“Biasakanlah nasihatmu (disampaikan) dalam kesendirianku Dan hindarilah (menyampaikan) nasehat di perkumpulan orang, Karena sesungguhnya nasehat di tengah orang banyak merupakan salah satu bentuk Penghinaan yang tidak aku relakan untuk mendengarnya. Jika engkau menyalahi dan melanggar ucapanku ini, Maka janganlah kecewa (kesal) jika tidak ditaati (nasehatmu)”

Jumat, 16 Januari 2009

Ibroh (Pelajaran) yang kita dapat dari Khawarij

1. Berhati‑hati supaya tidak terjatuh pada Khawarijisme (التخذير من الوقوع)

Secara sosial politik Khawarij bisa muncul kapan saja. Kemunculan pertama Khawarij dimulai dari ketidakpercayaan (‘adamuts tsiqah) sebagian mereka kepada pemimpin kaum Muslimin, yaitu Utsman bin Affan yang mereka anggap tidak adil, nepotisme, dan mengangkat orang‑orang dekatnya. Ditambah ada sosok lain yang tidak suka dengan Islam, yaitu Abdullah bin Saba, yang sangat besar pengaruhnya dalam memecah belah umat Islam. Melihat sejarah awal munculnya Khawarij, sekarang ini fenomena itu tampaknya ada.

2. Bertaubat jika sudah terjatuh (الإنقاذ إن وَقَعَ)

Sejarah pun telah membuktikan banyak umat Islam yang sudah terjatuh pada fitnah Khawarijisme. Di Mesir pada tahun 60‑an banyak kelompok yang keluar dari jama’ah yang benar dan menuduh pemimpinnya lemah, bahkan menuduh sesama muslim sebagai kafir. Untuk menghadapi orang‑orang yang sudah terjatuh pada Khawarij minimal dibutuhkan tiga cara: (1) memilih orang yang cocok untuk menghadapi mereka, (2) cara yang benar, (3) memeranginya jika diperlukan.

Ali, Ibnu Abbas, dan Umar bin Abdul Aziz dianggap orang yang cocok untuk menghadapi Khawarij disamping mereka bertiga memiliki ilmu yang dalam dan bijaksana serta pandai memilih cara yang tepat untuk menghadapi mereka.

Pada saat Ali r.a. menghadapi mereka, beliau bertanya, “Apa yang Anda rasa berat dari saya?” Mereka menjawab, “Karena Anda menyerahkan hak menghukum kepada manusia, padahal tidak ada yang berhak rnenghukum kecuali Allah.” Jawab Ali, “Apakah jika saya mendatangkan dengan dalil Al‑Qur’an kepada Anda, Anda akan kembali?” Mereka menjawab, “Kenapa tidak?” Maka Ali mengambil dalil dari Al‑Qur’an surat An‑Nisa ayat 35 yang artinya, “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakim dari keluarga laki‑laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” “Kalau pada masalah pernikahan saja Allah membolehkan mengambil hakim dari manusia apalagi masalah Khilafah!” Maka sebanyak 4.000 orang dari Khawarij bertaubat.

Begitu juga Ibnu Abbas sebagai sosok yang mampu menghadapi orang‑orang Khawarij. Suatu saat Ali mengutusnya untuk menghadapi Khawarij, maka Ibnu Abbas bertanya pada mereka, “Hal apakah yang membuat Anda dendam kepada Ali?” Mereka menjawab, “Ada tiga, pertama, dalam hal agama Allah, Ali bertahkim pada manusia; kedua, ia berperang tapi tidak menawan pihak musuh dan tidak mengambil harta rarnpasan; ketiga, waktu bertahkim ia rela meninggalkan keamirannya.” Maka jawab lbnu Abbas, “Mengenai bertahkim pada manusia apa salahnya, kemudian beliau membacakan ayat 95 dari surat AI‑Maidah. Tentang ucapan Anda, ia berperang tidak melakukan penawanan, apakah Anda menghendaki agar Aisyah, istri Rasul saw., jadi tawanan? Adapun Ali menanggalkan kekhalifahannya, Ali mencontoh Rasulullah saw. pada saat perjaniian Hudaibiyah.” Demikianlah setelah Ibnu Abbas menyelesaikan dialognya dengan sangat bijaksana, sekitar 20.000 orang Khawarij bertaubat.

Begitu juga Umar bin Abdul Aziz melakukan yang serupa dimana pada masa daulah Bani Umayyah yang paling membahayakan adalah orang‑orang Khawarij. Bahkan daulah punya pasukan khusus untuk menghadapi mereka yang dipimpin oleh Al‑Muhalab bin Abi Shufroh. Suatu saat Umar berdialog dengan salah seorang dari mereka yang bernama Al‑Bistom dan berkata, “Kami siap kembali kepada Anda dengan syarat Anda bertaubat dan melaknati Bani Umayyah.” Umar berkata, “Baiklah, apakah hal ini ada sanad tarikhnya bahwa orang yang bertaubat harus melaknati leluhurnya?” Umar melanjutkan, “Apakah Anda pernah melaknati iblis dan Fir’aun? Mengapa Anda menyuruh saya untuk melaknati orang yang kemungkinan lslamnya masih besar?”

Bukti dari ini semua menunjukkan bahwa Ali, Ibnu Abbas, dan Umar adalah figur yang cocok untuk menghadapi Khawarij berkat ilmunya yang sangat dalam dan kebijaksanaannya. Mereka juga memiliki metodologi yang baik dalam menghadapi mereka. Kebaikan cara dan kebijaksanaan Ali terbukti ketika ditanya, “Apakah Khawarij itu kafir?” Jawab Ali, “Mereka adalah orang yang berusaha lari dari kekafiran.” “Apakah mereka munafik?” Jawab Ali, “Orang munafik tidak menyebut Allah kecuali sedikit, padahal mereka orang yang banyak menyebut nama Allah.”

Kelompok Khawarij ini sangat unik. Hal ini terlihat pada kasus ketika mereka mengadakan kesepakatan untuk membunuh Ali, Muawiyah, dan Amru bin Al‑Ash. Salah seorang yang ditugaskan untuk membunuh Ali adalah Abdurrahman bin Muljam. Abdurrahman sebenarnya enggan diberi tugas untuk membunuh Ali, tapi ketika lewat pada perkampungan Khawarij dia mendapatkan orang yang tercantik di kampung itu dan bapak serta kakaknya sudah tewas terbunuh oleh Ali dalam peristiwa Harura. Perempuan itu bernama Qutom dan sangat dendam pada Ali. Ibnu Muljam berkata pada perempuan itu, “Saya ingin mengawini Anda!” “Boleh, tapi mahar apa yang akan engkau berikan pada saya?” jawab Qutom. “Apa saja yang engkau minta niscaya aku kabulkan,” balas Ibnu Muljam. Maka Qutom mengatakan, “Saya minta 30.000 hamba sahaya, budak yang bisa menyanyi, dan membunuh Ali.” “Kalau yang tiga pertama dapat saya kabulkan, tapi yang terakhir engkau jangan berharap.” Qutom kemudian berkata, “Jika Anda bisa melakukannya, saya akan sembuh dari sakit hati, Anda bisa menikahi saya. Tapi kalau tidak, maka akhirat lebih baik bagi Anda dari dunia dan segala isinya.” Maka terjadilah apa yang sudah terjadi. Dari kasus ini menunjukkan ada kasus yang terselubung dan tidak murni dalam pembunuhan Ali oleh Ibnu Muljam.

Bentuk keunikan lain, mereka adalah kelompok yang mudah dibodohi. Maka, untuk menghadapi mereka diperlukan cara khusus. Hal ini pernah terjadi pada Amru bin Ubaid, salah seorang tokoh Mu’tazilah. Suatu saat ia lewat perkampungan Khawarij dengan ternan‑temannya dan dihadang oleh mereka seraya berkata, “Mana kawan‑kawan Anda, tadi kelihatan banyak?” Jawab Arnru dengan menyitir ayat 6 surat At‑Taubah, “Kami orang yang musyrik yang meminta perlindungan agar dapat mendengar firman Allah.” “Boleh, kami melindungi Anda sekalian. Pergilah, Anda mendapat perlindungan.” Tapi Amru merasa belum aman karena perkampungan Khawarij masih panjang, maka dia berkata, “Tidak begitu. Antarkanlah ia ke tempat yang aman.” Maka orang‑orang Khawarij tadi mengantarkannya. Peristiwa ini menunjukkan pemikiran orang-orang Khawarij yang sangat sederhana yang mengakibatkan mudah diperdaya dengan logika yang sangat sederhana. Sehingga untuk menghadapi mereka, dibutuhkan cara yang tepat dan tidak perlu logika yang berat‑berat.

Cara yang ketiga, memeranginya jika dianggap perlu. Hal ini terbukti ampuh dan juga pernah dilakukan Ali r.a. Pada masa Daulah Abbasiyah kekuatan mereka secara politis sudah bisa dilumpuhkan, kalaupun masih ada hanya bekas‑bekas atau pengaruh pemikiran mereka dan dalam bentuk nilai seperti menyesatkan dan menganggap kafir orang muslim.

3. Mensyukuri pemahaman yang benar (الشكر على الفهم الصحيح)

Kalau kita melihat betapa orang yang ibadahnya sangat rajin, pandai bahasa Arab, masih bisa salah dalam memahami Islam bahkan dicap oleh Rasul sebagai anjingnya ahli neraka, ini menunjukkan betapa besarnya nikmat pemahaman yang benar yang diberikan Allah pada kita.

Salah seorang ulama salaf berkata:

لا أدري بآية إحدى النعمتين أشكر أبالفهم الصحيح أوالتجنيب من البدع

“Saya tidak tahu bagaimana saya harus bersyukur dengan nikmat memahami Islam dengan benar atau mampu menjauhi dari bid’ah.”

0 komentar: