“Biasakanlah nasihatmu (disampaikan) dalam kesendirianku Dan hindarilah (menyampaikan) nasehat di perkumpulan orang, Karena sesungguhnya nasehat di tengah orang banyak merupakan salah satu bentuk Penghinaan yang tidak aku relakan untuk mendengarnya. Jika engkau menyalahi dan melanggar ucapanku ini, Maka janganlah kecewa (kesal) jika tidak ditaati (nasehatmu)”

Kamis, 11 Desember 2008

Musuh di Akhirat

Musibah gempa bumi yang melanda Jogjakarta dan Jawa Tengah ternyata dimaknai berbeda-beda oleh masyarakat. Ada yang tersadar lalu kembali pada Rabb-nya. Ada pula yang mengganggapnya sebagai peristiwa alami saja. Dan yang patut disesalkan, banyak orang minta bantuan dan perlindungan (istighatsah) kepada “Penguasa Laut selatan”.

Mitos “Penguasa Laut Selatan” memang sangat populer dan melekat di tanah Jawa. “Penguasa Laut Selatan” itu sangat ditakuti dan dipercaya bisa mendatangkan dan menghilangkan bahaya. Tak heran jika dalam situasi sulit, masyarakat semakin berbondong-bondong mengadu kepada “Sang Ratu”.

Padahal, “Sang Ratu” itu tak mampu menolak Kuasa Allah ta’ala. Dan di akhirat kelak, “Sang Ratu” pun akan menjadi musuh para penyembahnya. Inilah yang tidak diketahui orang-orang yang ber-istighatsah dengan cara yang menyelisihi syariat.

Istighatsah adalah Ibadah

lstighastah artinya minta bantuan agar selamat dari kebinasan dan kehancuran. lstighastah termasuk ibadah, oleh karena itu dilakukan hanya kepada Allah ta’ala tidak boleh kepada jin dan makhluk. Caranya pun harus sesuai dengan syariat, tidak dengan cara bid’ah.

Dan istighatsah yang yang paling utama dan sempurna adalah minta tolong kepada Allah ta’ala saja. Ini juga merupakan kebiasaan para rasul dan pengikutnya. Contohnya saat terjadi perang Badar, tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat musuhnya (kaum musyrikin) berjumlah 1000 orang, sedangkan pasukannya hanya 300 orang. Nabi pun berdoa minta bantuan kepada Allah ta’ala. Akhirnya Allah mengabulkan doa beliau. (lihat surat Al-Anfal: 9)

Adapun ber-istighatsah minta perlindungan kepada jin (termasuk Ratu Laut Selatan), minta bantuan “wali-wali”/orang salih yang telah meninggal dunia, ke dukun dan paranormal untuk minta zimat dan penangkal, atau bersedekah bumi/laut dengan menyembelih binatang ternak ditujukan kepada jin dan makhluk jahat lainnya, itu merupakan cara-cara bid’ah dan termasuk perbuatan syirik. Sebab Allah ta’ala berfirman,

“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi?Apakah di samping Allah ada sesembahan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya).” (An-Naml: 62)

Bagaimana mungkin doa mereka dikabulkan (walaupun tenaga dan harta mereka curahkan), sedangkan mereka masih bermaksiat dan syirik?

Mereka tiada kuasa

Sebenarnya, jika orang yang mengaku muslim mau melihat kitab sucinya, tentu akan mendapati bahwa perbuatannya itu tidak akan membawa manfaat. Namun, mengekor kebiasaan nenek moyang dan bodoh dalam ilmu agama menyebabkan manusia tidak tahu jika telah berbuat kesalahan yang berakibat fatal. Bagaimana mungkin jin dan makhluk lainnya mampu menolak musibah/bencana, padahal itu sudah dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa? Allah ta’ala berfirman,

“Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yunus: 107)

Sungguh hal itu akan semakin jelas ketika kita perhatikan hadits Ibnu Abbas yang diantaranya disebutkan, “Ketahuilah, bahwa umat ini apabila mereka bersatu untuk memberimu suatu manfaat, niscaya mereka tidak dapat memberimu manfaat apapun kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan Allah ta’ala bagimu.”

Musuh di Akhirat

Sudah jatuh tertimpa tangga, mungkin ini ungkapan yang tepat digunakan untuk menggambarkan orang yang salah dalam ber-istighatsah. Maksud hati ingin dihindarkan dari bencana, ternyata yang dimintai tak punya kuasa apa-apa.

Bahkan, di akhirat kelak, yang disembah itu malah mengingkari dan menjadi musuh para penyembahnya. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman,

"Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doanya) sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan)doa mereka. Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat) niscaya sembahan-sembahan mereka itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka". (Ahqaf : 5-6)

Di hari perhitungan kelak, para sesembahan yang mereka mintai perlindungan dan pertolongan menjadi musuh mereka, sebab para sesembahan itu mengingkari apa yang dilakukan para penyembahnya. Mereka berlepas diri dari pemujaan para penyembahnya itu. Coba kita perhatikan firman Allah ta’ala berikut ini,

“(ingatlah) suatu hari (ketika) Allah menghimpunkan mereka beserta apa yang mereka sembah selain Allah, lalu Allah berkata (kepada yang disembah), ‘Apakah kamu yang menyesatkan hamba-hamba-Ku itu, atau mereka sendirikah yang sesat dari jalan (yang benar)?’ Mereka (yang disembah itu) menjawab, ‘Maha Suci Engkau tidaklah patut bagi kami mengambil selain Engkau (jadi) pelindung, akan tetapi Engkau telah memberi mereka dan bapak-bapak mereka kenikmatan hidup, sampai mereka lupa mengingat (Engkau), dan mereka adalah kaum yang binasa.’” (Al-Furqan : 17-18)

Untuk itu, jika kita tertimpa bencana/musibah, seharusnya menjadikan kita tersadar dan segera kembali kepada Allah ta’ala saja. Bukan semakin menjauh dengan meminta perlindungan kepada yang tak berhak dan tidak punya kuasa sedikit pun. (nida)

Sumber: Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, Fathul Majid Syarah Kitab Tauhid (edisi revisi), Cet. IV, Pustaka Azzam, Jakarta, 2003.

0 komentar: