></p><div style="text-align: justify; font-family: georgia;"> </div><p style="text-align: justify; font-family: georgia;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;">"Istri Abdullah bin Mas'ud."</span></p><div style="text-align: justify; font-family: georgia;"> </div><p style="text-align: justify; font-family: georgia;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;">"Mereka berdua akan mendapatkan dua pahala. satu pahala ibadah dan satu pahala sedekah," (HR. Bukhari & Muslim)</span></p><div style="text-align: justify; font-family: georgia;"> </div><p style="text-align: justify; font-family: georgia;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;">Apabila suatu waktu terjadi perceraian, maka harta pribadi istri tetap menjadi haknya. Kalaupun ada harta gono-gini, maka aturan pembagiannya fifty-fifty yang lazim digunakan orang adalah salah. Menurut Islam, harta istri tetap miliknya, tak ada hak suami atasnya.</span></p><div style="text-align: justify; font-family: georgia;"> </div><p style="text-align: justify; font-family: georgia;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;">bagi para wanita, ada kehormatan tinggi tersendiri. Tidak ada kewajiban bagi mereka untuk mencari nafkah. Bukannya menggambarkan wanita sebagai orang yang lemah dan tukang membebani laki-laki, tapi ini adalah penghormatan Islam kepada wanita seubungan dengan tugas mereka yang amat vital di dalam rumah keluarganya.</span></p><div style="text-align: justify; font-family: georgia;"> </div><p style="text-align: justify; font-family: georgia;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;">Seorang ayah wajib membiayai hidup anak-anak perempuannya sampai ia menikah. Bila ayah tidak mempunyai kesanggupan, tanggung jawab ini beralih ke pundak saudara laki-laki.</span></p><div style="text-align: justify; font-family: georgia;"> </div><p style="text-align: justify; font-family: georgia;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;">Rasulullah berkata, "Barangsiapa menanggung belanja tiga anak putri atau tiga saudara perempuan, maka pastilah ia memperoleh surga." (HR. Thahawi)</span></p><div style="text-align: justify; font-family: georgia;"> </div><p style="text-align: justify; font-family: georgia;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;">Bukan berarti bila saudara perempuan cuma satu lantas gugur kewajiban untuk menanggungnya. Hanya saja, belum dijamin surga. Bila ada tiga perempuan yang jadi tanggungannya, barulah surga bisa dijadikan jaminan. Kalau surga sudah dijanjikan sebagai balasan, dapat dipastikan bahwa ini adalah sebuah tugas berat.</span></p><div style="text-align: justify; font-family: georgia;"> </div><p style="text-align: justify; font-family: georgia;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;">Pada saat sang wanita menikah, tanggung jawab penghidupannya ada di tangan suami. Tetapi jika jadi janda, ia kembali menjadi tanggung jawab ayah dan saudara laki-lakinya. Dan bila tak ada seorang pun yang bisa menanggungnya, maka negara lah yang wajib memikirkannya.</span></p><div style="text-align: justify; font-family: georgia;"> </div><p style="text-align: justify; font-family: georgia;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;">Sedangkan kepada anak laki-laki, kewajiban orang tua menafkahi sampai mereka dewasa dan dianggap mampu mencari penghasilan sendiri. Seorang anak laki-laki yang sudah mencapai umur produktif, hendaknya jangan terus menggantungkan diri kepada orang tua. Belum lulus kuliah, bukanlah satu alasan yang tepat untuk mengangggur. Harus diupayakan kuliah sambil bekerja, seberat apapun pekerjaan itu.</span></p><div style="text-align: justify; font-family: georgia;"> </div><p style="text-align: justify; font-family: georgia;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;">Anjuran Islam ini, ternyata diterapkan di negara-negara Eropa dan Jepang. Anak laki-laki di sana merasa malu kalau masih hidup satu rumah dengan keluarganya. Biasanya mereka akan memisahkan diri dengan menyewa flat sederhana. Di sanalah ia belajar bekerja menghidupi diri sendiri sambil menjalani kuliah. Ada yang cuma jadi tukang cuci piring, tukang sapu atau penjual minuman, tetapi mereka bangga dengan hasil keringat sendiri. Hanya sayangnya, kesendirian mereka itu memberikan kesempatan untuk berbebas-bebas semaunya.</span></p><div style="text-align: justify; font-family: georgia;"> </div><p style="text-align: justify; font-family: georgia;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;">Seorang datang kepada Rasulullah dan bertanya, "Pekerjaan macam mana yang baik ya Rasulullah?" jawab beliau, "Seorang yang bekerja dengan tangannya sendiri." (HR. Bazzar)</span></p><div style="text-align: justify; font-family: georgia;"> <span style="font-size:100%;"><span style="">laki-laki dewasa yang tidak mau bekerja itu tercela dalam Islam. Mereka yang masih membebani orang tua, sama halnya merampas hak bagi adik-adiknya yang lain.</span></span></div>tainkhttp://www.blogger.com/profile/12677600963245460989noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1200640332744052449.post-17138905824537764802009-01-12T20:14:00.004+07:002009-01-12T20:26:06.511+07:00Calon Pasangan Yang Ideal Menurut Islam<div style="text-align: center;font-family:georgia;"><span style="font-size:100%;">Setiap <span style="font-weight: bold;">muslim</span> dan <span style="font-weight: bold;">muslimah</span> yang ingin membina rumah tangga yang Islami, maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal :</span></div><p style="text-align: justify;font-family:georgia;"><span style="font-size:100%;">a. Harus Kafa'ah<br /></span></p><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:georgia;">b. Shalihah </span></span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><br /></span><div style="text-align: justify;font-family:georgia;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-weight: bold;">a. Kafa'ah Menurut Konsep Islam</span><br /></span><span style="font-size:100%;">Pengaruh materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak sedikit zaman sekarang ini orang tua yang memiliki pemikiran, bahwa di dalam mencari calon jodoh putra-putrinya, selalu mempertimbangkan keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan saja. Sementara pertimbangan agama kurang mendapat perhatian. Masalah Kufu' (sederajat, sepadan) hanya diukur lewat materi saja.<br /><br /></span><span style="font-size:100%;">Menurut Islam, Kafa'ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam perkawinan, dipandang sangat penting karena dengan adanya kesamaan antara kedua suami istri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami inysa Allah akan terwujud. Tetapi kafa'ah menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta ahlaq seseorang, bukan status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Allah memandang sama derajat seseorang baik itu orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan dari keduanya melainkan derajat taqwanya (Al-Hujuraat : 13).<br /></span><span style="font-size:100%;">"Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". (Al-Hujuraat : 13).<br /></span><span style="font-size:100%;">Dan mereka tetap sekufu' dan tidak ada halangan bagi mereka untuk menikah satu sama lainnya. Wajib bagi para orang tua, pemuda dan pemudi yang masih berfaham materialis dan mempertahankan adat istiadat wajib mereka meninggalkannya dan kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi yang Shahih. Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :<br /></span><span style="font-size:100%;">"Artinya : Wanita dikawini karena empat hal : Karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya (ke-Islamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan celaka". (Hadits Shahi Riwayat Bukhari 6:123, Muslim 4:175).<br /><br /></span><span style="font-size:100%;"><span style="font-weight: bold;">b. Memilih Yang Shalihah</span><br /></span><span style="font-size:100%;">Orang yang mau nikah harus memilih wanita yang shalihah dan wanita harus memilih laki-laki yang shalih.<br /></span><span style="font-size:100%;">Menurut Al-Qur'an wanita yang shalihah ialah :<br /></span><span style="font-size:100%;">"Artinya : Wanita yang shalihah ialah yang ta'at kepada Allah lagi memelihara diri bila suami tidak ada, sebagaimana Allah telah memelihara (mereka)". (An-Nisaa : 34).<br /></span><span style="font-size:100%;">Menurut Al-Qur'an dan Al-Hadits yang Shahih di antara ciri-ciri wanita yang shalihah ialah :<br /></span><span style="font-size:100%;">"Ta'at kepada Allah, Ta'at kepada Rasul, Memakai jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti wanita jahiliyah (Al-Ahzab : 32), Tidak berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahram, Ta'at kepada kedua Orang Tua dalam kebaikan, Ta'at kepada suami dan baik kepada tetangganya dan lain sebagainya".<br /></span><span style="font-size:100%;">Bila kriteria ini dipenuhi Insya Allah rumah tangga yang Islami akan terwujud. Sebagai tambahan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih wanita yang peranak dan penyayang agar dapat melahirkan generasi penerus umat.<br /><br /></span><span style="font-size:100%;"><span style="font-style: italic;">~ Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah </span><br /><br /></span><span style="font-size:100%;">Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah (sedekah).<br /><br /></span><span style="font-size:100%;">Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :<br /></span><span style="font-size:100%;">"Artinya : Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah !. Mendengar sabda Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya : "Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?" Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab : "Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? Jawab para shahabat :"Ya, benar". Beliau bersabda lagi : "Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala !". (Hadits Shahih Riwayat Muslim 3:82, Ahmad 5:1167-168 dan Nasa'i dengan sanad yang Shahih).<br /><br /></span></div><p style="text-align: justify; font-style: italic;font-family:georgia;"><span style="font-size:100%;">~ Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih </span></p><p style="text-align: justify;font-family:georgia;"><span style="font-size:100%;">Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, Allah berfirman :</span></p><p style="text-align: justify;font-family:georgia;"><span style="font-size:100%;">"Artinya : Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?". (An-Nahl : 72).<br /></span></p><div style="text-align: justify;font-family:georgia;"><span style="font-size:100%;">Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.<br /><br /></span><span style="font-size:100%;">Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. Kita sebutkan demikian karena banyak "Lembaga Pendidikan Islam", tetapi isi dan caranya tidak Islami. Sehingga banyak kita lihat anak-anak kaum muslimin tidak memiliki ahlaq Islami, diakibatkan karena pendidikan yang salah. Oleh karena itu suami istri bertanggung jawab mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar.<br /></span></div><p style="text-align: justify;font-family:georgia;"><span style="font-size:100%;">Tentang tujuan perkawinan dalam Islam, Islam juga memandang bahwa pembentukan keluarga itu sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan berdasarkan Islam yang akan mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi umat Islam.</span></p>tainkhttp://www.blogger.com/profile/12677600963245460989noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1200640332744052449.post-51724765354483176242009-01-01T13:08:00.002+07:002009-01-01T13:10:43.622+07:00Oase Iman ( Sejenak Kita Meneguhkan Iman )<span class="ch6"></span><img src="http://kautsar.co.id/foto/muslich_taman.jpg" alt="Muslich Taman" vspace="5" width="103" align="left" border="0" height="144" hspace="5" /> <p align="center"><strong></strong>oleh : Muslich Taman </p> <p style="text-align: center;" class="style87 style21 style32">Waktu dengan cepat terus berjalan. Tak kuasa dicegat sedetik pun. Alam di sekitar kita pun demikian, cepat berubah dan berganti. Pepohonan yang kemarin dedaunannya hijau dan rimbun kini telah kering dan gundul. Rambut-rambut klimis tersisir kini berubah dari hitam menjadi putih beruban. Dinding-dinding bangunan bahkan tempat ibadah pun telah retak dan mulai rapuh. Dan, aspal jalanan yang sebelumnya halus licin juga telah aus pada berlubang. Semuanya dengan pelan namun pasti, terus berubah dan berganti.</p> <p style="text-align: justify;" class="style87 style21 style32"><span class="style61 style75">Demikian juga dengan usia kita semua. Masa hidup kita dibatasi waktu. Usia kita terus bertambah, namun hakikatnya jatah hidup kita berkurang. Dan kesempatan kita menikmati indahnya dunia semakin mendekati batas pinggir.</span><br /> <br /> <span class="style63 style75">Kita harus sadar bahwa kita akan kembali. Iya kembali. Kembali menghadap sang Ilahi untuk mempertanggungjawabkan segala apa yang kita alami. Kembali bertemu Dzat yang menghidupkan kita sebelum mati. Pencipta Yang Agung dan Maha Segala? Lalu, sudahkah kita siapkan segala sesuatunya?</span><br /> <br /> <span class="style63 style75">Bukan harta benda, bukan pangkat kedudukan, bukan pula gelar kebangsawanan… Bukan itu semua… tapi iman!! Yaa… iman… hanya keimanan itu yang akan menyelamatkan kita, kini dan nanti, dunia akhirat.</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="style63 style75 style91 style31 style21 style32">Aku sangat yakin bahwa pembaca sekalian sudah mengetahui hal ini, tetapi sudahkan kita semuanya menjaga, menyuburkan, dan senantiasa meningkatkan kualitas keimanan yang bersemai dalam dada kita?!</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="style63 style75 style91 style31 style21 style32">Sudahkah pengetahuan kita terhadap hal itu mampu mendekatkan kita dengan segala amal yang kita lakukan kepada-Nya. Senantiasa mencari ridha-Nya, tulus ikhlas kepada-Nya?</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="style63 style75 style91 style31 style21 style32">Sudahkah pengetahuan itu membawa kepada kesadaran bahwa hidup kita bisa berakhir kapan saja… hari ini… bahkan mungkin detik ini… setelah kita keluar dari pintu rumah, sehabis pulang kantor, sesudah bangun tidur, usai menunaikan shalat, atau kapan pun yang kita tak tahu… Dan jika saat itu datang, mungkinkah kita membawa bekal terbaik, jika tidak kita persiapkan?!</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="style33">Untuk itu, wahai saudaraku, kakakku, dan adikku… pahamilah bahwa aku bertutur bukan untuk menggurui kalian<br /> Aku tidak melebihi dari kalian sebagai hamba-Nya<br /> Anggaplah aku teman yang sekedar mengingatkan kalian sekaligus mengingatkan dirinya sendiri..<br /> Bahwa hanya keimanan dalam dada yang memungkinkan kita berada bersama rasul-rasul dan orang-orang shaleh.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="style33">Karena itu, tolonglah aku untuk ikut mengingatkan kalian…<br /> Tidak, sekali-kali aku tidak memerintah kalian, tidak… bukan aku, tapi Dia, Allah Tuhan segala Illah!<br /> Dia yang memerintahkan, Rasul-Nya yang menyampaikan, dan aku sekadar penyambung lidah.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="style33">Telah aku sampaikan kalimat-Nya…<br />Kini terserah pada kalian, apakah bersedia memenuhi dan meninggikan seruan-Nya<br />Jalani hidup dengan senantiasa meningkatkan kualitas keimanan dengan mengikuti aturan-aturanNya dan sunnah Rasul-Nya<br />Maka insya Allah keselamatan dunia akhirat ganjarannya</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="style33">Dia, Allah, pemilik semesta dan seisinya, sudah sepantasnyalah kita selalu menaati perintah-perintah dan menjauhi larangan-Nya. Maka kebenaran hukum manakah yang kita pilih?</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="style33">Dia, Allah, pemilik sah diri dan jiwa manusia… kepadaNyalah sebenar-benar kita akan kembali.<br />Ke mana kita akan sembunyi jika ajal datang menjemput?!</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="style33">Abu Hurairah <em>Radhiyallahu Anhu </em>berkata, suatu ketika Rasulullah pernah ditanya tentang amalan apakah yang paling utama, maka Rasulullah menjelaskan, <em>“Yaitu iman kepada Allah dan Rasul-Nya, jihad fi sabilillah, kemudian haji yang mabrur.” </em>(HR. Al-Bukhari dan Muslim) <em>Wallahu a’lam bishawab</em>.<br /></p><p class="style33">Sumber :<a href="http://kautsar.co.id/oase_iman1.php"> kautsar.co.id</a><br /></p>tainkhttp://www.blogger.com/profile/12677600963245460989noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1200640332744052449.post-19827169080851233622009-01-01T13:05:00.001+07:002009-01-01T13:07:12.580+07:00Secangkir Kopi Pagi (Refleksi Hati)<span class="ch6"></span><img src="http://kautsar.co.id/img/kopipagi2.jpg" alt="Muslich Taman" vspace="5" width="112" align="left" border="0" height="144" hspace="5" /> <p align="center"><span class="style36 style21"><strong></strong></span><span class="style21">oleh : M. Nurkholis Ridwan</span> </p> <div style="text-align: center;">Ada baiknya kita merenungkan betapa dahsyatnya energi yang kita keluarkan jika dilandasi dengan hati. Betapa ampuh kata-kata yang keluar dari lubuk hati terdalam. Betapa bertenaga, begitu bergigi. Ia bisa menyejukkan amarah yang meluap, bisa membakar hati yang dibungkus selimut salju beku. Guratan kata-kata yang mengalir dari pena hati, bahkan bisa membuat samudera kalbu pembaca bergemuruh, diaduk gelora semangat, harapan dan impian.<br /></div><div style="text-align: justify;"><br />Di sinilah kita hidup. Di suatu penggal masa dimana kepura-puraan adalah suatu hal yang biasa. Saat muamalah terasa tak lengkap tanpa basa-basi diplomasi. Ketika kemunafikan sering kali jadi tuntutan. Pada suatu episode dimana kejujuran seringkali ditertawakan karena sudah ketinggalan zaman.<br /> <br />Tapi orang lupa, kejujuran tak pernah mengenal tren atawa musim. Ia tak pernah lekang digerus waktu, atau punah dicacah tahun. Kejujuran adalah tentang bagaimana orang berkata dan berpenampilan apa adanya. <em>Our words is our guarantee</em>. Kata-kata kita adalah jaminan kita. Kejujuran adalah tentang bagaimana kita hidup yang semestinya. Semestinya jujur. Maka begitulah adanya.<br /> <br />Maka tak heran jika Rasul melarang dusta, dalam sebuah sabdanya, dalam sebuah frasa yang diuntaikan secara berturut-turut. Sebuah bentuk repetisi yang bermakna penekanan terhadap umatnya agar selalu jujur dan jujur. Karena, seperti disebutkan dalam sebuah hadits sahih, dusta dapat menghantarkan pada dosa, dan dosa dapat berujung pada neraka. Dan kita lalu seperti terasing, sendirian, di sebuah lorong yang panjang. Kita seperti aneh. <em>Gharib</em>. Tapi bukankah Islam itu datang dalam keadaan asing dan kembali dalam keadaan asing. <em>“Maka berbahagialah orang-orang yang asing itu,” </em>kata Rasulullah<em>. “Yaitu orang-orang yang melakukan ishlah (perbaikan) di masa kerusakan.” </em><br /> <br />“Hati mengaktifkan nilai-nilai kita yang terdalam, mengubahnya dari sesuatu yang kita pikir menjadi yang kita jalani. Hati mampu mengetahui hal-hal mana yang tidak boleh, atau tidak dapat diketahui oleh pikiran kita. Hati adalah sumber keberanian dan semangat, integritas serta komitmen. Hati adalah sumber energi dan perasaan mendalam yang menuntut kita untuk melakukan pembelajaran, menciptakan kerjasama, memimpin, dan melayani,” kata Robert K. Cooper, seorang motivator.<br /> <br />Tapi hati kadang kala pula keruh. Jika keruh, maka binasalah semua amal perbuatan. Jika baik, maka baik pulalah seluruh tubuh. Karena itu, hati harus selalu dibasuh. Shalat lima waktu yang dilakukan dengan khusyuk akan menjaga bening kalbu. Dzikir yang dilantunkan dengan tulus ikhlas akan memompakan kesejukan ke dalam setiap rongga jiwa. Berbuat baik kepada sesama akan mengasah kepekaan hati, memantapkan rasa syukur dan memudahkan kita untuk memaknai hidup yang lebih positif.<br /> <br />Maka, lakukanlah semua kebaikan dari hati yang terdalam. Tentu dengan sepenuh keikhlasan. Bukan karena apa atau kenapa-napa. Tapi memang begitulah semestinya.<br /><br />Sumber : <a href="http://kautsar.co.id/kopi_pagi1.php">kautsar.co.id</a><br /></div>tainkhttp://www.blogger.com/profile/12677600963245460989noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1200640332744052449.post-50423440203449768222009-01-01T12:59:00.002+07:002009-01-01T13:02:08.761+07:00Renungan Hadits (Kaya Jiwa)<span class="ch6"></span><img src="http://kautsar.co.id/foto/3.jpg" alt="Muslich Taman" vspace="5" width="103" align="left" border="0" height="144" hspace="5" /> <p align="center"><strong></strong>oleh : Pardan Syafruddin </p> <div align="left"><div style="text-align: center;"><span class="style24">Dari Abu Huraerah, ia berkata, Rasulullah <em>Shallallahu Alaihi wa Sallam</em> bersabda, “<em>Bukanlah kekayan itu dengan banyaknya harta. Tetapi, sesungguhnya kaya itu ialah kaya jiwa</em>.” HR. Bukhari dan Muslim. </span></div> </div> <p class="style24" dir="rtl" align="left"><br /></p><p class="style24" dir="rtl" align="left"><br /> <strong>Takhrij Hadis</strong><br /></p><div style="text-align: justify;"> Hadis ini diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari dalam <em>Bab</em> <em>Ghina An-Nafs wa Qauluhu Ta’ala Ayahsabuna inna ma numidduhum...</em> (jilid 20, hadis nomor 5965, hal. 79). Muslim dalam <em>Bab Laisa Al-Ghina ‘an Katsratil Aradh</em> (jilid 5, hadis nomor 1741, hal. 268).<br />Dengan demikian dalam tinjauan kedudukan hadis adalah shahih. Seperti yang telah disepakati para ulama bahwa hadis yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim termasuk kategori hadis shahih.</div><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="style24" dir="rtl"><br /> </p><div style="text-align: justify;"><strong>Makna Kata</strong><br />“<strong><em>Al-Ghina</em></strong>” artinya ialah kaya, yang dijelaskan dalam hadis dengan kalimat <em>‘an katsratil ‘aradh</em> (banyaknya harta ataupun materi). Kaya dalam pandangan manusia adalah orang yang memiliki banyak harta.<br />“<strong><em>An-Nafs</em></strong>” maknanya ialah jiwa, berupa ruh yang ada dalam tubuh dan menyebabkan seseorang hidup. Jiwa bermakna pula seluruh kehidupan batin manusia yang terjadi dari perasaan, pikiran, angan-angan dan sebagainya.</div><div style="text-align: justify;"> <br /> <strong>Syarah Hadis</strong><br />Sungguh indah filosofis hidup Rasulullah, beliau memberikan pernyataan kepada para sahabatnya –tentunya juga kepada umatnya sampai akhir zaman- bahwa arti kaya yang sesungguhnya ialah kayanya jiwa ataupun hati. Bukan kaya dengan melimpah ruahnya harta dan materi, yang selama ini menjadi pandangan sebagian besar manusia.<br />Di saat seseorang ditanya, “Apa yang dimaksud dengan kaya?” atau “Orang kaya itu seperti apa?” Tentu jawaban yang diutarakan adalah orang yang banyak harta, baik uang, perhiasan, kendaraan, ladang, sawah, peternakan dan sebagainya yang sifatnya materi. Jawaban ini wajar karena memang timbangan kekayaan menurut kacamata dhahir adalah dengan berlimpah ruahnya materi.<br /> <br />Dalam hadis ini Rasulullah mengingatkan, sesungguhnya kaya yang hakiki adalah kayanya jiwa, lapangnya hati dari berbagai problematika hidup yang dijalani, bukanlah kekayan itu dengan banyaknya harta. Tetapi, sesungguhnya kaya itu ialah kaya jiwa.<br />Inilah pandangan lain yang diajarkan Rasul kepada umatnya agar jangan melihat kekayaan dari tinjauan lahiriah saja. Ada kacamata lain yaitu kacamata batin yang memaknai kekayaan berkaitan dengan kehidupan manusia yang terjadi dari perasaan dan pikiran yang tidak dapat ditimbang dengan kalkulasi materi.<br /> <br />Sungguh benar apa yang diajarkan Rasulullah mengenai kekayaan. Pandangan kaya menurut umumnya manusia ternyata bersifat relatif. Hal ini dapat dibuktikan dengan tinjauan kepuasan. Orang yang memiliki defosito di berbagai bank, perhiasan yang dikumpulkan, kendaraan yang selalu ganti seiring trend dan mode, serta yang lainnya ternyata tidak dapat memberikan kepuasan, apabila jiwanya tidak merasa tenang dan senang.<br /> <br />Rasul memberikan pandangan lain berkaitan dengan kaya, berupa pandangan yang riil dan hal ini dapat diraih oleh semua orang, yaitu kekayaan yang bersumber dari jiwa. Semua manusia memiliki jiwa, lapang maupun sempitnya kehidupan seseorang dapat dibuktikan dengan jiwanya. Apabila jiwanya mencerminkan keteduhan, kesejukan, ketenangan, qanaah dan istiqamah berarti itu menunjukan jiwa yang kaya dalam menjalani roda kehidupan. Sebaliknya, jika jiwanya berontak, kering, gelisah dan resah, hal itu menandakan kegersangan dan kemiskinan yang tentu akan berakibat kepada pandangan yang riil dalam menjalani hidupnya.<br /> <br />Ada pelajaran yang disampaikan Rasulullah agar kita menjadi ‘orang kaya’ dalam sisi materi. Lihatlah dunia, materi dan kekayaan harta kepada orang yang di bawah kamu! Insya Allah ini adalah resep yang jitu agar kita cepat menjadi ‘hamba yang kaya’. <em>Allahu A’lam bish-shawab<br /><br /><span style="font-style: italic;">Sumber : <a href="http://kautsar.co.id">kautsar.co.id</a></span><br /></em></div>tainkhttp://www.blogger.com/profile/12677600963245460989noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1200640332744052449.post-70709730606188621282009-01-01T12:56:00.001+07:002009-01-01T12:57:37.544+07:00Impian Mahar Menjadi Ustad?: Kisah Menarik Di Balik Layar Laskar Pelangi<div style="text-align: justify; font-family: georgia;"><span style="font-size:85%;">“Dicari buaya untuk casting film <i>Laskar Pelangi</i>,” begitu seloroh Andrea suatu waktu dalam sebuah acara diskusi. Rupanya meski Andrea terkesan bergurau, ternyata tidak mudah pula mendatangkan buaya dengan ukuran dan keganasan sebagaimanja yang diinginkan. Maka, ibarat memilih aktor, buaya pun dipilih dan diukur kriterianya secara saksama: tidak boleh terlalu ganas, panjangnya memadai, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil—karena tentu saja keselamatan kru juga perlu diperhatikan—dan terakhir bisa akting. Nah, syarat terakhir agaknya cukup susah. </span> </div><p style="text-align: justify; font-family: georgia;"><span style="font-size:85%;">Inilah sekelumit rahasia di balik pembuatan film <i>Laskar Pelangi</i>. Semua detail diperhatikan dan tidak boleh ada yang terlewat, hatta kehadiran pelanduk dan kambing-kambing yang senewen <i>pengen</i> kawin. Dan kalau mau tahu, ternyata pelanduk itu pun disewa dari penduduk setempat, karena semakin terbatasnya populasi pelanduk di Belitong. Setelah bersusah payah menyewa, malangnya, satu pelanduk tewas, mungkin karena kecapaian beradu akting dengan sesama aktor, sementara pelanduk lainnya berhasil melarikan diri di tengah-tengah kesibukan syuting. </span></p><div style="text-align: justify; font-family: georgia;"> </div><p style="text-align: justify; font-family: georgia;"><span style="font-size:85%;">Tentu saja, bagi Anda yang melihat hasil akhirnya di bioskop-bioskop, kehadiran figuran-figuran seperti buaya, kambing, dan pelanduk ini tenggelam dalam haru biru, isak tangis dan kesibukan menyusut air mata yang tumpah ruah. Tidak akan tampak, misalnya, kekhawatiran kru film di tengah sergapan hujan deras yang sempat menghambat syuting pada hari-hari pertama. Tentu saja, itu semua kini menjadi bagian dari sejarah dan besar kemungkinan akan dilupakan jika tidak dituliskan.</span></p><div style="text-align: justify; font-family: georgia;"> </div><p style="text-align: justify; font-family: georgia;"><span style="font-size:85%;">Khawatir kisah-kisah menarik yang menyertai pembuatan film <i>Laskar Pelangi</i> menguap begitu saja, lahirlah gagasan mendokumentasikan “behind the scene” <i>Laskar Pelangi</i>. Selain untuk keperluan pendokumentasian, pembaca yang ingin mengenal lengkap profil para aktor <i>Laskar Pelangi </i>juga bisa mendapatkan gambaran terperinci mulai dari kisah pencarian hingga casting. Semuanya diceritakan dengan lengkap dan mengalir. Contohnya, Mahar. Berbeda dengan karakter Mahar yang dituliskan Andrea dalam novel <i>Laskasr Pelangi </i>yang serbagaib, menyenangi mistik dan dunia kebatinan, pemeran utama Mahar, Verrys Yamarno, ternyata bercita-cita masuk pesantren dan menjadi ustad. Sekolahnya pun tidak mau di Belitong, tetapi di Jawa.</span></p><div style="text-align: justify; font-family: georgia;"> </div><p style="text-align: justify; font-family: georgia;"><span style="font-size:85%;">Membuat film memang mengasyikkan, meskipun tentu saja belum tentu gampang. Barangkali, betul seperti yang ditulis Rita Triana Budiarti, memang tidak mudah menghentikan waktu di Belitong, ketika zaman dilipat puluhan tahun ke belakang dan memori bergerak liar di antara waktu-waktu itu.“Time changes, places stay,” kata Andrea. Riuh rendah pembuatan film sementara ini usai, mengikuti kibasan ekor buaya yang kembali bersembunyi di kebun binatang Tanjung Pandan. (Salman)</span></p><p style="text-align: justify;">Sumber : <a href="http://mizan.com">mizan.com</a><br /></p>tainkhttp://www.blogger.com/profile/12677600963245460989noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1200640332744052449.post-53541900436314484812009-01-01T12:53:00.002+07:002009-01-01T12:55:10.443+07:00Membaca untuk Menghimpun Makna<table width="177" align="left" border="0" cellpadding="5" cellspacing="5"> <tbody><tr> <td> <p align="center"> <span style="font-size: 8pt; font-weight: 700;font-family:Arial;" > <img src="http://mizan.com/emag/ed_28/images/emag_15_12_08_2.jpg" width="177" border="1" height="201" /><br /> M. Quraish Shihab</span></p></td> </tr> </tbody></table> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:85%;">“Menarik sekali. Menarik sekali,” begitu kata-kata yang segera saja meluncur dari Ustad Quraish, ketika beliau ingin menunjukkan kepada para pendengar pengajian “Tafsir Al-Mishbah” di Metro TV, terkait dengan kata “iqra’”. Kata “iqra’’, sebagaimana yang kita tahu, adalah kata yang dipilih oleh Allah Swt. dalam menyampaikan ayat pertama kepada Rasulullah Saw. Mengapa kata “iqra’” dan bukan kata yang lain? Apakah ada sesuatu yang penting di balik kata “iqra’” ini?</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:85%;">“Kata <i>iqra’</i> terdiri atas huruf <i>alif, qaf, </i>dan<i> ra’.</i> Jika ketiga kata ini dibolak-balik dan disusun menjadi sebuah kata selain<i> iqra’</i>, muncullah hal-hal menarik,” lanjut Ustad Quraish. “Hampir semua bentukan kata dari <i>alif, qaf,</i> dan <i>ra’</i> mengisyaratkan sesuatu yang sangat penting bagi sebuah kehidupan yang baik. Sejak dini Al-Quran mengingatkan kepada kita bahwa jika kita ingin mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat dan terus ingin maju, jalan yang perlu kita tempuh adalah membaca.”</span></p> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:85%;">Lebih jauh diungkapkan oleh Ustad Quraish bahwa kegiatan membaca selayaknyalah menjadi salah satu ciri penting seorang manusia. Jika ada sebutan manusia sebagai “makhluk sosial”, maka manusia sebagai “makhluk membaca” juga perlu ditekankan. Merujuk ke bentukan kata <i>alif, qaf,</i> dan <i>ra’,</i> dikatakan oleh Ustad Quraish bahwa kegiatan membaca akan membuat seseorang mantap jalan hidupnya. Sebaliknya, orang-orang yang tidak membaca akan mengalami kesulitan untuk mengetahui jalan hidup yang baik baginya.</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:85%;">Dalam bukunya yang sudah menjadi klasik, ”<i>Membumikan</i>”<i> Al-Quran</i>, Ustad Quraish mengurai falsafah <i>iqra’</i>. Menurutnya, kata <i> iqra’</i>, yang terambil dari kata <i>qara’a</i>, pada mulanya berarti “menghimpun”. Apabila Anda merangkai huruf atau kata, kemudian Anda mengucapkan rangkaian huruf atau kata tersebut, Anda telah menghimpunnya atau, dalam bahasa Al-Quran, <i>qara’tahu qira’atan</i>. Perhatikan empat huruf ini: <i>a, y, s</i>, dan <i>a.</i> Apabila Anda menghimpun empat huruf tersebut, makna apa yang akan muncul?</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:85%;">Ada kemungkinan, Anda mendapatkan himpunan huruf yang memunculkan kata “yasa”? bermaknakah kata “yasa” bagi Anda? Jika belum, mungkin Anda akan mendapatkan himpunan huruf yang membentuk kata “asya”? Bermaknakah kata “asya” ini? Jika belum, Anda akan terus mengotak-atik keempat huruf tersebut dan akhirnya kegiatan menghimpun Anda itu berujung pada kata “saya”. Inilah kegiatan “iqra’” itu. Anda mendapatkan sebuah makna dari kegiatan membaca Anda.</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:85%;">Itu baru membaca sehimpunan huruf yang terdiri atas empat kata. Bayangkan Anda saat ini membaca sebuah buku. Anda membaca buku karya Ratna Megawangi berjudul <i>Semua Berakar pada Karakter</i>. Ketika Anda membaca buku tersebut, Anda tidak lagi berhadapan dengan huruf saja. Anda berhadapan dengan sehimpunan kata. Lantas, ada juga sehimpunan kalimat yang disebut paragraf. Paragraf membentuk himpunan subbab. Subbab membentuk himpunan bab, dan seterusnya.</span></p><div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Arial;font-size:85%;">Apa makna yang Anda peroleh ketika membaca judul buku <i>Semua Berakar pada Karakter</i>? Anda perlu menelaah. Anda perlu mendalami. Anda perlu meneliti. Anda perlu mengetahui ciri-cirinya. Membaca adalah kegiatan yang sangat kompleks. “Karenanya,” tulis Ustad Quraish, “Anda dapat menemukan, dalam kamus-kamus bahasa, beraneka ragam arti dari kata <i> iqra’</i>. Arti-arti tersebut, antara lain, adalah menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-cirinya, dan sebagainya, yang kesemuanya dapat dikembalikan ke hakikat ‘menghimpun’.<br /><br />Sumber : <a href="http://mizan.com">mizan.com</a><br /></span></div>tainkhttp://www.blogger.com/profile/12677600963245460989noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1200640332744052449.post-91740971223721939402009-01-01T12:49:00.001+07:002009-01-01T12:50:51.634+07:00Membaca yang Menghasilkan<div style="text-align: justify;"><img src="http://mizan.com/emag/ed_28/images/emag_15_12_08_1.jpg" vspace="5" width="144" align="left" border="1" height="170" hspace="5" /><span style="font-family:Arial;font-size:85%;">Apa yang Anda peroleh ketika membaca sederetan tulisan di koran, majalah, jurnal, buku, atau bahan bacaan lainnya? Apakah Anda benar-benar merasakan manfaat membaca setiap kali selesai membaca? Apakah manfaat yang Anda peroleh itu dapat membangkitkan semangat dan gairah Anda untuk membaca lagi dan membaca lagi sehingga kegiatan membaca menjadi sebuah kebiasaan? Apa sesungguhnya wujud-konkret manfaat atau hal-hal yang Anda peroleh ketika membaca sederetan tulisan?</span> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:85%;">Apakah selama menjalankan kegiatan membaca, Anda merasakan sekali sebuah keasyikan tersendiri meskipun Anda sangat sadar bahwa kegiatan membaca bukanlah kegiatan yang dapat dijalankan secara sembarangan atau asal-asalan? Apakah selain keasyikan yang Anda peroleh, Anda merasakan pula bahwa kegiatan membaca Anda tersebut menghasilkan sesuatu? Apabila ya—menghasilkan sesuatu—apa kira-kira ”sesuatu” yang dihasilkan dari kegiatan membaca Anda itu?</span></p> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:85%;">Rasa-rasanya aneh ya, mempertanyakan kegiatan membaca. Bukankah kegiatan membaca ya begitu-begitu saja? Kita mengambil bahan bacaan—apakah itu dalam bentuk koran, majalah, buku—lantas huruf, kata, kalimat, sekelompok paragraf, dan hal-hal lain yang ada di dalam bahan bacaan itu kita baca? Mungkin ketika kita membaca, kita memperoleh informasi atau berita baru. Mungkin saja, secara mendadak, pikiran kita diusik dan digerakkan oleh sederetan kalimat yang mencerahkan. Ada gagasan tiba-tiba mencuat dari dalam diri kita. Namun, sesungguhnya apa sih yang kita peroleh dari kegiatan membaca? Ilmu? Ide? Wawasan yang semakin luas? Atau apa?</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:85%;">Bagaimana agar kegiatan membaca kita benar-benar menghasilkan sesuatu? Bagaimana agar kegiatan membaca kita itu benar-benar memberikan manfaat-konkret dan langsung ketika kita sedang menjalankan kegiatan membaca? Bagaimana agar kegiatan membaca—apa pun yang kita baca termasuk buku-buku berkategori ilmiah atau buku-buku yang tergolong ”berat”—yang telah kita jalankan, benar-benar mengasyikkan, membuat kita bergairah dan bersemangat untuk membiasakan diri membaca setiap hari? Bagaimana agar membaca kita tidak sia-sia?</span></p><div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Arial;font-size:85%;">Apakah untuk menjadikan kegiatan membaca kita itu menghasilkan sesuatu, kita harus benar-benar selektif dalam memilih bahan bacaan kita? Atau, hal itu bergantung pada cara kita membaca? Apakah jika kita menggunakan cara yang keliru ketika membaca, kita tidak akan memeroleh apa-apa ketika selesai membaca? Sesungguhnya cara yang tepat untuk membaca itu seperti apa? Apakah setiap jenis bahan bacaan—misalnya novel, buku ilmiah, ensiklopedia, kamus, dan sebagainaya—perlu didekati dengan cara-cara membaca yang khas? Bagaimana cara membaca yang efektif?<br /><br />Sumber : <a href="http://mizan.com">mizan.com</a><br /></span></div>tainkhttp://www.blogger.com/profile/12677600963245460989noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1200640332744052449.post-89519782794383554312009-01-01T12:47:00.002+07:002009-01-01T12:48:44.659+07:00Orang-Orang Berilmu yang Menyebar Cahaya?<table width="179" align="left" border="0" cellpadding="5" cellspacing="5"> <tbody><tr> <td> <p align="center"><b><span style="font-size: 9pt;font-family:Arial;" > <img src="http://mizan.com/emag/ed_29/images/emag_01_01_09_2.jpg" width="179" border="1" height="239" /></span></b></p></td> </tr> </tbody></table> <div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:85%;">Georgi Lozanov, Tony Buzan, Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, Joyce Wycoff, Colin Rose, Gabriele L. Rico, Gordon Dryden dan Jeannette Vos, Dave Meier, Todd Siler, Jeanne Segal, Daniel Goleman, Howard Gardner, Eric Jensen, Barbara K. Given, Thomas Armstrong, Barbara Prashnig, Danah Zohar dan Ian Marshall, serta Elaine B. Johnson mungkin adalah sebagian orang berilmu—di antara masih banyak sekali orang berilmu—yang berhasil menyebarkan ilmunya lewat buku-buku yang ditulisnya.</span><br /><span style="font-family:Arial;font-size:85%;"> </span><br /><span style="font-family:Arial;font-size:85%;"> Ilmu yang disebarkan lewat buku-buku karya mereka, seperti buku <i>Quantum Learning, Accelerated Learning, Brain-Based Learning, Emotional Intelligences, Spiritual Quotient, Multiple Intelligences, </i>dan<i> Contextual Teaching and Learning</i>, telah menerangi sebagian besar pembacanya. Ada pembaca yang merasakan semangat belajarnya tumbuh kembali, ada yang merasa terinspirasi dan berhasil menjalankan kegiatan belajar yang menyenangkan, dan ada pula yang terbangkitkan ide-idenya untuk kemudian menulis buku pendidikan dalam perspektif yang baru.</span><br /></div><p><span style="font-family:Arial;font-size:85%;"><br /></span></p><div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:85%;"> Sebuah buku—karya yang tercipta dari kegiatan membaca dan menuliskan gagasan—bisa jadi sebuah metafor untuk ilmu yang bagaikan cahaya. Kata-kata Sayyidina Ali bin Abi Thalib—“Ikatlah ilmu dengan menuliskannya”—mungkin dapat mewakili pernyataan bahwa ilmu itu cahaya. Mengapa? Karena dengan menuliskan sebuah ilmu, seseorang berarti telah benar-benar berhasil menguasai dan memiliki ilmu tersebut. Dan bukankah lewat tulisan atau buku-buku yang diciptakannya, sebuah ilmu dapat disebarkan atau dipancarkan ke mana saja? Bukankah ilmu itu lantas menjadi cahaya bagi banyak orang yang membacanya?</span><br /><span style="font-family:Arial;font-size:85%;"> </span><br /><span style="font-family:Arial;font-size:85%;"> Adalah Howard Gardner—salah seorang yang berilmu itu—yang berhasil memancarkan ilmunya dan menginspirasi banyak orang yang membaca karya-karyanya. Gardner lahir pada 11 Juli 1943 di Scranton, Pennsylvania. Pada September 1961, Gardner melanjutkan studi di Universitas Harvard dan menekuni bidang psikologi klinis. Setelah menamatkan studinya, pada 1967—bersama-sama dengan Nelson Goodman—Gardner mendirikan Project Zero. Dari sinilah Gardner kemudian menemukan teori yang banyak menginspirasi banyak orang: multiple intelligences.</span></div> <table width="151" align="right" border="0" cellpadding="5" cellspacing="5"> <tbody><tr> <td> <p align="center"> <span style="font-size: 9pt; font-weight: 700;font-family:Arial;" > <img src="http://mizan.com/emag/ed_29/images/emag_01_01_09_3.jpg" width="151" border="1" height="228" /><br /> Howard Gardner</span></p></td> </tr> </tbody></table> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:85%;">Gardner telah menulis banyak buku. Buku-buku karya awalnya adalah <i>The Quest for Mind: Jean Piaget, Claude Levi-Strauss and the Structuralist Movement</i> (1973), <i>The Shattered Mind</i> (1975), <i> Artful Scribbles: The Significance of Children's Drawings </i>(1980), <i>Art, Mind and of Multiple Intelligences </i>(1983), <i>The Mind's New Science: A History of the Cognitive Revolution </i>(1985), <i>To Open Minds: Chinese Clues to the Dilemma of Contemporary Education</i> (1989).</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:85%;">Di samping buku-buku di atas, <i>Gardner juga menulis The Unschooled Mind: How Children Think and How Schools Should Teach</i> (1991), <i>Creating Minds: An Anatomy of Creativity Seen Through the Lives of Freud, Einstein, Picasso, Stravinsky, Eliot, Graham, and Gandhi</i> (1994), <i> Multiple Intelligences: The Theory in Practice</i> (1993), <i>Leading Minds: An Anatomy of Leadership</i> (1995), <i>Intelligence: Multiple Perspectives</i> (1996).</span></p> <div style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:85%;">Lewat karya-karya terbarunya, Gardner terus mengeksplorasi kecerdasan majemuk (<i>multiple intelligences</i>) temuannya. Lahirlah <i>Extraordinary Minds: Portraits of Exceptional Individuals and an Examination of our Extraordinariness </i>(1997), <i>Intelligence Reframed: Multiple Intelligences for the 21st Century</i> (1999), <i>The Disciplined Mind: What All Students Should Understand</i> (1999), <i>Multiple Intelligences After Twenty Years</i> (merupakan paper yang disampaikan di the American Educational Research Association, Chicago, Illinois, pada 21 April, 2003), <i>Five Minds for the Future </i>(2007), dan <i>Responsibility at Work</i> (2007).</span><br /></div><span style="font-family:Arial;font-size:85%;"><br />Sumber : <a href="http://mizan.com">mizan.com</a><br /></span>tainkhttp://www.blogger.com/profile/12677600963245460989noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1200640332744052449.post-72621019601087613462009-01-01T12:44:00.002+07:002009-01-01T12:46:38.816+07:00Mencari Ilmu yang Bagaikan Cahaya?<div style="text-align: justify;"><img src="http://mizan.com/emag/ed_29/images/emag_01_01_09_1.jpg" vspace="5" width="152" align="left" border="0" height="228" hspace="5" /><span style="font-family:Arial;font-size:85%;">Imam Syafi`i berkata, “Aku mengadukan perihal keburukan hafalanku kepada guruku, Imam Waki’ bin Jarrah. Guruku lalu berwasiat agar aku menjauhi maksiat dan dosa. Guruku juga berkata, ‘Muridku, ketahuilah bahwa ilmu itu adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang-orang yang suka berbuat maksiat.’”</span> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:85%;">Menurut riwayat, kisah Imam Syafi`i di atas termuat di karya-karyanya dan salah satu karyanya yang memuat kisah tersebut adalah <i>Al-Umm</i>. Dalam buku <i>Terapi Penyakit Hati</i> karya Ibn Al-Qayyim Al-Jawsiyah—merujuk ke kisah di atas—Ibn Al-Qayyim menulis bahwa “sesungguhnya ilmu adalah sinar yang diletakkan oleh Allah di dalam hati, sedangkan maksiat memadamkan sinar tersebut”.</span></p> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:85%;">Bagaimana bentuk ilmu yang bagaikan cahaya itu? Apakah—apabila ilmu itu adalah cahaya—dengan demikian tidak ada ilmu yang menyesatkan manusia? Bukankah semua ilmu akan menerangi jalan hidup manusia? Bagaimana dengan seseorang yang dikatakan memiliki ilmu—entah apakah dia bergelar profesor atau bekerja di sebuah tempat yang amat mulia—namun dia menjalankan kegiatan yang tercela?</span></p> <p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:85%;">“Salah satu gagasan yang paling canggih, amat komprehensif, dan mendalam, yang dapat ditemukan di dalam Al-Quran” demikian tulis Munawar Ahmad Anees dalam “Revitalizing `Ilm”, “ialah konsep tentang <i> `ilm</i>. Sesungguhnya, tingkat kepentingannya hanya berada di bawah konsep tauhid, yang merupakan tema sentral dan konsep mendasar Al-Quran.</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:85%;">“Pentingnya konsep`<i>ilm</i> ini terungkap dalam kenyataan bahwa Al-Quran menyebut-nyebut kata-akar dan kata-turunannnya sekitar 800 kali. Konsep<i>`ilm</i> membedakan pandangan-dunia Islam dari cara pandang dan ideologi lainnya: tidak ada pandangan-dunia lain yang membuat pencaraian ilmu sebagai kewajiban individual dan sosial dan memberikan arti moral dan religius penyelidikan setara ibadah.”</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span style="font-family:Arial;font-size:85%;">Betapa mulianya manusia yang senantiasa belajar dan terus berupaya mencari ilmu? Kemuliaan yang dianugerahkan kepada manusia yang terus berupaya untuk mencari ilmu terungkap di banyak sekali hadis Nabi Muhammad Saw. Salah satu hadis Nabi yang dengan sangat indah melukiskan betapa mulianya seorang pencari ilmu—ilmu yang dapat menerangi jalan hidup manusia—adalah hadis berikut ini:</span></p><div style="text-align: justify;"> <span style="font-family:Arial;font-size:85%;">“Bagi orang yang berada di jalan menuntut ilmu, Allah akan menjadikan baginya jalan menuju surga. Dan sesungguhnya para malaikat membentangkan sayap-sayap mereka untuk para penuntut ilmu dengan sukacita. Sesungguhnya setiap makhluk di langit dan di bumi memohonkan ampunan bagi si penuntut ilmu, bahkan ikan di laut. Keutamaan orang berilmu (<i>`alim</i>) melebihi ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas bintang pada malam bulan purnama. Orang <i>`alim</i> (berilmu) adalah pewaris para nabi sebab para nabi tidak meninggalkan warisan kekayaan kecuali ilmu. Orang yang memperoleh ilmu berarti telah memperoleh banyak manfaat.<br /><br />Sumber : <a href="http://mizan.com">mizan.com</a><br /></span></div>tainkhttp://www.blogger.com/profile/12677600963245460989noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1200640332744052449.post-56122467331978941092008-12-11T11:18:00.002+07:002008-12-11T11:22:12.447+07:007 Indikator Kebahagiaan Dunia<div style="text-align: justify;">Ibnu Abbas ra. adalah salah seorang sahabat Nabi SAW yang sangat telaten dalam menjaga dan melayani Rasulullah SAW, dimana ia pernah secara khusus didoakan Rasulullah SAW, selain itu pada usia 9 tahun Ibnu Abbas telah hafal Al-Quran dan telah menjadi imam di mesjid. Suatu hari ia ditanya oleh para tabi’in (generasi sesudah wafatnya Rasulullah SAW) mengenai apa yang dimaksud dengan kebahagiaan dunia. Jawab Ibnu Abbas ada 7 (tujuh) indikator kebahagiaan dunia, yaitu:</div><p></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span id="more-67"></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><strong>#1. Qalbun syakirun atau hati yang selalu bersyukur</strong><br />Memiliki jiwa syukur berarti selalu menerima apa adanya (qona’ah), sehingga tidak ada ambisi yang berlebihan, tidak ada stress, inilah nikmat bagi hati yang selalu bersyukur. Seorang yang pandai bersyukur sangatlah cerdas memahami sifat-sifat Allah SWT, sehingga apapun yang diberikan Allah, ia malah terpesona dengan pemberian dan keputusan Allah.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Bila sedang kesulitan maka ia segera ingat sabda Rasulullah SAW yaitu: <strong>“Kalau kita sedang sulit perhatikanlah orang yang lebih sulit dari kita”</strong>. Bila sedang diberi kemudahan, ia bersyukur dengan memperbanyak amal ibadahnya, kemudian Allah pun akan mengujinya dengan kemudahan yang lebih besar lagi. Bila ia tetap “bandel” dengan terus bersyukur maka Allah akan mengujinya lagi dengan kemudahan yang lebih besar lagi.</p><div style="text-align: justify;"> <blockquote><p>Berbahagialah orang yang pandai bersyukur</p></blockquote> </div><p style="text-align: justify;"><strong>#2. Al azwaju shalihah, yaitu pasangan hidup yang sholeh</strong><br />Pasangan hidup yang sholeh akan menciptakan suasana rumah dan keluarga yang sholeh pula. Di akhirat kelak seorang suami (sebagai imam keluarga) akan diminta pertanggungjawaban dalam mengajak istri dan anaknya kepada kesholehan. Berbahagialah menjadi seorang istri bila memiliki suami yang sholeh, yang pasti akan bekerja keras untuk mengajak istri dan anaknya menjadi muslim yang sholeh. Demikian pula seorang istri yang sholeh, akan memiliki kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa dalam melayani suaminya, walau seberapa buruknya kelakuan suaminya.</p><div style="text-align: justify;"> <blockquote><p>Berbahagialah menjadi seorang suami yang memiliki seorang istri yang sholeh</p></blockquote> </div><p style="text-align: justify;"><strong>#3. Al auladun abrar, yaitu anak yang soleh</strong><br />Saat Rasulullah SAW lagi thawaf, Rasulullah SAW bertemu dengan seorang anak muda yang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai thawaf Rasulullah SAW bertanya kepada anak muda itu: “Kenapa pundakmu itu?” Jawab anak muda itu: “Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah udzur. Saya sangat mencintai dia dan saya tidak pernah melepaskan dia. Saya melepaskan ibu saya hanya ketika buang hajat, ketika sholat, atau ketika istirahat, selain itu sisanya saya selalu menggendongnya”. Lalu anak muda itu bertanya: ” Ya Rasulullah, apakah aku sudah termasuk kedalam orang yang sudah berbakti kepada orang tua?”</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Nabi SAW sambil memeluk anak muda itu dan mengatakan: “Sungguh Allah ridho kepadamu, kamu anak yang soleh, anak yang berbakti, tapi anakku ketahuilah, cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan olehmu”. Dari hadist tersebut kita mendapat gambaran bahwa amal ibadah kita ternyata tidak cukup untuk membalas cinta dan kebaikan orang tua kita, namun minimal kita bisa memulainya dengan menjadi anak yang soleh, dimana doa anak yang sholeh kepada orang tuanya dijamin dikabulkan Allah. </p><div style="text-align: justify;"> <blockquote><p>Berbahagialah kita bila memiliki anak yang sholeh</p></blockquote> </div><p style="text-align: justify;"><strong>#4. Albiatu sholihah, yaitu lingkungan yang kondusif untuk iman kita</strong><br />Yang dimaksud dengan lingkungan yang kondusif ialah, kita boleh mengenal siapapun tetapi untuk menjadikannya sebagai sahabat karib kita, haruslah orang-orang yang mempunyai nilai tambah terhadap keimanan kita. Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah menganjurkan kita untuk selalu bergaul dengan orang-orang yang sholeh. Orang-orang yang sholeh akan selalu mengajak kepada kebaikan dan mengingatkan kita bila kita berbuat salah.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Orang-orang sholeh adalah orang-orang yang bahagia karena nikmat iman dan nikmat Islam yang selalu terpancar pada cahaya wajahnya. Insya Allah cahaya tersebut akan ikut menyinari orang-orang yang ada disekitarnya.</p><div style="text-align: justify;"> <blockquote><p>Berbahagialah orang-orang yang selalu dikelilingi oleh orang-orang yang sholeh</p></blockquote> </div><p style="text-align: justify;"><strong>#5. Al malul halal, atau harta yang halal</strong><br />Paradigma dalam Islam mengenai harta bukanlah banyaknya harta tetapi halalnya. Ini tidak berarti Islam tidak menyuruh umatnya untuk kaya.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Dalam riwayat Imam Muslim di dalam bab sadaqoh, Rasulullah SAW pernah bertemu dengan seorang sahabat yang berdoa mengangkat tangan. “Kamu berdoa sudah bagus”, kata Nabi SAW, “Namun sayang makanan, minuman dan pakaian dan tempat tinggalnya didapat secara haram, bagaimana doanya dikabulkan”. Berbahagialah menjadi orang yang hartanya halal karena doanya sangat mudah dikabulkan Allah. Harta yang halal juga akan menjauhkan setan dari hatinya, maka hatinya semakin bersih, suci dan kokoh, sehingga memberi ketenangan dalam hidupnya. </p><div style="text-align: justify;"> <blockquote><p>Berbahagialah orang-orang yang selalu teliti menjaga kehalalan hartanya</p></blockquote> </div><p style="text-align: justify;"><strong>#6. Tafakuh fi dien, atau semangat untuk memahami agama</strong><br />Semangat memahami agama diwujudkan dalam semangat memahami ilmu-ilmu agama Islam. Semakin ia belajar, maka semakin ia terangsang untuk belajar lebih jauh lagi ilmu mengenai sifat-sifat Allah dan ciptaan-Nya.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Allah menjanjikan nikmat bagi umat-Nya yang menuntut ilmu, semakin ia belajar semakin cinta ia kepada agamanya, semakin tinggi cintanya kepada Allah dan rasul-Nya. Cinta inilah yang akan memberi cahaya bagi hatinya.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Semangat memahami agama akan meng “hidup” kan hatinya, hati yang “hidup” adalah hati yang selalu dipenuhi cahaya nikmat Islam dan nikmat iman.</p><div style="text-align: justify;"> <blockquote><p>Berbahagialah orang yang penuh semangat memahami ilmu agama Islam</p></blockquote> </div><p style="text-align: justify;"><strong>#7. Umur yang baroqah</strong><br />Umur yang baroqah itu artinya umur yang semakin tua semakin sholeh, yang setiap detiknya diisi dengan amal ibadah. Seseorang yang mengisi hidupnya untuk kebahagiaan dunia semata, maka hari tuanya akan diisi dengan banyak bernostalgia (berangan-angan) tentang masa mudanya, iapun cenderung kecewa dengan ketuaannya (<em>post-power syndrome</em>). Disamping itu pikirannya terfokus pada bagaimana caranya menikmati sisa hidupnya, maka iapun sibuk berangan-angan terhadap kenikmatan dunia yang belum ia sempat rasakan, hatinya kecewa bila ia tidak mampu menikmati kenikmatan yang diangankannya. Sedangkan orang yang mengisi umurnya dengan banyak mempersiapkan diri untuk akhirat (melalui amal ibadah) maka semakin tua semakin rindu ia untuk bertemu dengan Sang Penciptanya. Hari tuanya diisi dengan bermesraan dengan Sang Maha Pengasih. Tidak ada rasa takutnya untuk meninggalkan dunia ini, bahkan ia penuh harap untuk segera merasakan keindahan alam kehidupan berikutnya seperti yang dijanjikan Allah. Inilah semangat “hidup” orang-orang yang baroqah umurnya. </p><div style="text-align: justify;"> <blockquote><p>Berbahagialah orang-orang yang umurnya baroqah</p></blockquote> </div><p style="text-align: justify;">Demikianlah pesan-pesan dari Ibnu Abbas ra. mengenai 7 indikator kebahagiaan dunia.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Bagaimana caranya agar kita dikaruniakan Allah ke tujuh buah indikator kebahagiaan dunia tersebut? Selain usaha keras kita untuk memperbaiki diri, maka mohonlah kepada Allah SWT dengan sesering dan se-khusyu’ mungkin membaca doa ’sapu jagat’, yaitu doa yang paling sering dibaca oleh Rasulullah SAW. Dimana baris pertama doa tersebut <strong>“Rabbanaa aatina fid dun-yaa hasanaw”</strong> (yang artinya “Ya Allah karuniakanlah aku kebahagiaan dunia”), mempunyai makna bahwa kita sedang meminta kepada Allah ke tujuh indikator kebahagiaan dunia yang disebutkan Ibnu Abbas ra, yaitu hati yang selalu syukur, pasangan hidup yang soleh, anak yang soleh, teman-teman atau lingkungan yang soleh, harta yang halal, semangat untuk memahami ajaran agama, dan umur yang baroqah.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Walaupun kita akui sulit mendapatkan ketujuh hal itu ada di dalam genggaman kita, setidak-tidaknya kalau kita mendapat sebagian saja sudah patut kita syukuri.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Sedangkan mengenai kelanjutan doa sapu jagat tersebut yaitu <strong>“wa fil aakhirati hasanaw”</strong> (yang artinya “dan juga kebahagiaan akhirat”), untuk memperolehnya hanyalah dengan rahmat Allah. Kebahagiaan akhirat itu bukan surga tetapi rahmat Allah, kasih sayang Allah. Surga itu hanyalah sebagian kecil dari rahmat Allah, kita masuk surga bukan karena amal soleh kita, tetapi karena rahmat Allah.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Amal soleh yang kita lakukan sepanjang hidup kita (walau setiap hari puasa dan sholat malam) tidaklah cukup untuk mendapatkan tiket masuk surga. Amal soleh sesempurna apapun yang kita lakukan seumur hidup kita tidaklah sebanding dengan nikmat surga yang dijanjikan Allah.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Kata Nabi SAW, “Amal soleh yang kalian lakukan tidak bisa memasukkan kalian ke surga”. Lalu para sahabat bertanya: “Bagaimana dengan Engkau ya Rasulullah?”. Jawab Rasulullah SAW: “Amal soleh saya pun juga tidak cukup”. Lalu para sahabat kembali bertanya: “Kalau begitu dengan apa kita masuk surga?”. Nabi SAW kembali menjawab: <strong>“Kita dapat masuk surga hanya karena rahmat dan kebaikan Allah semata”</strong>.</p><div style="text-align: justify;"> <blockquote><p>Sholat kita, puasa kita, taqarub kita kepada Allah sebenarnya bukan untuk surga tetapi untuk mendapatkan rahmat Allah. Dengan rahmat Allah itulah kita mendapatkan surga Allah. Insya Allah, Amiin.</p></blockquote> </div><p style="text-align: justify;"><em>Sumber tulisan: ceramah Ustad Aam Aminudin, Lc. di Sapporo, Jepang</em></p>tainkhttp://www.blogger.com/profile/12677600963245460989noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1200640332744052449.post-67724584376740206452008-12-11T07:43:00.003+07:002008-12-11T07:50:45.402+07:00Beberapa Akhlak Di Rumah<div style="text-align: justify;"><span style="font-weight: bold;">Mentradisikan Pergaulan yang Baik (keramahan) di Rumah</span><br /><br />Dari Aisyah radhiyallah anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Jika Allah Azza Wa Jalla menghendaki kebaikan kepada suatu keluarga maka Ia menganugerahkan atas mereka pergaulan yang baik. Dalam riwayat lain disebutkan: Sesungguhnya Allah jika mencintai suatu keluarga maka Ia anugerahkan atas mereka pergaulan yang baik. Artinya masing-masing mempergauli yang lain dengan baik. Inilah salah satu sebab kebahagiaan di rumah. Pergaulan yang baik dan keramah-tamahan adalah sangat bermanfaat antara kedua suami isteri, juga dengan anak-anak, yang daripadanya akan melahirkan hasil yang tak mungkin dihasilkan oleh kekerasan. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam : Sesungguhnya Allah mencintai pergaulan yang baik (keramahan), dan Ia memberikan kepada pergaulan yang baik (keramahan) apa yang tidak diberikanNya kepada kekerasan dan apa yang tidak diberikan kepada selainnya. <br /><br /><span style="font-weight: bold;">Membantu Keluarga dalam Pekerjaan Rumah</span><br /><br />Banyak lelaki yang enggan melakukan pekerjaan rumah, sebagian mereka berkeyakinan bahwa di antara yang menyebabkan berkurangnya kedudukan dan wibawa laki-laki yaitu ikut bersama anggota keluarga yang lain melakukan pekerjaan mereka. Adapun Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam beliau menjahit sendiri bajunya, menambal sandalnya dan melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh laki-laki di dalam rumah mereka.<br /><br />Demikian dikatakan oleh isteri beliau Aisyah radhiyallah anha ketika ia ditanya apa yang dikerjakan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam rumahnya. Aisyah radhiyallah anhu menjawab dengan apa yang dilihatnya sendiri.<br /><br />Dalam riwayat lain disebutkan: œIa adalah manusia di antara sekalian manusia, membersihkan bajunya, memerah susu kambingnya dan melayani dirinya. Aisyah radhiyallah anhu juga ditanya apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam rumahnya. Ia berkata: œIa ada (bersama) pekerjaan keluarganya -maksudnya membantu keluarganya- dan apabila datang (waktu) shalat ia keluar untuk shalat.<br /><br />Jika hal itu kita praktekkan sekarang, berarti kita telah mewujudkan beberapa kemaslahatan:<br /><br /> * Meneladani Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam .<br /> * Kita ikut membantu keluarga.<br /> * Kita merasa rendah hati dan tidak takabbur (sombong).<br /><br />Sebagian suami meminta kepada isterinya agar menghidangkan makanan dengan segera, sementara periuk masih di atas tungku api, anak kecilnya berteriak ingin disusui, ia tidak menyentuh anak tersebut, juga tidak mau sabar sedikit menunggu makanan. Hendaknya beberapa hadits di atas menjadi pelajaran dan peringatan.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Bersikap Lembut dan Bercanda dengan Keluarga</span><br /><br />Bersikap lembut kepada isteri dan anak-anak merupakan salah satu faktor yang bisa menebarkan iklim kebahagiaan dan eratnya hubungan baik di tengah keluarga. Karena itu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menasehati Jabir agar menikahi wanita yang masih perawan. Beliau mengatakan: Kenapa (tidak engkau pilih) perawan (sehingga) engkau bisa mencandainya dan dia mencandaimu, dan engkau (bisa) membuatnya tertawa dan dia membuatmu tertawa. Segala sesuatu yang di dalamnya tidak ada dzikrullah adalah sia-sia belaka, kecuali empat perkara: percandaan laki-laki terhadap isterinya.<br /><br />Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mencandai Aisyah radhiyallah anha ketika beliau mandi bersamanya. Aisyah berkisah: Aku dan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah mandi bersama dari satu gayung untuk berdua (secara bergantian), lalu beliau mendahuluiku sehingga aku katakan biarkan untukku, biarkan untukku, ia berkata : sedang keduanya berada dalam keadaan junub.<br /><br />Adapun canda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepada anak-anak kecil maka sangat banyak untuk disebutkan. Beliau sering menyayangi dan mencandai Hasan dan Husein sebagaimana telah kita singgung di muka. Barangkali ini pula yang menyebabkan anak-anak kecil amat gembira dengan kedatangan beliau dari bepergian. Mereka segera menghambur untuk menjemput Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih: Apabila datang dari perjalanan, beliau dihamburi oleh anak-anak kecil dari keluarganya. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mendekap mereka, seperti diceritakan oleh Abdullah bin Jafar: Apabila Nabi Shallallahu alaihi wa sallam datang dari bepergian, beliau menghambur kepada kami, menghambur kepada saya, kepada Hasan dan Husain, ia berkata: Nabi Shallallahu alaihi wa sallam membawa salah seorang dari kami di antara kedua tangannya, dan yang lain di belakangnya sehingga kami masuk kota Madinah.<br /><br />Bandingkanlah antara hal ini dengan keadaan sebagian rumah yang gersang, tak ada canda, tak ada tawa, kelembutan, juga tidak kasih sayang. Barangsiapa yang mengira bahwa mencium anak-anak akan mengurangi wibawa ayah maka hendaknya ia membaca hadits berikut ini: Dari Abu Hurairah radhiyallah anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mencium Hasan bin Ali sedang di sisi beliau terdapat Al-Aqra bin Habis At-Tamimi sedang duduk. Maka Al-Aqra berkata: Saya memiliki sepuluh anak, saya tidak pernah mencium seorangpun dari mereka. Maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melihat kepadanya kemudian bersabda: Barangsiapa tidak mengasihi, niscaya dia tidak dikasihi.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Menyingkirkan Akhlak Buruk di Rumah</span><br /><br />Salah seorang dari anggota keluarga tidak mungkin bisa lepas dari akhlak buruk dan menyimpang, seperti: dusta, menggunjing, mengadu domba atau yang semacamnya. Akhlak buruk ini harus dilawan dan disingkirkan. Sebagian orang menyangka bahwa hukuman jasmani adalah satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi masalah tersebut.<br /><br />Di bawah ini Aisyah radhiyallah anha meriwayatkan hadits -dalam persoalan tersebut- yang penuh muatan pendidikan: Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam apabila mengetahui seseorang anggota keluarganya melakukan sekali dusta, beliau terus memalingkan diri daripadanya sehingga ia mengatakan bertaubat. Dari hadits di atas, jelaslah bahwa memalingkan diri dan hijr (memisah, mendiamkan, meninggalkan) dia dengan tidak mengajaknya bercakap-cakap serta memberikan hukuman yang setimpal - dalam hal ini - adalah lebih berpengaruh daripada hukuman jasmani. Karena itu hendaknya para pendidik di rumah merenungkannya.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Gantungkanlah Cambuk sehingga Bisa Dilihat oleh Anggota Keluarga</span><br /><br />Menampakkan dan memberi isyarat bentuk hukuman adalah salah satu metode pendidikan yang tinggi. Karena itu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam Shallallahu alaihi wa sallam menerangkan sebab mengapa seyogyanya digantungkan cambuk atau tongkat di rumah. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Gantungkanlah cambuk di mana bisa dilihat oleh anggota keluarga, karena ia lebih mendidik mereka.<br /><br />Dengan melihat alat untuk menghukum, menjadikan orang-orang yang berniat jahat takut melakukannya, karena merasa ngeri dengan bentuk hukuman yang bakal diterimanya, sehingga ia menjadi motivasi (pendorong) bagi mereka dalam beradab dan berakhlak mulia. Ibnu Al-Anbari berkata: Tidak ada riwayat yang menyebutkan agar memukul dengan alat itu, karena Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak menyuruh hal tersebut kepada seorangpun, tetapi beliau inginkan agar engkau tidak lepas mendidik mereka.<br /><br />Memukul sama sekali bukan dasar dalam mendidik. Tidak dibolehkan menggunakannya kecuali jika seluruh cara mendidik telah habis atau membebaninya untuk melakukan ketaatan yang diwajibkan. Seperti firman Allah: Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz (meninggalkan kewajiban bersua mi isteri)nya maka asehatilah mereka dan pisahkanlah mereka ditempat tidur mereka dan pukullah mereka. (An-Nisa: 34). Secara tertib, juga seperti dalam sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam : Perintahkanlah anak-anakmu melakukan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun dan pukullah karena meninggalkannya ketika mereka berumur sepuluh tahun.<br /><br />Menggunakan hukuman pukul tanpa dibutuhkan merupakan bentuk pelanggaran. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menasehati wanita agar tidak menikah dengan laki-laki karena dia tidak meletakkan tongkat dari lehernya, maksudnya karena ia suka memukuli wanita. Tetapi orang yang menganggap tidak perlu hukuman pukul secara mutlak, karena taklid pada teori pendidikan orang-orang kafir, maka pendapat ini salah besar dan bertentangan dengan nash-nash syara. <br /><br /><br />Kemunkaran-Kemunkaran Dalam Rumah<br /><ol><li>Waspada terhadap Masuknya Kerabat yang Bukan Mahram kepada Isteri yang Ada di Rumah ketika Suami sedangTiada.</li><li>Memisahkan Antara Laki-laki dengan Wanita dalam Acara Kunjungan Silaturahim Keluarga.</li><li>Waspada terhadap Bahaya Sopir dan Pembantu di Rumah.</li><li>Keluarkanlah Orang yang Bersikap Kebanci-bancian dari Rumahmu.</li><li>Waspadalah terhadap Bahaya Film.</li><li>Berhati-hati dari Kejahatan Telepon.</li><li>Wajib Menghilangkan Setiap Identitas - Apapun Bentuknya -Agama Batil Orang-orang Kafir, Termasuk Sesembahan dan Tuhan Mereka.</li><li>Menghilangkan Gambar-gambar Makhluk Bernyawa.</li><li>Laranglah Merokok di Rumahmu.</li><li>Jangan Memelihara Anjing di Rumah.</li><li>Menjauhi dari Menghias Rumah dengan Aneka Warna (Berlebih-lebihan).<br /></li></ol><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Rumah Dipandang Dari Dalam Dan Dari Luar</span></span><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Memilih Lokasi dan Desain Rumah yang Tepat</span><br /><br />Tidak diragukan lagi, seorang muslim yang benar akan memperhatikan soal pemilihan letak dan lokasi rumah yang tepat. Ia akan menerapkan beberapa program bagi rumahnya sehingga layak sebagai hunian muslim. <br /><br />Dari segi lokasi, misalnya:<br /><br />Rumah hendaknya berdekatan dengan masjid. Hal ini sangat besar manfaatnya. Ketika adzan bergema memanggil shalat, ia bisa segera pergi ke masjid dan mendapatkan jamaah. Bagi para wanita, mereka akan biasa mendengarkan bacaan Al-Quran dari pengeras suara. Adapun anak-anak kecil, mereka bias leluasa mengkuti halaqah hafalan Al-Quran, belajar mengaji dan sebagainya.<br /><br />Agar tidak dalam satu bangunan dengan orang-orang fasik, atau dalam kampung hunian yang terdapat orang-orang kafir, misalnya di tengah-tengah perkampungan itu ada kolam renang buat umum, campur-baur antara pria wanita dan seumpamanya.<br /><br />Agar tidak melihat dan tidak terlihat, jika masih ada saja terjadi maka boleh menggunakan tabir atau dengan meninggikan pagar.<br /><br />Dari segi desain, misalnya:<br /><br />Hendaknya ia memperhatikan pemisahan antara laki-laki dengan perempuan dan para tamu luar , misalnya pintu masuk, ruang tempat duduk dsb. Jika tidak mungkin, maka bisa menggunakan tabir atau hijab.<br /><br />Menutupi jendela-jendela dengan tabir atau satir (gorden) , sehingga orang yang ada di dalam kamar tidak kelihatan oleh tetangga atau oleh orang yang lalu lalang, terutama malam hari ketika cahaya terang benderang.<br /><br />Hendaknya tidak menggunakan toilet dengan menghadap ke kiblat.<br /><br />Hendaknya memilih rumah yang luas serta rumah yang banyak perabotannya. Hal itu disebabkan beberapa hal: Sesungguhnya Allah suka bila melihat bekas nikmat-Nya pada hambaNya. Tiga hal termasuk kebahagiaan dan tiga hal termasuk kesengsaraan. Termasuk kebahagiaan yaitu: wanita shalihah yang jika kamu melihatnya menyenangkanmu, ketika engkau pergi darinya kamu merasa aman atas dirinya dan atas hartamu, dan hewan tunggangan sehingga ia menghantarkanmu menyusul kawan-kawanmu serta rumah yang luas dan banyak perabotannya. Dan termasuk kesengsaraan adalah wanita yang apabila kamu melihatnya maka engkau merasa enggan, ia menyerangmu dengan lisannya, jika engkau pergi darinya kamu tidak merasa aman atas dirinya dan atas hartamu; serta hewan yang lamban, jika engkau memukulnya maka akan melelahkanmu dan jika engkau meninggalkannya (tidak memukulnya) maka tidak menghantarkanmu menyusul kawan-kawanmu serta rumah yang sedikit perabotannya<br /><br />Memperhatikan kesehatan, misalnya soal ventilasi udara dan masuknya cahaya matahari ke dalam rumah. Tetapi beberapa hal di atas dan hal-hal lainnya seyogyanya diukur sesuai dengan kemampuan material dan kondisi yang ada, tidak boleh dipaksakan.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Memilih Tetangga sebelum Memilih Rumah</span><br /><br />Karena pentingnya masalah ini, semestinya dibahas secara tersendiri sehingga agak mendetail. Tetangga pada zaman kita sekarang ini, memiliki pengaruh yang tidak kecil terhadap tetangga di sebelahnya. Karena saling berdekatannya rumah-rumah dan berkumpulnya mereka dalam flat-flat, kondominium atau apartemen. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengabarkan, empat hal termasuk kebahagiaan, di antaranya tetangga yang baik.<br /><br />Beliau juga menyebutkan empat hal termasuk kesengsaraan, di antaranya tetangga yang jahat. Karena bahayanya tetangga yang jahat ini, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berlindung kepada Allah daripadanya dengan berdoa: Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari tetangga yang jahat di rumah tempat tinggal, karena tetangga nomaden (hidup berpindah-pindah, termasuk di dalamnya kontrak beberapa waktu, pent) akan pindah.<br /><br />Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan umat Islam untuk berlindung pula daripadanya dengan mengatakan: Berlindunglah kalian kepada Allah dari tetangga yang jahat di rumah tempat tinggal, karena tetangga yang nomaden akan berpindah daripadamu.<br /><br />Dalam buku kecil ini, tentu tak memadai untuk menjelaskan secara rinci tentang pengaruh tetangga jahat terhadap suami isteri dan anak-anak, berbagai gangguan menyakitkan daripadanya, serta kesusahan hidup bersebelahan dengannya. Akan tetapi dengan mempraktekkan hadits-hadits yang telah lalu (dalam masalah bertetangga) sudah cukup bagi orang yang mau mengambil pelajaran. Mungkin di antara jalan pemecahannya yang kongkrit yaitu - seperti yang dipraktekkan oleh sebagian orang - dengan menyewakan rumah yang bersebelahan dengan tetangga jahat tersebut kepada orang-orang yang sekeluarga dengan mereka, meski untuk itu harus merugi dari sisi materi, karena sesungguhnya tetangga yang baik tak bisa dihargai dengan materi, berapapun besarnya.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Memperhatikan Perbaikan yang Perlu serta Menyediakan Sarana Kenyamanan</span><br /><br />Diantara nikmat Allah kepada kita di zaman sekarang ini yaitu diberikanNya kepada kita sarana-sarana kenyamanan sehingga memudahkan persoalan kehidupan kita di dunia, juga menghemat waktu. Seperti adanya AC (alat pendingin), lemari es/ mesin cuci dsb. Sebaiknya jika memiliki alat-alat seperti itu, kita tidak menggunakannya dengan boros dan mubadzir. Harus pula bisa membedakan antara kebutuhan tertier (pelengkap) yang memang dibutuhkan dan bermanfaat dengan kebutuhan tertier yang tidak berguna. Diantara bentuk perhatian kepada rumah yaitu dengan memperbaiki perabot dan peralatan yang telah rusak.<br /><br />Sebagian orang meremehkannya, lalu isteri mereka mengeluh karena banyaknya serangga, sampah yang menumpuk sehingga menimbulkan bau tak sedap, di sana sini banyak perabot yang pecah dan barang-barang berserakan. Hal-hal di atas tak diragukan lagi, termasuk yang menghalangi terwujudnya kebahagiaan, menyebabkan persoalan rumah tangga dan kesehatan. Orang yang sehat akalnya tentu akan menyelesaikan persoalanpersoalan tersebut.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Memperhatikan Kesehatan Anggota Keluarga dan Pengobatannya</span><br /><br />Bila salah seorang dari anggota keluarga Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sakit, beliau memberi jampijampi dengan membaca surat-surat muawwidzat (surat Al-lkhlash, surat Al-Falaq dan surat An-Nas). Dan bila anggota keluarga beliau Shallallahu alaihi wa sallam sakit beliau menyuruh dibuatkan sup, lalu mereka pun disuruhnya menghirup sup tersebut. Beliau bersabda: Sesungguhnya sup itu menguatkan hati orang yang bersedih dan membuka hati orang yang sakit sebagaimana salah seorang dari kamu membersihkan kotoran dari wajahnya. Tentang beberapa cara tindakan preventif dan keselamatan; Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />Jika telah sore maka tahanlah anak-anak kalian (di rumah),karena sesungguhnya setan berkeliaran ketika itu. Dan jika sebagian malam telah berlalu maka biarkanlah mereka (keluar sebentar, jika hal itu sangat diperlukan), kuncilah pintu-pintu serta sebutlah nama Allah, dan tutuplah semua bejana serta sebutlah nama Allah,meskipun dengan meletakkan sesuatu (batang kayu, misalnya) di atasnya, dan matikanlah lampu-lampu kalian.<br /><br />Dalam riwayat Muslim disebutkan: Kuncilah pintu-pintu kalian, tutuplah bejana-bejana kalian,matikanlah lampu-lampu kalian, eratkanlah tutup botol minuman kalian. Karena sesungguhnya setan tidak membuka pintu yang terkunci, tidak membuka penutup, tidak melepas ikatan. Dan sesungguhnya tikus itu dapat menimbulkan kebakaran dirumah terhadap penghuninya. Rasulullah Shallallahu ˜alaihi wa sallam bersabda: Janganlah kalian meninggalkan api di rumah kalian saat kalian sedang tidur.</div>tainkhttp://www.blogger.com/profile/12677600963245460989noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1200640332744052449.post-58580625612712207062008-12-11T07:39:00.004+07:002008-12-11T07:43:45.340+07:00Aspek Sosial Di Rumah<div style="text-align: justify;"><span style="font-weight: bold;">Memberi Kesempatan untuk Mendiskusikan Persoalan-Persoalan Keluarga</span><br /><br />Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka. (As-Syura : 38). Ketika kepada anggota keluarga diberi waktu dan kesempatan untuk sama-sama duduk mendiskusikan persoalan intern dan ekstern keluarga, maka itulah pertanda bahwa keluarga tersebut memperhatikan keutuhan keluarga, peran dan saling kerjasamanya. Tidak disangsikan lagi, bahwa laki-laki yang diberi amanah kepemimpinan dalam rumah tangga adalah orang yang paling bertanggung jawab, penentu segala keputusan. Tetapi dengan memberikan kesempatan kepada yang lain - terutama kepada anak-anak yang menginjak dewasa - maka hal itu akan merupakan pendidikan tanggung jawab kepada mereka, di samping semua akan merasa lepas dan lapang dengan perasaannya, karena pendapat mereka didengar dan dihargai.<br /><br />Misalnya, dengan mendiskusikan soal umrah pada bulan Ramadhan atau pada liburan-liburan lainnya, bertandang ke sanak keluarga menyambung silaturrahim, berdarmawisata, penyelenggaraan walimah pernikahan, aqiqah, pindah rumah, proyek-proyek sosial seperti penghitungan jumlah fakir miskin sekampung untuk pemberian bantuan atau pengiriman makanan kepada mereka, demikian juga diskusi tentang kemelut keluarga, kerabat dan memberikan andil pemecahannya. Perlu juga diingatkan kepada bentuk lain dari pertemuan yang penting untuk diselenggarakan, yakni Pertemuan Keterbukaan antara kedua orangtua dan anak-anak.<br /><br />Beberapa kesulitan yang dihadapi oleh anak-anak yang telah baligh terkadang tidak mungkin untuk dipecahkan kecuali melalui pertemuan pribadi. Misalnya, bapak dengan anak laki-lakinya memperbincangkan secara terbuka berbagai persoalan yang menyangkut problematika anak remaja dan puber, hukum-hukum baligh. Demikian pula halnya ibu dengan puterinya membincangkan persoalan-persoalan tersebut sekaligus mengajarinya hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita baligh.<br /><br />Bapak dan ibu hendaknya berusaha semampu mungkin membantu memecahkan problem anak-anaknya terutama pada masa mereka masih remaja. Hal itu misalnya bisa dilakukan dengan menggunakan bahasa-bahasa yang menarik, seperti ketika saya masih seumur kamu, sehingga mudah diterima. Tidak adanya pertemuan semacam ini terkadang menjadikan sebagian anak-anak menjalin persahabatan dengan teman-teman yang tidak baik, yang pada akhirnya menimbulkan petaka besar.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Tidak Menampakkan Konflik Keluarga di Depan Anak-anak</span><br /><br />Sangat jarang, sekelompok orang yang hidup serumah tanpa pernah berselisih. Berdamai setelah berselisih adalah baik dan kembali pada kebenaran adalah mulia. Akan tetapi, yang bisa menggoncangkan keutuhan rumah tangga dan membahayakan keselamatan bangunan intern adalah tampaknya berbagai perselisihan itu di hadapan anggota keluarga yang lain, sehingga mereka terpecah menjadi dua bala tentara atau lebih, kesatuan menjadi bercerai berai, belum lagi pengaruhnya terhadap kondisi kejiwaan anak-anak terutama terhadap mereka yang masih kecil.<br /><br />Renungkanlah, apa yang terjadi jika sang bapak berkata kepada anaknya: Jangan bicara dengan ibumu. Sang ibu pun berkata kepada puterinya: Jangan bicara dengan ayahmu. Anak-anak menjadi bingung, tercabik-cabik jiwanya dan semua hidup dengan penuh beban dan serba sulit. Karena itu, hendaknya kita menjaga agar tidak menjadikan perselisihan, dan kalau toh terpaksa ada hendaknya hal itu kita sembunyikan. Kita bermohon kepada Allah semoga Allah mempertautkan segenap hati.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Tidak Membolehkan Masuk Rumah kepada Orang yang tidak Baik Agamanya</span><br /><br />Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Dan perumpamaan teman yang jahat itu seperti pandai besi. Dalam riwayat Bukhari disebutkan: Dan pandai besi (bisa) membakar rumahmu, pakaianmu atau kau dapati daripadanya bau yang busuk. Maksudnya, mereka akan membakar rumah dengan berbagai macam kerusakan dan penghancuran. Betapa banyak, karena masuknya orang-orang yang rusak dan diragukan (agamanya) menjadi sebab timbulnya permusuhan di antara anggota keluarga, berpisahnya suami dari isteri. Allah melaknat orang yang menipu wanita dari suaminya atau sebaliknya, dan yang menyebabkan permusuhan antara bapak dengan anak-anaknya.<br /><br />Sungguh, tiada sebab-sebab terjadinya sihir di rumah atau terkadang kasus pencurian dan kerusakan akhlak kecuali dengan memasukkan orang yang tidak baik agamanya ke dalam rumah, karena itu hendaknya mereka tidak diizinkan masuk, meski dia adalah tetangga, laki-laki atau perempuan, atau orang-orang yang pura-pura cepat akrab dari laki-laki maupun perempuan. Sebagian orang terkadang agak sulit menolak, sehingga ketika ia melihatnya telah berada didepan pintu, ia mengizinkannya padahal ia tahu bahwa orang tersebut dari golongan orang-orang yang rusak.<br /><br />Wanita yang tinggal di rumah, mempunyai tanggung jawab besar dalam masalah ini. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Wahai manusia, Hari apakah yang paling suci? Hari apakah yang paling suci? Hari apakah yang paling suci? Mereka menjawab: Hari Haji Akbar. Kemudian Nabi bersabda di tengah khutbahnya pada hari itu: Adapun hak kalian atas isteri-isteri kalian adalah hendaknya mereka tidak membiarkan orang yang kalian benci menginjak kasur (tempat duduk) kalian, dan tidak memberi izin (masuk) kepada orang yang kamu benci. Maka hendaknya engkau, wahai wanita muslimah jangan berat hati jika suamimu atau ayahmu menolak salah seorang tetangga wanita masuk ke rumah, karena mereka tahu akan pengaruhnya dalam perusakan. Juga hendaknya engkau menahan diri jika wanita tersebut membandingkan antara suaminya dengan suamimu sehingga engkau tidak meminta kepada suamimu akan hal-hal yang ia tidak mampu memenuhinya. Engkau juga wajib menasehati suamimu, jika engkau melihat di antara kawan-kawannya di rumah ada yang suka mengajak suamimu kepada kemungkaran.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">PERINGATAN:</span><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Usahakan Semampu Mungkin untuk Lebih Banyak Berada di Rumah</span><br /><br />Adanya wali (pemimpin) di rumah menjadikan semua persoalan terkontrol, juga memungkinkan baginya mendidik dan memperbaiki keadaan, dengan mendampingi dan mengawasi. Sebagian orang berpendapat bahwa kewajiban asli bagi laki-laki adalah keluar rumah, jika ia tidak mendapatkan tempat ke mana harus pergi baru ia pulang ke rumah. Teori ini adalah keliru. Jika keluarnya seseorang dari rumah untuk ketaatan, maka hendaknya bisa menjaga keseim bangan (antara waktu di luar dan di dalam rumah). Tetapi jika keluarnya untuk maksiat, menghabiskan waktu secara sia-sia atau berlebih-lebihan dalam urusan kesibukan dunia maka hendaknya ia mengurangi kesibukan-kesibukan dan berbagai bentuk bisnis itu, serta menghilangkan beberapa rapat yang kurang penting. Sungguh, alangkah keji kaum yang menyia-nyiakan keluarganya dan begadang di warung-warung atau night club. Kita tidak mau membeo di belakang program-program musuh-musuh Allah. Di bawah ini adalah pelajaran berharga:<br /><br />Dalam brosur hasil kesepakatan Zionis Perancis bernama Al-Masyriqul Azham yang diselenggarakan pada tahun 1923 disebutkan: Dan untuk mencapai perpecahan antara seseorang dengan keluarganya hendaknya kalian mencabut akhlak dari akarnya, karena sesungguhnya nafsu cenderung kepada pemutusan ikatan keluarga dan mendekati kepada hal-hal yang diharamkan, karena nafsu lebih mengutamakan banyak cerita dan obrolan di warung-warung kopi untuk menyebarkan isu-isu keluarga.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Teliti dalam Mengamati Anggota Keluarga</span><br /><br />Siapakah teman-teman anak-anakmu? Apakah mereka telah bertemu denganmu atau engkau mencari tahu tentang mereka? Apa yang dilakukan oleh anak-anakmu bersama mereka di luar rumah? Apa yang ada di dalam laci dan tas mereka, di bawah bantal, kasur dan apa yang mereka rahasiakan? Kemana anak gadismu pergi dan dengan siapa? Sebagian orangtua tidak mengetahui kalau ternyata di dalam lemari anaknya terdapat gambar-gambar dan kaset video yang tidak mendidik (porno), bahkan kadang-kadang minuman/pil memabukkan. Sebagian mereka tidak tahu, anak gadisnya pergi ke pasar bersama pembantu, lalu ia menyuruh pembantu itu menungguinya bersama sopir, selanjutnya ia pergi sesuai janjinya dengan salah seorang kekasihnya, sebagian lain pergi menghisap rokok bersama kawan-kawan sepermainannya yang jahat.<br /><br />Mereka yang bisa lepas diri dari anak-anaknya itu tidak akan bisa lepas dari persaksian pada Hari Yang Agung, dan mereka tidak akan bisa lari dari kengerian Hari Pembalasan. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban kepada setiap pemimpin atas apa yang dipimpinnya, apakah ia menjaganya atau melalaikannya, sehingga seorang laki-laki ditanya tentang anggota keluarganya.<br /><br />Tetapi ada hal-hal yang perlu diperhatikan :<br /><br /> * Pengawasan itu hendaknya dengan diam-diam.<br /> * Tidak untuk menakut-nakuti.<br /> * Agar anak-anak tidak merasa kehilangan kepercayaan diri.<br /> * Dalam menasehati dan memberi hukuman hendaknya memperhatikan umur, pengetahuan dan tingkat kesalahan yang mereka lakukan.<br /> * Hati-hatilah untuk melakukan penelitian mendalam dan sensus jiwa.<br /><br />Seseorang berkisah kepada Penulis, seorang ayah memiliki komputer yang di dalamnya ia agendakan semua kesalahan-kesalahan anaknya dengan perincian tanggal dan hari sekaligus. Apabila terjadi kesalahan baru, ia tampilkan kembali nama file yang khusus mencatat kesalahan anaknya tersebut,. lalu ia tulis kesalahan yang baru sehingga kesalahan-kesalahan itu terhimpun rapi, baik yang lama maupun yang baru.<br /><br />Komentar:<br /><br />Kita bukan dalam perusahaan, dan ayah bukanlah malaikat yang ditugasi menulis semua dosa dan kesalahan. Ayah seperti itu hendaknya membaca banyak-banyak buku tentang dasar-dasar pendidikan dalam Islam. Sebaliknya, penulis juga mengetahui ada orang-orang yang menolak sama sekali untuk ikut campur dalam urusan anak-anak mereka, dengan dalih anak tidak akan puas bahwa kesalahan yang ia lakukan itu sebagai kesalahan sampai ia terperosok di dalamnya, lalu ia mengetahui kesalahan itu dengan sendirinya. Keyakinan yang menyimpang ini berasal dan muncul dari falsafah Barat serta teori kebebasan yang tercela. Sungguh, ini adalah hal yang jauh dari kebenaran.<br /><br />Sebagian orang melepaskan kendali untuk anaknya, karena takut -menurut anggapannya- anak itu akan membencinya, ia berkata, saya mencintainya apapun yang ia kerjakan. Sebagian lain melepaskan kendali anaknya sebagai bentuk penolakan terhadap pendidikan ketat dan keras yang ia alami dari ayahnya dahulu (kakek si anak), ia menganggap bahwa anaknya harus ia perlakukan sebaliknya secara persis. Sebagian lain ada yang sampai pada tingkat kebodohan yang sangat rendah hingga mengatakan: Biarkanlah putera-puteri kita menikmati masa remajanya seperti yang mereka kehendaki. Apakah tipe ayah seperti itu terpikirkan di benaknya bahwa kelak anak-anak mereka pada hari Kiamat akan memanggil-manggil orangtuanya dengan mengatakan: Hai bapak, kenapa engkau membiarkan aku berbuat maksiat ?<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Perhatian terhadap Anak-anak di Rumah</span><br /><br />Dalam hal ini ada beberapa segi yang perlu diperhatikan,diantaranya:<br /><br />Hafalan Al-Quran dan kisah-kisah Islami.<br /><br />Betapa indah manakala sang ayah mengumpulkan anak-anaknya untuk membacakan kepada mereka ayat-ayat Al-Quran dengan sedikit keterangan, lalu memberikan hadiah-hadiah bagi yang bisa menghafalkannya. Seorang anak yang masih kecil bisa juga telah hafal surat Al-Kahfi karena ayahnya selalu mengulang-ulang bacaan ayat tersebut setiap kali hari Jumaat. Demikian pula dengan mengajari anak-anak dasar-dasar akidah Islam seperti yang termuat dalam hadits: Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Dan mengajari mereka adab (akhlak) serta doa-doa. Seperti doa makan, tidur, bersin, juga membiasakan salam dan minta izin. Termasuk yang amat menarik dan berpengaruh besar terhadap anak adalah dengan menceritakan dan memperdengarkan kepada mereka kisah-kisah Islami.<br /><br />Diantara kisah-kisah itu adalah kisah Nabi Nuh alaihis salam dan banjir topan, kisah Nabi Ibrahim alaihis salam dalam menghancurkan patung-patung lalu pelemparan Nabi lbrahim alaihis salam ke dalam api, kisah Nabi Musa dan selamatnya dari Firaun yang kemudian ia tenggelam dalam lautan, kisah Nabi Yunus alaihis salam dalam perut ikan, kisah singkat Nabi Yusuf alaihis salam dan perjalanan hidup Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam seperti diutusnya beliau sebagai rasul dan kisah hijrah, petikan peperangan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam seperti perang Badar dan Khandaq dan yang lain seperti kisah beliau dengan laki-laki dan unta yang menjadikannya lapar dan bersusah payah. Juga kisah orang-orang shalih, seperti kisah Umar bin Khathab radhiyallah anhu dengan seorang ibu bersama anak-anaknya yang kelaparan di dalam kemah, kisah para penggali parit (Ashaabul Ukhduud), kisah pemilikpemilik kebun dalam surat Nun, dan tiga orang yang tersekap di dalam gua dan sebagainya.<br /><br />Semua hal di atas hendaknya diringkas dan disederhanakan dengan beberapa komentar dan pengambilan ibrah (pelajaran), kita tidak membutuhkan cerita-cerita yang bermacam-macam yang menyimpang dari aqidah dan penuh khurafat atau yang menakutkan (horor) sehingga merusak jiwa anak karena mewariskan rasa takut dan pengecut. <br /><br />Hati-hati terhadap keluarnya anak-anak bersama teman jalanan (yang semaunya). Akibatnya anak-anak akan pulang ke rumah dengan membawa ucapan dan akhlak yang tercela. Sebaiknya teman-teman mereka dipilihkan dari anak-anak kerabat dan tetangga lalu mereka dipanggil ke rumah sehingga bermain di dalam rumah.<br /><br />Perhatian terhadap mainan anak-anak yang menghibur dan mendidik. Hendaknya disediakan ruangan untuk anak-anak bermain. Baik juga jika ada lemari khusus sehingga anak-anak bisa menertibkan mainan mereka di dalam lemari tersebut. Hendaknya dihindari beberapa permainan yang bertentangan dengan syariat, seperti: alat-alat musik, yang bertanda gambar salib, atau permainan dadu. Akan lebih baik jika dipenuhi sarana yang menunjang ketrampilan bagi anak-anak remaja seperti pertukangan, elektronika, mekanika dan beberapa permainan (games) komputer yang dibolehkan.<br /><br />Tetapi dalam hal ini, kita mengingatkan bahaya program komputer yang bisa menampilkan gambar wanita-wanita perusak, juga permainan yang di dalamnya terdapat gambar salib, bahkan sebagian mengatakan, salah satu game computer berbentuk permainan judi. Demikian juga ada game yang menampilkan empat gadis di layar monitor.<br /><br />Orang yang memainkan game ini harus memilih salah satu di antara empat gambar tersebut yang kesemuanya hampir mirip. Jika menang dalam game ini, pemain akan diberi pertanda hadiah dengan keluarnya gadis yang paling seronok dan porno, naudzubillah.<br /><br />Memisahkan antara anak laki-laki dengan anak perempuan dalam tidur. Inilah perbedaan cara menertibkan rumah antara orang yang taat beragama dengan orang yang sama sekali tidak memperhatikan persoalan agama.<br /><br />Bercanda dan menyayangi. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mencandai anak-anak, mengusap kepala mereka dan memanggil mereka dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memberikan oleh-oleh pertama kali kepada anak yang paling kecil, terkadang sebagian dari anak-anak itu menaiki Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Di bawah ini adalah dua contoh canda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepada Hasan dan Husain. Dari Abu Hurairah radhiyallah anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menjulurkan lidahnya kepada Hasan bin Ali maka anak itu melihat merahnya lidah beliau sehingga taajub dan menarik minatnya lalu ia segera menghampiri beliau.<br /><br />Dari Yala bin Murrah ia berkata: Kami keluar bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam lalu kami diundang untuk makan. Tiba-tiba Husain sedang bermain di jalan maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam segera (menghampirinya) di hadapan banyak orang. Beliau membentangkan kedua tangannya lalu anak itu lari ke sana kemari sehingga membuat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tertawa sampai beliau (berhasil) memegangnya lalu beliau letakkan salah satu tangannya di bawah dagu anak tersebut dan yang lain di tengah-tengah kepalanya kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menciumnya. Pembahasan dalam hal ini sangat panjang. Mudah-mudahan penulis berkesempatan membahasnya secara tersendiri dalam buku lain, Insya Allah.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Mengatur Waktu Tidur dan Makan</span><br /><br />Sebagian rumah, punya kondisi layaknya hotel, hampir penghuninya tidak mengenal satu sama lain, dan jarang sekali mereka bertemu. Sebagian anak makan atau tidur kapan saja mereka suka sehingga menyebabkan mereka begadang dan menyianyiakan waktu, juga menumpuk antara makanan yang satu dengan lainnya. Kekacauan seperti ini menyebabkan runtuhnya tali ikatan, semangat dan waktu yang sia-sia serta membentuk jiwa tidak konsisten (istiqamah).<br /><br />Sebagian orang yang pandai berdalih mengatakan, anak-anak yang sekolah dan kuliah waktu keluarnya tidak bersamaan, laki-laki dan perempuan, demikian pula halnya dengan pegawai, buruh dan pedagang. Akan tetapi kondisi seperti ini tidak berlaku untuk semua. Sungguh, tidak ada kenikmatan yang melebihi berkumpulnya satu keluarga di meja makan, lalu menggunakan kesempatan tersebut untuk mengetahui keadaan masing-masing serta mendiskusikan sesuatu yang bermanfaat. Bagi pemimpin rumah tangga hendaknya menentukan waktu kembali (pulang) ke rumah, dan izin kalau mau bepergian, terutama bagi anak-anak kecil - (sedikit) dalam umur dan akal - yang masih dikhawatirkan terjadi apa-apa atas mereka. <br /><br /><span style="font-weight: bold;">Meluruskan Pekerjaan Wanita di Luar Rumah</span><br /><br />Syariat Islam adalah saling melengkapi satu sama lain. Ketika Allah memerintah para wanita dengan firmanNya: Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu. (Al-Ahzab:33). Maka Allah menjadikan ada orang yang wajib menafkahi mereka, seperti ayah atau suami. Pada hukum asalnya, wanita tidak dibolehkan bekerja di luar rumah kecuali karena suatu kebutuhan. Sebagaimana ketika Musa alaihis salam melihat dua anak gadis orang shalih yang menahan (menghambat) kambing gembalaannya menunggu giliran. Musa menanyakan kepada mereka: Apakah maksudmu (dengan berniat begitu)? Kedua wanita itu menjawab: Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang lanjut usianya. (Al-Qashash: 23). Kedua wanita itu seketika menyampaikan alasannya mengapa mereka keluar memberi minum kambing ternaknya, yakni sebab wali tak mampu lagi bekerja karena usianya telah lanjut. Karena itu hendaknya kita berusaha untuk menjaga agar wanita muslimah tidak bekerja di luar rumah, selama hal itu memungkinkan. Allah berfirman: Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: Ya bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya (Al-Qashash: 26).<br /><br />Wanita tersebut dengan kalimat-kalimatnya menjelaskan keinginannya untuk kembali ke rumah sehingga dirinya terlindungi dari kejelekan dan gangguan yang bisa saja terjadi jika ia bekerja di luar rumah. Ketika orang-orang kafir pada zaman ini membutuhkan wanita pekerja setelah Perang Dunia I dan II maka itu adalah untuk mengganti kekurangan laki-laki. Kondisinya sangat sulit karena mereka harus mengembalikan denyut kemajuan yang telah dihancurkan oleh perang. Program Yahudi itu sangat getol dalam pembebasan wanita, mereka menyerukan hak-hak wanita, dengan maksud untuk menghancurkan wanita, yang selanjutnya akan menghancurkan bangunan masyarakat, yang awalnya disebabkan oleh keluarnya wanita untuk bekerja. Meskipun motivasi (yang mendasari semangat) yang kita miliki tidak seperti yang mereka miliki, sedang setiap pribadi muslim mesti menjaga isteri dan menafkahi mereka, akan tetapi gerakan pembebasan wanita semakin bersemangat, bahkan sampai menuntut perlu dikirimnya wanita-wanita ke luar negeri, selanjutnya meminta mereka bekerja agar ijazah yang mereka miliki tidak sia-sia. Ini adalah sebuah kekeliruan.<br /><br />Masyarakat muslim sungguh tidak membutuhkan persoalan wanita bekerja ini dalam lapangan yang luas. Diantara argumen dalam masalah tersebut adalah terdapatnya laki-laki yang menganggur sementara lapangan bagi kaum wanita terus dibuka dan diperluas. Ketika kita mengatakan, dalam lapangan yang luas maka pemahaman maknanya amat kita perhatikan. Sebab kebutuhan terhadap pekerjaan wanita di beberapa sektor seperti pengajaran, kebidanan, dan kedokteran sesuai dengan syarat-syarat agama adalah tetap diperlukan. Kita awali pembahasan ini dengan mukaddimah seperti di muka, karena kita saksikan bahwa sebagian wanita keluar bekerja dengan tidak karena kebutuhan, bahkan terkadang dengan gaji yang sangat kecil sebab ia merasa harus keluar bekerja meski ia sendiri tidak membutuhkannya, bahkan meski di tempat yang tidak cocok untuknya, setelah itu terjadi berbagai fitnah yang besar. Agar adil, maka kita mengatakan: Sesungguhnya bekerjanya wanita terkadang memang benar-benar suatu kebutuhan. Misalnya wanita itulah yang menanggung dan menopang ekonomi keluarga setelah kematian suami atau ayahnya telah tua renta sehingga tak sanggup bekerja atau yang semisalnya.<br /><br />Di sebagian negara, karena nilai-nilai masyarakatnya tidak atas dasar nilai-nilai Islami maka terpaksa isteri bekerja untuk ikut menutupi kebutuhan rumah tangga bersama suaminya, bahkan seorang laki-laki tidak mau meminang kecuali kepada wanita yang telah bekerja, lebih dari itu sebagian mereka dalam akad nikahnya mensyaratkan agar calon isterinya itu bekerja.<br /><br />Kesimpulan:<br /><br />Terkadang wanita bekerja untuk kebutuhan atau untuk tujuan yang Islami seperti dakwah kepada Allah di medan pendidikan, atau sebagai hiburan seperti yang terjadi pada sebagian mereka yang tidak memiliki anak. Adapun dampak negatif bekerjanya wanita di luar rumah, di antaranya yaitu:<br /><br />Timbulnya berbagai bentuk kemungkaran, seperti ikhtilath (percampuran antara laki-laki dan perempuan tanpa hijab), yang berakibat saling berkenalan lalu melakukan khalwat (berduaan), menggunakan wewangian untuk menarik lelaki, memperlihatkan perhiasan kepada mereka, yang pada akhirnya bisa berlanjut jauh hingga pada perzinaan.<br /><br />Tidak memberikan hak suami, meremehkan persoalan rumah dan melalaikan hak-hak anak (dan ini adalah tema kita yang sebenarnya).<br /><br />Berkurangnya makna hakiki dari perasaan kepemimpinan laki-laki atas jiwa sebagian wanita. Cobalah renungkan, seorang wanita yang membawa ijazah sama seperti ijazah suaminya bahkan terkadang ijazahnya lebih tinggi dari ijazah suaminya (padahal ini tidak tercela), lalu dia bekerja dengan gaji yang terkadang lebih tinggi dari gaji suaminya. Apakah wanita seperti ini akan merasa perlu sepenuhnya kepada sang suami dan akan mentaatinya dengan sempurna? Ataukah perasaan tidak butuh menyebabkan kemelut goncangnya bangunan rumah tangga secara mendasar?. Kecuali wanita yang dikehendaki baik oleh Allah Subhanahu wa Taala. Demikianlah, persoalan nafkah atas isteri yang bekerja serta nafkah kepada keluarga tidak akan berakhir.<br /><br />Menambah beban fisik, tekanan jiwa dan saraf yang tidak sesuai dengan kodrat wanita.<br /><br />Setelah pemaparan sekilas masalah maslahat dan kerugian wanita bekerja, kita mengatakan: Hendaknya kita bertakwa kepada Allah, menimbang setiap permasalahan dengan timbangan syari, dan memahami kondisi yang membolehkan wanita keluar untuk bekerja dan kondisi mana yang melarangnya. Janganlah kita buta karena masalah pekerjaan duniawi dari jalan kebenaran. Kita nasehatkan kepada wanita muslimah agar bertakwa kepada Allah, mentaati suami jika ia menghendakinya agar meninggalkan pekerjaannya demi kemaslahatan dirinya dan kemaslahatan rumah tangga. Begitu pula bagi suami, agar tidak menyusun strategi balas dendam dan agar tidak makan harta isterinya dengan tanpa dibenarkan.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Menjaga Rahasia Rumah Tangga</span>.<br /><br />Masalah ini menyangkut beberapa hal, diantaranya:<br /><br /> * Tidak menyebarkan rahasia hubungan intim suami isteri.<br /> * Tidak membawa keluar percekcokan suami isteri.<br /> * Tidak membuka kepada umum rahasia dan kekhususan apapun, hal yang apabila tampak akan membahayakan rumah tangga atau salah satu anggota keluarga.<br /><br />Adapun petaka pertama, dalil pelarangannya, adalah sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam : Sesungguhnya di antara manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat yaitu laki-laki yang mencumbui isterinya, dan isteri yang mencumbui suaminya, kemudian ia sebarluaskan rahasianya. Makna (yufdhi) yaitu ia melakukan percampuran, percumbuan dan persetubuhan seperti dalam firman Allah: Bagaimana kamu mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami isteri. (An-Nisa:21). Diantara dalil pelarangan yang lain adalah hadits Asma binti Yazid, bahwasanya ia berada pada majlis Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sedang para lelaki dan perempuan sama duduk.<br /><br />Beliau bersabda: Barangkali ada laki-laki yang mengatakan tentang apa yang ia lakukan bersama isterinya, dan barangkali ada perempuan yang mengabarkan tentang apa yang ia lakukan bersama suaminya. Maka orang-orang pun terdiam, lalu aku katakan: Ya (benar), demi Allah, wahai Rasulullah. Sungguh para wanita melakukan itu dan para lelaki juga demikian. Rasulullah berkata : Jangan kalian lakukan, sebab hal itu sesungguhnya seperti setan laki-laki yang bertemu dengan setan perempuan di jalan lalu ia menyetubuhinya sedang orang-orang pada melihatnya. Dalam riwayat Abu Daud disebutkan: Apakah ada diantara kamu laki-laki yang apabila mendatangi istrinya lalu mengunci pintunya dan menghamparkan kelambu penghalangnya dan ia bertabir dengan tabir Allah? Mereka menjawab: Ya benar.<br /><br />Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda (melanjutkan): Setelah itu ia duduk lalu berkata: aku telah melakukan begini dan melakukan begitu . Mereka terdiam,lalu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menghadapi para wanita kemudian bersabda: Apakah di antara kalian ada yang membicarakannya? Mereka terdiam. Kemudian bangkitlah seorang gadis montok di atas salah satu lututnya dan medongakkan diri kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sehingga beliau melihatnya dan mendengar ucapannya. Lalu ia berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya para lelaki membicarakannya, demikian pula halnya dengan para wanita. Maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Apakah kalian tahu apa perumpamaan hal tersebut?<br /><br />Sesungguhnya perumpamaan hal itu adalah seperti setan wanita yang bertemu dengan setan laki-laki di jalan, maka ia lampiaskan hajatnya sedang manusia melihat kepadanya Adapun perkara kedua yakni membawa keluar rumah percekcokan suami isteri, pada banyak kasus justru menambah ruwetnya persoalan, pihak ketiga ikut campur dalam perselisihan suami isteri sehingga pada sebagian besar kasus menambah persoalan baru. Jalan keluarnya -jika orang lain ingin membantu, terutama orang yang paling dekat dengan keduanya yaitu dengan melakukan surat menyurat antara keduanya. Hendaknya tidak mencampuri urusan tersebut kecuali karena alasan menjadi pihak yang mendamaikan secara langsung.<br /><br />Ketika itu kita lakukan sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Shallallahu alaihi wa sallam : Maka kirimlah seorang hakam (juru pendamai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu.(An-Nisa :35).<br /><br />Perkara ketiga, yaitu mengundang bahaya bagi rumah tangga atau salah satu dari anggotanya dengan menebarkan rahasia-rahasianya. Ini tidak boleh, sebab ia termasuk dalam sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam : Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh (pula) membahayakan orang lain. Di antara contohnya yaitu seperti yang termaktub dalam firman Allah: Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shalih di antara hamba-hamba Kami, lalu kedua isteri berkhianat kepada kedua suaminya. (At-Tahrim: 10). Ibnu Katsir dalam menukil tafsir ayat ini mengatakan: Isteri Nuh tersebut selalu mengintip rahasia Nuh, apabila ada orang yang beriman kepada Nuh maka ia mengabarkan kepada para pembesar kaum Nuh tentang keimanan itu. Adapun isteri Luth maka jika Luth menerima tamu laki-laki, dikabarkannya hal itu kepada orang-orang yang biasa melakukan kejahatan (homosex), yakni agar mereka datang lalu melakukan perbuatan homosex dengan tamu tersebut.<br /><br /></div>tainkhttp://www.blogger.com/profile/12677600963245460989noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1200640332744052449.post-47666860835674574032008-12-11T07:25:00.003+07:002008-12-11T07:35:43.762+07:00Ilmu Agama Di Rumah<div style="text-align: justify;"><span style="font-weight: bold;">Pengajaran Anggota Keluarga</span><br />Mengajar adalah kewajiban yang mesti dilakukan oleh pemimpin keluarga, sebagai realisasi dari perintah Allah Taala: Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu.(At-Tahrim : 6)<br /><br />Ayat di atas merupakan dasar pengajaran dan pendidikan anggota keluarga, memerintah mereka dengan kebaikan dan mencegah mereka dari kemungkaran. Di bawah ini beberapa komentar ahli tafsir tentang ayat tersebut, yakni berkaitan dengan kewajiban yang dibebankan atas pemimpin keluarga. Qatadah berkata: Dia hendaknya memerintah mereka berbuat taat kepada Allah Subhanahu wa Taala serta mencegah mereka dari maksiat kepadaNya, hendaknya menjaga mereka untuk melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah dan membantu mereka di dalamnya. Maka apabila kamu melihat kemaksiatan, hendaknya engkau menjauhkan mereka daripadanya dan memperingatkan untuk tidak melakukannya. Adh-Dhahhak dan Muqatil berkata: Merupakan kewajiban setiap muslim, mengajarkan keluarganya dari kerabat dan hamba sahayanya akan apa yang diwajibkan oleh Allah atas mereka dan apa yang dilarangNya. Ali radhiyallah anhu berkata: Ajari dan didiklah mereka. Al-Kiya At-Thabari berkata: Kita hendaknya mengajari anak-anak dan keluarga kita masalah agama dan kebaikan, serta apa-apa yang penting dan dibutuhkan dalam persoalan adab dan akhlak.<br /><br />Apabila Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah menganjurkan kita mengajari wanita-wanita hamba sahaya yakni bukan orang-orang merdeka, maka apatah lagi halnya dengan anak-anakmu dan keluargamu yang merdeka? Imam Bukhari dalam Shahihnya, Bab Pengajaran Laki-laki terhadap Hamba Sahaya Perempuan dan Keluarganya, menulis hadits: Tiga orang yang mendapat dua pahala: dan seorang laki-laki yang memiliki hamba sahaya perempuan lalu ia mendidiknya dengan baik, mengajarinya dengan baik, kemudian ia memerdekakannya lalu menikahinya maka baginya dua pahala.<br /><br />Dalam penjelasan hadits di atas, Ibnu Hajar mengatakan: Kesesuaian hadits dengan tarjamah - maksudnya judul bab - dalam masalah hamba sahaya perempuan adalah dengan nash, dan dalam masalah keuarga dengan qiyas, sebab perhatian dengan keluarga yang merdeka dalam soal pengajaran kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh Allah dan sunnah-sunnah RasulNya adalah sesuatu yang harus dan pasti daripada perhatian kepada hamba sahaya perempuan. Karena adanya kesibukan dan tugas serta ikatan lainnya, seseorang terkadang melalaikan untuk meluangkan waktu bagi dirinya sehingga bisa mengajari keluarganya.<br /><br />Diantara jalan pemecahan dalam persoalan ini yaitu hendaknya ia mengkhususkan satu hari dalam seminggu sebagai waktu untuk keluarga, bahkan mungkin juga dengan melibatkan kerabat lain untuk menyelenggarakan majlis ilmu di dalam rumah. Ia hendaknya mengumumkan hari tersebut kepada segenap anggota keluarga dan menganjurkan agar menepati dan dating pada hari yang ditentukan tersebut, bahkan akan lebih efektif dengan menggunakan kata-kata wajib datang, baik kepada dirinya maupun kepada anggota keluarga yang lain.<br /><br />Berikut ini adalah apa yang terjadi pada diri Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam masalah ini. Imam Bukhari berkata: Bab: Apakah bagi Wanita Disediakan Hari Khusus untuk Ilmu? Lalu menyitir hadits Abu Said AI-Khudri radhiyallah anhu : Para wanita berkata kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam : Kami telah dikalahkan kaum laki-laki dalam berkhidmat kepadamu. Karena itu buatlah untuk kami suatu hari dari dirimu, lalu Rasulullah menjanjikan mereka suatu hari untuk bertemu dengan mereka, maka Rasulullah menasehati dan memerintah mereka.<br /><br />Ibnu Hajar berkata: Dalam riwayat Sahl bin Abi Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah mirip dengan kisah ini, ia berkata; Perjanjian kalian di rumah Fulanah, maka Rasulullah mendatangi mereka dan memberi ceramah kepada mereka. Dari hadits di atas kita bisa mengambil kesimpulan akan pentingnya pengajaran para wanita di rumah-rumah, dan mengingatkan pula betapa besar perhatian para sahabat wanita dalam masalah belajar, juga menunjukkan bahwa mengkonsentrasikan semangat mengajar hanya kepada laki-laki dengan meninggalkan kaum perempuan adalah kelalaian besar bagi para dai dan pemimpin rumah tangga.<br /><br />Sebagian pembaca mungkin berkata, misalnya, kita telah meluangkan waktu sehari dalam seminggu dan hal itu telah kita kabarkan kepada anggota keluarga, lalu apa yang akan kita berikan dalam pertemuan (majlis) tersebut? Dan bagaimana pula memulainya? Sebagai jawaban dari pertanyaan tersebut, Penulis mencoba memberikan ide dalam hal ini sehingga menjadi manhaj (program) sederhana untuk mengajar anggota keluarga secara umum dan bagi kaum wanita secara khusus.<br /><br />Tafsir Al-Allamah Ibnu Sadi, yaitu Tafsir Taisirul Karim Ar-Rahman fi Tafsiiri Kalaamil Mannaan. Terdiri dari tujuh jilid, sajian dan bahasannya mudah. Tafsir ini bisa ditelaah dan dibaca per surat atau semampunya dalam tiap kali pertemuan.<br /><br />Riyaadhus Shaalihiin dengan komentar dan keterangan serta pelajaran yang bisa diambil dari tiap hadits. Dalam hal ini bisa merujuk pada kitab Nuzhatul Muttaqiin. <br /><br />Husnul Uswah Bimaa Tsabata Anillaahi Waraasuulihi Fin Niswah, karya Shiddiq Hasan Khan. Juga penting untuk diajarkan kepada wanita beberapa persoalan hukum Fiqh, misalnya hukum bersuci, haid, hukum shalat dan zakat, puasa dan haji, jika mereka telah bisa melakukannya. Demikian pula hukum makanan dan minuman, pakaian dan perhiasan, sunnah-sunnah fithrah dan para mahram, hukum lagu, gambar dan sebagainya.<br /><br />Diantara rujukan-rujukan penting dalam masalah-masalah tersebut yaitu fatwa-fatwa para ulama seperti Kumpulan Fatwa-fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan ulama lain selain mereka, baik itu berupa buku maupun rekaman kaset. Termasuk dalam kategori jadwal pengajaran wanita dan keluarga adalah dengan mengingatkan mereka untuk mengikuti berbagai ceramah umum yang disampaikan oleh para ulama, atau penuntut ilmu yang terpercaya di bidangnya, jika hal itu memungkinkan.<br /><br />Hal ini untuk lebih banyak memberikan referensi dan sumber pengajaran, juga untuk variasi. Selain itu, jangan pula dilupakan masalah mendengarkan siaran bacaan Al-Quranul Karim serta menaruh perhatian kepadanya. Termasuk dalam rangka penyediaan sarana pengajaran adalah mengingatkan anggota keluarga pada hari-hari tertentu agar para wanitanya menghadiri pameran buku-buku Islami, tetapi dengan memperhatikan syarat-syarat bepergian yang telah diatur agama.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Buatlah Perpustakaan di Rumahmu</span><br /><br />Diantara yang membantu proses pengajaran bagi keluarga adalah pemberian kesempatan belajar agama dan menolong mereka untuk mentaati hukum-hukum syariat dengan membuat perpustakaan Islami di rumah, tidak harus besar, tetapi yang penting bisa menyeleksi buku-buku penting, menempatkannya di tempat yang gampang diambil, dan menganjurkan anggota keluarga untuk membacanya. Hendaknya di ruang dalam disediakan kamar yang bersih dan tertib, cocok untuk meletakkan buku-buku, di kamar tidur, juga di ruang tamu, sehingga memberi kesempatan kepada anggota keluarga membaca buku dengan teratur.<br /><br />Diantara perpustakaan yang baik dan efisien - dan sungguh Allah menyukai yang baik dan efisien adalah hendaknya perpustakaan itu memuat sumber-sumber yang daripadanya bisa dicari pembahasan dan pemecahan berbagai persoalan, bermanfaat untuk anak-anak di sekolah, dan hendaknya pula memuat buku-buku untuk tingkatan yang beragam, juga buku-buku yang cocok untuk orang dewasa dan anak-anak, laki-laki dan perempuan.<br /><br />Jika mampu, bisa pula disediakan buku-buku khusus hadiah bagi tamu dan kawan anak-anak serta pengunjung keluarga, dengan memperhatikan soal cetakan yang menarik, buku yang telah diteliti dan diedit, serta haditshaditsnya telah diperiksa dan diterangkan secara jelas. Untuk mendirikan perpustakaan rumah, bila perlu dengan memanfaatkan pameran buku-buku setelah meminta pertimbangan terlebih dahulu kepada orang yang ahli di bidang perbukuan.<br /><br />Diantara yang membantu memudahkan mencari buku-buku yaitu dengan menertibkan buku-buku sesuai judulnya. Misalnya buku tafsir di rak tersendiri, demikian pula hadits, fiqh dan seterusnya. Salah seorang anggota keluarga hendaknya ada yang menata daftar buku sesuai dengan abjad dan judul, sehingga akan memudahkan pencarian buku, sebab terkadang banyak orang yang senang membaca buku-buku keislaman menanyakan nama-nama buku tersebut pada perpustakaan rumah. Di bawah ini ada beberapa usulan dalam masalah buku-buku penting bagi perpustakaan rumah:<br /><br />Tafsir:<br /><br />Tafsir lbnu Katsir, Tafsir lbnu Sadi, Zubdatut Tafsir karya Al-Asyqar, Ushulut Tafsir karya Ibnu Utsaimin, dan Lamahaat fii Uluumil Quran karya Muhammad Ash-Shabbagh.<br /><br />Hadits:<br /><br />Shahihul Kalimith Thayyib, Amalul Muslimi fil Yaum wal Lailah, Riyadhush Shalihin dan keterangannya, Nuzhatul Muttaqin, Mukhtashar Shahih Al-Bukhari karya Zubaidi, Mukhtashar Shahih Muslim karya Mundziri dan Al-Albani, Shahihul Jami Ash-Shaghier, Dhaiful Jami Ash-Shaghier, Shahihut Targhib wat Tarhib, As-Sunnah wa Makaanatuha fit Tasyrii, Qawaid wa Fawaid Minal Arbain An-Nawawiyyah karya Nazhim Sulthan.<br /><br />Aqidah:<br /><br />Fathul Majid Syarhu Kitab At-Tauhid dengan tahqiq Arnauth, Alaamus Sunnah Al-Mansyurah karya Al Hakamy, Maarijul Qabuul karya AlHakamy, Syarhul Aqidah Ath-Thahawiyah dengan tahqiq Al-Albani, Silsilatul Aqidah karya Umar Sulaiman Al-Asyqar (8 ]uz), Asyraatus Saaah karya Dr.Yusuf Al-Wabil.<br /><br />Fiqh:<br /><br />Manaarus Sabil karya Ibnu Dhauyan, Irwaaul Ghalil karya Al-Albani, Zaadul Maaad, Al-Mughni karya lbnu Qudamah, Fiqhus Sunnah, Al-Mulakhkhashul Fiqhi karya Shalih Fauzan, Majmuatu Fataawa Al-Ulama (Abdul Aziz bin Baaz, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Abdullah bin Jibrin), Shifatu Shalatin Nabi karya Al-Albani dan Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Mukhtashar Ahkamil Janaiz karya Al-Albani.<br /><br />Akhlaq dan Penyucian Jiwa:<br /><br />Tahdzibu Madarijis Salikin, Al-Fawaid, Al-Jawabul Kaafi, Thariqul Hijratain Wa Baabus Saadatain, Al-Wabilush Shayyib Wa Rafiul Kalimith Thayyib karya Ibnul Qayyim, Lathaaiful Maaarif karya lbnu Rajab, Tahdzibu Mauidhatil Mukminin, Ghidzaul Albab.<br /><br />Sejarah dan Biografi:<br /><br />Al-Bidayah Wan Nihayah karya Ibnu Katsir, Mukhtashar Asy-Syamaail Al Muhammadiyyah karya At-Turmudzi, Ar- Rahiiqul Makhtum, Al-Awaashim minal Qawaashim karya Ibnul Arabi tahqiq Al-Khaib dan Al-Istanbuli, Al- Mujtama’ Al- Madani (1-2) karya Akram Al-Umari, Siyaru Alaamin Nubala, Manhaju Kitaabit Tarikh Al-lslami karya Muhammad bin Shamil As-Salami. Di samping itu, masih banyak lagi kitab-kitab di bidang lain. Misalnya kitab-kitab karya Imam Mujaddid Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, kitab-kitab karya Al-Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sadi. Juga kitab-kitab Umar bin Sulaiman Al-Asyqar, Syaikh Muhammad bin Ahmad bin Ismail Al-Muqaddam, Ustadz Muhammad Muhammad Husein, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Ustadz Husain Uwaisyah dalam Raqaiq, Kitabul Iman karya Muhammad Naim Yasin, Al-Wala wal Bara karya Syaikh Muhammad Said Al-Qahthani, Al- Inhiraafaat Al-Aqadiyah fil Qarnain Ats-Tsani Asyar wats Tsalits Asyar karya Ali Az-Zahrani, Al-Muslimun Wa Dhahiratul Hazimah An-Nafsiyah karya Abdullah Asy-Syabanah, Al-Marah Bainal Fiqhi Wal Qaanun karya Musthafa As-Siba, Al-UsratuI Muslimah Amamal Fiidiyu Wal Tilifiziyun karya Marwan Kack, Al-Maratul Muslimah Idaaduha Wa Masuuliyatuha karya Ahmad Ababathin, Masuuliyatul Ab Al-Muslim fii Tarbiyati Waladihi karya Adnan Baharits, Hijaabul Muslimah karya Ahmad Al-Barazi, Wajaaa Daurul Majuus karya Abdullah Muhammad Al-Gharib, juga buku-buku karya Syaikh Bakar Abu Zaid dan Ustadz Masyhur Hasan Salman. Selain itu masih banyak lagi buku-buku yang bermanfaat. Apa yang kami sebutkan di atas hanyalah sebagai contoh, tidak berarti kami membatasi.<br /><br />Di samping itu, saat ini telah pula merebak kecenderungan buku-buku kecil dan praktis yang banyak bermanfaat. Kalau kita catat di sini, tentu tak memungkinkan, karena itu masing-masing hendaknya meminta pendapat orang ahli dan teliti dalam menyeleksinya. Dan sungguh, barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah kebaikan, niscaya Ia akan pahamkan orang tersebut dalam masalah agama. <br /><br /><span style="font-weight: bold;">Perpustakaan Kaset di Rumah</span><br /><br />Tape Recorder di dalam rumah bisa berfungsi baik atau jelek. Bagaimana menjadikan penggunaannya diridhai oleh Allah ? Diantara sarana untuk itu adalah menjadikan koleksi kaset yang ada di dalam rumah merupakan kaset-kaset Islami dan baik. Yakni rekaman dari para ulama, pembaca Al-Quran (qari), penceramah, pemberi nasehat, khatib dll. Sungguh, mendengarkan kaset bacaan Al-Quran yang khusyu dari suara sebagian imam shalat tarawih misalnya, memiliki pengaruh besar bagi keluarga di rumah. Baik itu pengaruh dari makna yang terkandung di dalam Al- Quran maupun pengaruh terhadap hafalan mereka, karena senantiasa memperdengarkannya kembali, juga pengaruh segi penjagaannya dari pendengaran setan seperti lagu-lagu, sebab telinga dan hati tidak cocok untuk bercampur di dalamnya kalamullah dan lagu-lagu setan.<br /><br />Betapa banyak kaset-kaset fatwa yang memberikan pengaruh dalam pemahaman fiqh anggota keluarga dalam berbagai persoalan yang mereka hadapi sehari-hari dalam kehidupan mereka. Di antara yang digagaskan dalam masalah ini yaitu mendengarkan fatwa-fatwa rekaman dari para ulama seperti fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani,, Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, Syaikh Shalih Al-Fauzan dan lain-lain dari ulama yang terpercaya keilmuan dan agamanya. Umat Islam hendaknya memperhatikan dari mana ia mengambil fatwa agama, karena ini adalah urusan agama.<br /><br />Karena itu, lihatlah dari siapa kamu mengambil agamamu. Kita hendaknya mengambil agama dari orang yang telah dikenal keshalihan dan takwa serta waranya, bersandar kepada hadits-hadits shahih dan tidak taashub madzhab, berkata sesuai dengan dalil, konsisten dengan manhaj wasath (pertengahan), tidak terlalu ekstrim dan memberatkan, atau terlalu longgar dan mempermudah, dan dia adalah orang yang mengetahui (khabir) terhadap apa yang kita tanyakan. Allah berfirman: (Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia. (Al-Furqan: 59). Mendengarkan penceramah yang berdakwah menyadarkan umat, menegakkan dalil dan kebenaran serta menolak kemungkaran adalah sesuatu yang amat penting dalam pembangunan pribadi di dalam rumah tangga muslim. Alhamdulillah, kaset-kaset para ulama itu sangat banyak jumlahnya. Tetapi yang penting, setiap muslim harus mengetahui ciri-ciri manhaj (metode) yang benar bagi seorang penceramah sehingga kaset-kasetnya perlu didengarkan dan yang mendengarkan aman karenanya. Di antara ciri-ciri itu adalah: <br /><br /> * Penceramah itu harus berada diatas aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, setia kepada sunnah dan meninggalkan bidah.<br /> * Hendaknya ia bersandarkan pada hadits-hadits shahih dan menghindari hadits-hadits dhaif dan palsu.<br /> * Hendaknya ia jeli dan peka dengan kondisi sosial masyarakat serta apa yang mereka alami. Ia harus bisa meletakkan obat tepat pada penyakit. Menyampaikan kepada manusia apa yang bermanfaat dan sangat mereka butuhkan.<br /> * Hendaknya ia berani menyampaikan kebenaran sesuai dengan kemampuannya dan tidak berbicara dengan batil.<br /><br />Kaset-kaset itu perlu diletakkan di laci dengan tertib sehingga gampang diambil, juga akan menjaga kaset tersebut dari hilang, rusak, atau dibuat mainan anak-anak. Kaset-kaset yang baik hendaknya kita usahakan untuk disebarkan melalui peminjaman atau menghadiahkannya untuk orang lain. Dalam pemanfaatan tape recorder ini, adalah baik dengan meletakkan alat tersebut di dapur sehingga akan memberi manfaat kepada ibu rumah tangga, juga di kamar tidur untuk bisa memanfaatkan waktu hingga saat terakhir menjelang kita tidur.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Mengundang Orang-orang Shalih, Ulama, dan para Penuntut Ilmu ke Rumah</span><br /><br />Firman Allah Taala : Ya Tuhanku, ampunilah aku, ibu-bapakku, orang-orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zhalim itu selain kebinasaan. (Nuh :28). Sungguh masuknya orang-orang beriman dapat menambah cahaya bagi rumahmu. Di samping itu, mengadakan pembicaraan, bertanya dan berdiskusi dengan mereka akan mendatangkan banyak sekali manfaat. Orang yang membawa kesturi mungkin akan memberikannya padamu, atau engkau membeli daripadanya, atau minimal engkau akan dapati daripadanya bau wangi semerbak. Dengan kedatangan mereka, tentu ayah, saudara dan anak-anak ada yang ikut menyambutnya, sedang para wanita akan mendengarkannya dari balik hijab tentang apa yang mereka perbincangkan. Hal itu adalah pendidikan bagi semua. Jika engkau memasukkan suatu kebaikan maka engkau telah menolak masuknya sesuatu yang jelek dan kehancuran.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Belajar Hukum-hukum Syari’at tentang Rumah</span><br /><br />Di antaranya:<br /><br />Shalat di rumah.<br /><br />Tentang shalat laki-laki, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Sebaik-baik shalat laki-laki adalah di rumahnya, kecuali shalat wajib. Adapun shalat-shalat wajib tersebut maka wajib dilakukan di masjid, kecuali ada udzur. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Shalat tathawwu (sunnah) laki-laki di rumahnya melebihi (pahala) amalan tathawwu di hadapan manusia, sebagaimana keutamaan shalat seorang laki-laki secara berjamaah dengan shalatnya sendirian. Adapun bagi wanita, semakin ke dalam tempat shalatnya dari bagian rumahnya maka semakin utama. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam : Sebaik-baik shalat kaum wanita yaitu di bagian paling dalam dari rumahnya.<br /><br />Agar orang lain tidak menjadi imam di rumahnya, dan tidak boleh duduk seseorang di tempat yang biasa diduduki oleh pemilik rumah kecuali dengan izinnya.<br /><br />Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Tidak boleh seorang laki-laki diimami di wilayah kekuasaannya, dan tidak diduduki atas kemuliannya (tempat duduknya) di rumahnya kecuali dengan izinnya. Maksudnya, tidak boleh maju untuk menjadi imam atas tuan rumah, meski sebetulnya orang lain lebih baik bacaannya daripadanya, atau orang yang memiliki kekuasaan seperti tuan rumah atau imam tetap masjid. Demikian pula seseorang tidak boleh duduk di tempat khusus tuan rumah baik itu kursi atau kasur kecuali dengan izinnya.<br /><br />Izin<br /><br />Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. Jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu:Kembali (sajalah), maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (An-Nur: 27-28). Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya. (Al-Baqarah: 189).<br /><br />Boleh masuk ke dalam rumah kosong (yang tidak berpenghuni) dengan tanpa izin manakala orang yang masuk tersebut memiliki barang di dalamnya, misalnya rumah yang diperuntukkan bagi tamu.<br /><br />Tiada dosa atasmu memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami, yang di dalamnya ada keperluanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan. (An-Nur : 29).<br /><br />Tidak mengapa makan di rumah kerabat dan rumah teman-teman serta di rumah orang lain yang kita memiliki kuncinya, jika mereka tidak membenci hal tersebut.<br /><br />Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, di rumah saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara ibumu yang laki-laki, di rumah yang kamu miliki kuncinya atau di rumah kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. (An-Nur: 61).<br /><br />Melarang anak-anak dan pembantu masuk ke dalam kamar tidur ibu bapak, tanpa izin, pada waktuwaktu istirahat (tidur).<br /><br />Yaitu sebelum shalat subuh, waktu tidur siang, setelah shalat Isya, karena ditakutkan pandangan mereka akan tertumbuk pada pemandangan yang tidak sesuai, jika melihat sesuatu tanpa sengaja pada selain waktu-waktu tersebut maka hal itu bisa ditolerir (dimaafkan). Sebab mereka adalah orang-orang yang bercampur di satu rumah dan melayani sehingga sulit untuk menghindari hal tersebut. Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari), yaitu: sebelum shalat shubuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah shalat lsya. (Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayatayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (An-Nur 58).<br /><br />Dilarang mengintip rumah orang lain, tanpa izin mereka.<br /><br />Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Barangsiapa mengintip rumah kaum (orang) lain tanpa izin, kemudian mereka mencongkel matanya, maka baginya tidak ada diyat dan tidak pula qishash<br /><br />.Wanita yang ditalak tidak boleh keluar atau dikeluarkan dari rumahnya selama waktu iddah (menunggu) dengan memberikan infak kepadanya.<br /><br />Allah berfirman: Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukumhukum Allah maka sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru. (Ath-Thalaq: 1).<br /><br />Boleh bagi laki-laki memisahkan (meninggalkan) isteri yang durhaka di dalam atau di luar rumah, sesuai dengan maslahat menurut agama.<br /><br />Adapun memisahkan diri dari isteri di dalam rumah, dalilnya firman Allah : Dan pisahkanlah diri dari di tempat tidur mereka. (An-Nisa: 34). Adapun dasar memisahkan diri dari isteri di luar rumah adalah seperti yang terjadi pada diri Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam ,ketika beliau memisahkan diri dari isteri-isteri beliau di dalam kamar-kamar mereka, dan Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam mengasingkan diri di luar rumah isteri-isteri beliau.<br /><br />Tidak menginap di rumah sendirian.<br /><br />Dari Ibnu Umar radhiyallah anhu bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melarang menyendiri, yakni seorang laki-laki menginap atau bepergian sendirian. Larangan itu disebabkan karena dengan sendirian ditakutkan akan terjadi sesuatu. Misalnya serangan musuh, pencuri, atau sakit. Adanya teman yang mendampinginya akan menolak keinginan musuh atau pencuri menyerangnya, juga akan membantunya jika dia jatuh sakit.<br /><br />Tidak tidur di lantai atas yang tidak memiliki pagar, agar tidak jatuh.<br /><br />Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Barangsiapa tidur di loteng rumah yang tidak memiliki batu (penghalang, pagar), maka sungguh aku telah lepas tanggung jawab daripadanya. Sebab orang yang tidur, terkadang - dengan tidak sadar - berguling-guling dalam tidurnya. Jika ia tidur di lantai atas/atap rumah yang tidak memiliki pagar atau pembatas yang menghalanginya, bisa jadi ia akan jatuh ke bawah yang menyebabkannya meninggal dunia. Jika hal itu terjadi,maka tak seorangpun yang berdosa karena kematiannya, semua lepas dari tanggung jawab atas kematian orang tersebut. Di samping hal itu juga menyebabkan pelecehannya terhadap penjagaan Allah padanya, sebab ia tidak mengambil langkah ikhtiar dan sebab.<br /><br />Kucing-kucing piharaan tidak menjadikan najis bejana, bila kucing tersebut minum atau makan daripadanya.<br /><br />Dari Abdullah bin Abi Qatadah, dari ayahnya, bahwasanya diletakkan untuknya bejana yang berisi air, lalu seekor kucing menjilat ke dalamnya, ia (tetap) melakukan wudhu. Mereka berkata: Hai Abu Qatadah, bejana itu telah dijilat oleh kucing. Ia menjawab: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Kucing termasuk di antara anggota keluarga, dan ia termasuk di antara yang mengitari kalian. Dalam riwayat lain: Kucing itu tidak najis, sesungguhnya ia termasuk di antara yang mengitari kalian.</div>tainkhttp://www.blogger.com/profile/12677600963245460989noreply@blogger.com0