“Biasakanlah nasihatmu (disampaikan) dalam kesendirianku Dan hindarilah (menyampaikan) nasehat di perkumpulan orang, Karena sesungguhnya nasehat di tengah orang banyak merupakan salah satu bentuk Penghinaan yang tidak aku relakan untuk mendengarnya. Jika engkau menyalahi dan melanggar ucapanku ini, Maka janganlah kecewa (kesal) jika tidak ditaati (nasehatmu)”

Kamis, 11 Desember 2008

Memuji Dirinya Sendiri

“Lihatlah saya bisa menyelesaikan pekerjaan ini dengan cepat…”
“Ini lho saya …”
“Akulah orang yang paling…”
image8.jpg
Mungkin kalimat-kalimat di atas sering terdengar di telinga kita, atau bahkan terucap dari lisan kita sendiri. Pujian terhadap diri sendiri adalah hal yang sering dilakukan oleh anak Adam.
Perasaan bangga pada diri sendiri itu terucap seiring dengan sedikit kelebihan yang dimiliki manusia. Bagaimana Islam memandang hal ini?
Berikut penjelasan Syekh Ibnu Utsaimin tentang hukum seseorang yang memuji dirinya sendiri:
Pujian terhadap diri sendiri, apabila dimaksudkan untuk menyebutkan nikmat Allah l atau agar kawan-kawannya mengikutinya, maka hal ini tidak apa-apa. Jika orang ini bermaksud dengan pujiannya untuk menyucikan dirinya dan menunjukkan amal ibadahnya kepada Rabb-nya, maka perbuatan ini termasuk minnah, hukumnya tidak boleh (haram). Firman Allah l,

"Mereka telah merasa memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, 'Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar.'" (Al-Hujurat: 17)
Jika tujuannya hanya untuk menggambarkan, maka hukumnya tidak apa-apa (boleh). Namun yang paling baik adalah meninggalkan hal itu.
Jadi, kondisi-kondisi seperti ini, yang mengandung pujian seseorang kepada dirinya sendiri terbagi kepada empat bagian:
Kondisi pertama: ia ingin menyebut nikmat Allah yang diberikan-Nya kepadanya berupa iman dan ketetapan hati.
Kondisi kedua: ia ingin agar orang-orang semisalnya menjadi rajin ibadah seperti yang dikerjakannya. Kedua kondisi ini adalah baik karena mengandung niat yang baik.
Kondisi ketiga: ia ingin berbangga-bangga dan tabah serta menunjukkan kepada Allah yang ada padanya berupa iman dan ketetapan hati. Ini tidak boleh berdasarkan ayat yang telah kami sebutkan.
Kondisi keempat: ia hanya ingin mengabarkan tentang dirinya sebagaimana adanya berupa iman dan ketetapan hati. Ini boleh, namun sebaiknya ditinggalkan.
Kesimpulan redaksi:
Ada beberapa hukum berkaitan dengan memuji diri sendiri, yaitu:
1. Boleh dan baik jika mengandung niat yang baik seperti,
- Ia ingin menyebut nikmat Allah yang diberikan-Nya kepadanya berupa iman dan ketetapan hati.
- Ia ingin agar orang-orang semisalnya menjadi rajin ibadah seperti yang dikerjakannya.
2. Tidak boleh jika ia ingin berbangga-bangga dan tabah serta menunjukkan kepada Allah yang ada padanya berupa iman dan ketetapan hati. Sebagaimana firman Allah l,
"Mereka telah merasa memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, 'Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar.'" (Al-Hujurat:17)
3. Boleh namun sebaiknya ditinggalkan apabila ia hanya ingin mengabarkan tentang dirinya sebagaimana adanya, berupa iman dan ketetapan hati.
Namun, jika membanggakan diri sendiri disertai dengan bersikap sombong maka hal tersebut diharamkan oleh Rasulullah sebagaimana sabdanya n dari Abu Hurairah z,
"Pada suatu ketika ada seorang lelaki yang berjalan dengan mengenakan pakaian yang merasa heran -bangga- dengan dirinya sendiri, ia menyisir rapi-rapi akan rambutnya lagi pula berlagak sombong di waktu berjalan, tiba-tiba Allah membenamkannya, maka tenggelamlah ia ke dalam bumi sehingga esok hari kiamat." (Muttafaq 'Alaihi)
Semoga Allah senantiasa memudahkan kita semua dalam menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, sekecil apa pun bentuknya. Wallahu a'lam bishawab

Sumber : Majmu’ Fatawa wa Rasa'il Syaikh Ibnu Utsaimin yang disalin dari Al-Fatawa asy-Syar'iyyah Fi al-Masa'il al-'Ashriyyah Min Fatawa Ulama' al-Balad al-Haram edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini 3, penerbit Darul Haq.

0 komentar: