“Biasakanlah nasihatmu (disampaikan) dalam kesendirianku Dan hindarilah (menyampaikan) nasehat di perkumpulan orang, Karena sesungguhnya nasehat di tengah orang banyak merupakan salah satu bentuk Penghinaan yang tidak aku relakan untuk mendengarnya. Jika engkau menyalahi dan melanggar ucapanku ini, Maka janganlah kecewa (kesal) jika tidak ditaati (nasehatmu)”

Kamis, 01 Januari 2009

Secangkir Kopi Pagi (Refleksi Hati)

Muslich Taman

oleh : M. Nurkholis Ridwan

Ada baiknya kita merenungkan betapa dahsyatnya energi yang kita keluarkan jika dilandasi dengan hati. Betapa ampuh kata-kata yang keluar dari lubuk hati terdalam. Betapa bertenaga, begitu bergigi. Ia bisa menyejukkan amarah yang meluap, bisa membakar hati yang dibungkus selimut salju beku. Guratan kata-kata yang mengalir dari pena hati, bahkan bisa membuat samudera kalbu pembaca bergemuruh, diaduk gelora semangat, harapan dan impian.

Di sinilah kita hidup. Di suatu penggal masa dimana kepura-puraan adalah suatu hal yang biasa. Saat muamalah terasa tak lengkap tanpa basa-basi diplomasi. Ketika kemunafikan sering kali jadi tuntutan. Pada suatu episode dimana kejujuran seringkali ditertawakan karena sudah ketinggalan zaman.

Tapi orang lupa, kejujuran tak pernah mengenal tren atawa musim. Ia tak pernah lekang digerus waktu, atau punah dicacah tahun. Kejujuran adalah tentang bagaimana orang berkata dan berpenampilan apa adanya. Our words is our guarantee. Kata-kata kita adalah jaminan kita. Kejujuran adalah tentang bagaimana kita hidup yang semestinya. Semestinya jujur. Maka begitulah adanya.

Maka tak heran jika Rasul melarang dusta, dalam sebuah sabdanya, dalam sebuah frasa yang diuntaikan secara berturut-turut. Sebuah bentuk repetisi yang bermakna penekanan terhadap umatnya agar selalu jujur dan jujur. Karena, seperti disebutkan dalam sebuah hadits sahih, dusta dapat menghantarkan pada dosa, dan dosa dapat berujung pada neraka. Dan kita lalu seperti terasing, sendirian, di sebuah lorong yang panjang. Kita seperti aneh. Gharib. Tapi bukankah Islam itu datang dalam keadaan asing dan kembali dalam keadaan asing. “Maka berbahagialah orang-orang yang asing itu,” kata Rasulullah. “Yaitu orang-orang yang melakukan ishlah (perbaikan) di masa kerusakan.”

“Hati mengaktifkan nilai-nilai kita yang terdalam, mengubahnya dari sesuatu yang kita pikir menjadi yang kita jalani. Hati mampu mengetahui hal-hal mana yang tidak boleh, atau tidak dapat diketahui oleh pikiran kita. Hati adalah sumber keberanian dan semangat, integritas serta komitmen. Hati adalah sumber energi dan perasaan mendalam yang menuntut kita untuk melakukan pembelajaran, menciptakan kerjasama, memimpin, dan melayani,” kata Robert K. Cooper, seorang motivator.

Tapi hati kadang kala pula keruh. Jika keruh, maka binasalah semua amal perbuatan. Jika baik, maka baik pulalah seluruh tubuh. Karena itu, hati harus selalu dibasuh. Shalat lima waktu yang dilakukan dengan khusyuk akan menjaga bening kalbu. Dzikir yang dilantunkan dengan tulus ikhlas akan memompakan kesejukan ke dalam setiap rongga jiwa. Berbuat baik kepada sesama akan mengasah kepekaan hati, memantapkan rasa syukur dan memudahkan kita untuk memaknai hidup yang lebih positif.

Maka, lakukanlah semua kebaikan dari hati yang terdalam. Tentu dengan sepenuh keikhlasan. Bukan karena apa atau kenapa-napa. Tapi memang begitulah semestinya.

Sumber : kautsar.co.id

0 komentar: