“Biasakanlah nasihatmu (disampaikan) dalam kesendirianku Dan hindarilah (menyampaikan) nasehat di perkumpulan orang, Karena sesungguhnya nasehat di tengah orang banyak merupakan salah satu bentuk Penghinaan yang tidak aku relakan untuk mendengarnya. Jika engkau menyalahi dan melanggar ucapanku ini, Maka janganlah kecewa (kesal) jika tidak ditaati (nasehatmu)”

Kamis, 11 Desember 2008

Hanya Pada-Nya Kita Berserah

Manusia merupakan makhluk Allah yang lemah, sehingga untuk mencapai tujuannya dia sering menyerahkan urusannya, atau meminta tolong kepada orang lain, lebih-lebih dalam hal yang dia tidak mampu menyelesaikannya sendiri. Masalahnya, di antara mereka banyak yang sampai menggantungkan diri dan nasibnya kepada selain Allah ta’ala. Sungguh itu merupakan kesalahan dan kebinasaan.

Sebaliknya, jika dia menggantungkan dan menyerahkan diri dan nasibnya hanya kepada Allah, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya dan hal tersebut merupakan keberuntungan yang besar.

Ibadah Mulia

Tawakkal secara bahasa berarti ‘tafwidh’ yang artinya ‘pasrah dan menyerahkan sebuah perkara.’ Sedangkan secara istilah tawakkal berarti bergantung dan bersandar kepada ‘sesuatu’ dalam rangka memperoleh suatu kebaikan atau terhindar dari sebuah perkara yang tidak baik. Tawakkal merupakan sebuah amalan hati dan ibadah yang sangat agung. Imam Ahmad v berkata, “Tawakkal adalah perbuatan hati.” Allah ta’ala berfirman,

“Dan hanya kepada Allah hendaklah kalian bertawakkal, jika kalian benar-benar orang yang beriman .” (Al-Maidah: 23)

Imam Ibnul Qayyim berkata dalam memberikan makna ayat tersebut, “Allah menjadikan tawakkal kepada-Nya sebagai syarat dalam keimanan, maka tidak adanya tawakkal menunjukan tidak adanya keimanan.”

Tawakkal, Sifat Orang Mukmin

Orang yang beriman adalah orang yang hanya bersandar dan bergantung kepada Allah semata, tidak menggantungkan dirinya dan pasrah kepada selain Allah di dalam mencapai apa yang mereka inginkan, seperti mencari keselamatan , rezeki, kesembuhan, dan yang lainnya.

Allah ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka karenanya, serta kepada Tuhan merekalah mereka bertawakkal.” (Al-Anfal: 2)

Imam Bukhari dan An-Nasa’i meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa dia berkata,

“Cukuplah Allah bagi kami dan Allah sebaik-baik pelindung”

Kalimat ini diucapkan oleh Ibrahim p ketika dia dilemparkan ke dalam api, dan diucapkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika kaumnya berkata kepada beliau,

“‘Sesungguhnya orang-orang (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka.’ Tetapi perkataan itu malah menambah keimanan mereka. Dan mereka berkata, ‘Cukuplah Allah menjadi pelindung kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.’”(Ali Imran:173)

Nabi mengucapkan kalimat ini ketika serombongan dari Abdul Qois yang pergi ke kota Madinah menyampaikan pesan Abu Sufyan kepada beliau, bahwa dia (Abu Sufyan) bersama-sama dengan orang-orang Quraisy akan menyerang dan menghancurkan nabi dan para sahabatnya. Itulah ucapan dua kekasih Allah ketika berada di dalam kesulitan. Mereka hanya bersandar, bergantung dan pasrah kepada Allah semata.

Jangan Tawakkal kepada Selain-Nya

Jika tawakkal adalah sebuah ibadah yang mulia, maka hal tersebut tidak boleh diserahkan kepada selain Allah. Jika seseorang bersandar, bergantung, dan pasrah kepada selain Allah berarti dia telah melakukan kesyirikan, dosa yang paling besar dan tidak akan diampuni jika dia tidak bertaubat. Lalu kapankah tawakkal seseorang merupakan kesyirikan?

1. Jika seseorang tersebut bersandar dan bergantung kepada makhluk di dalam perkara-perkara yang merupakan kemampuan bagi Allah semata. Misalnya seseorang yang bergantung dan bersandar kepada dukun untuk memperoleh kesembuhan, keselamatan, rezeki, dan keturunan.

2. Bersandar dan bergantung kepada orang-orang yang sudah mati, karena meyakini bahwa si mayit tersebut bisa mewujudkan perkara yang dia inginkan. Hal ini jelas-jelas merupakan kebodohan, karena orang yang sudah mati telah terputus usahanya dan tidak akan bisa menolong orang yang masih hidup. Allah ta’ala berfirman,

“Apakah mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang tidak dapat menciptakan apa-apa bahkan mereka adalah ciptaan Allah. Dan sesembahan-sesembahan selain Allah tersebut tidak mampu memberika pertolongan kepada orang-orang musyrik, dan kepada dirinya sendiri pun sesembahan-sesembahan itu tidak mampu memberikan pertolongan” (Al-A'raf: 191-192)

3. Bersandar dan bergantung kepada benda padat (batu, pohon, akik, gelang, keris, dan lain-lain). Ketika ada seseorang yang memakai gelang kuningan untuk menangkal penyakit, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang tersebut,

“Lepaslah gelang itu, karena gelang itu hanya akan menambah kelemahan pada dirimu, dan jika kamu mati sedang gelang itu masih ada pada tubuhmu, kamu tidak akan beruntung selama-lamanya.” (Riwayat Ahmad)

4. Bersandar dan bergantung kepada sebab, seperti bergantung kepada seorang dokter yang ahli di bidangnya untuk mendapatkan kesembuhan, atau yakin pasti tidak akan terjadi kecelakaan karena disopiri oleh seorang yang ahli menyopir, atau pasti akan menang dalam pertempuran karena banyaknya pasukan. Ini semua tidak boleh ada dalam hati kita. Memang benar kita diperintahkan untuk menempuh sebab-sebab yang benar, namun tetaplah Allah penentu hasil yang kita usahakan. Oleh sebab itu hanya kepada-Nya kita bersandar.

“Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (kebutuhannya).” (At-Thalaq: 3)

(Abu Khonsa')

Sumber:

· Fathul Majid (Abdurrahman Hasan Alu Syaikh)

· Syarh Ushul Ats-Tsalatsah (Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin)

· Syarh Ushul Ats-Tsalatsah (‘Aliy Al-Khodir)

0 komentar: