“Biasakanlah nasihatmu (disampaikan) dalam kesendirianku Dan hindarilah (menyampaikan) nasehat di perkumpulan orang, Karena sesungguhnya nasehat di tengah orang banyak merupakan salah satu bentuk Penghinaan yang tidak aku relakan untuk mendengarnya. Jika engkau menyalahi dan melanggar ucapanku ini, Maka janganlah kecewa (kesal) jika tidak ditaati (nasehatmu)”

Kamis, 11 Desember 2008

Merana Saat Suami Tiada

Tanpa suami di sisi? Jelas tidak enak, mengerjakan segala sesuatu sendiri, dari urusan rumah hingga momong anak. Belum lagi kalau anak sakit atau kita sendiri yang sakit. Wah, jadi tambah tidak enak. Tapi itulah hidup yang harus ikhlas dijalani sebagian ummahat, karena suami kerja di rantau.

Suami tak bisa pulang tiap hari karena jarak yang jauh. Paling cepat pulang tiap akhir pekan. Yang lain cuma bisa pulang sebulan sekali usai terima gaji. Alhamdulillah. Soalnya ternyata ada ummahat lain yang baru bisa jumpa suami setelah berbulan-bulan, bahkan cuma setahun sekali! Itu pun cuma beberapa hari, paling banter dua minggu.

Mau dengar cerita seru juga haru para ummahat, lengkap dengan suka duka mereka saat ditinggal “pejuang maisyah” mereka di rantau? Simak perbincangan NIKAH dengan beberapa responden.

KANGEN, ITU PASTI

Ummu Fawwaz, 26 tahun, ibu satu anak yang tinggal di Kandangan Benowo Surabaya ini, sembari tersenyum bercerita tentang suka duka ditinggal suami berlayar.

“Kangen itu pasti. Kebersamaan dengan istri dan anak jadi kurang, soalnya suami berlayar bisa tiga bulan, kadang lebih. Tidak enaknya lagi, suami kan kerja di laut jadi sering kepikiran, gitu.”

Tak jauh beda, hal sama juga dituturkan oleh Ummu Daud, 31 tahun, ibu dua putra ini juga suka kangen dan harus mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri.

“Kalau ada suami di rumah, ada yang bantu. Saat suami di rantau kita harus jadi ‘superwoman’ di rumah. Tenaga dan pikiran harus ekstra sih. Tapi alhamdulillah, tiap dua pekan suami bisa nengok anak- anak.”

MESKI JAUH, KOMUNIKASI JALAN TERUS

Meski berjauhan, bukan berarti komunikasi tak terjalin. Malah sebaliknya, intensitas komunikasi mereka lebih sering meski terbatas. Pulsa jebol tak masalah, yang penting kemesraan makin bertambah. Setidaknya itu yang diungkapkan oleh responden Nikah kali ini.

Ummu Saddam, 35 tahun, ummi dari dua anak ini merasa bersyukur komunikasi dengan suami terjalin bagus. Dari soal anak- anak hingga keadaan rumah tak ada yang lewat dari obrolan via handphone. Alhamdulillah ia tak pernah punya masalah serius saat suami jauh.

Ummu Fawwaz dan Ummu Daud tak jauh beda. Mereka bisa mengatasi masalah sendiri. Sejauh ini komunikasi dengan suami lancar-lancar saja, hingga saat bertemu pun komunikasi mereka tak canggung. Kehidupan mereka juga rukun.

Kehidupan “normal” seperti pasangan pasutri pada umumnya, adalah keinginan terdalam mereka. Bisa kumpul suami tiap hari, siapa yang tak ingin? Bagaimanapun, mereka tetap bersyukur, ada hikmah yang tetap bisa diambil, mereka jarang bertengkar karena jarang bertemu. Sebaliknya mereka tambah rukun dan mesra, kian saling bisa menghargai satu sama lain.

LEBIH DEKAT PADA ALLAH ta'ala

Ternyata responden kita ini punya kiat mengusir sepi dan kesendirian saat ditinggal suami.

Ummu Fawwaz yang telah satu setengah tahun menikah dan ahli membuat kue, membuka rahasia tetap bahagianya bersama suaminya. “Sabar dan pasrah pada Allah ta'ala. Banyak doa itu pasti. Selain itu, pandai menjaga diri dan mendekatkan diri pada Allah ta'ala, membuat saya lebih terjaga, tidak berat melalui kesendirian. Dan lagi saya manfaatkan waktu untuk konsentrasi pada anak dan dekat dengan anggota keluarga lain serta orang tua. Karena selama suami jauh, keluarga di rumahlah yang kita miliki dan menjaga kita.”

Ia juga menambahkan, “Saya jadi merasa tambah dekat sama Allah ta'ala. Kalau lagi sendiri, mengadunya sama Allah. Apalagi kalau lagi ada masalah di rumah, cerita ke suami takut nambah pikiran, mengganggu konsentrasi kerja. Misal saja kalau anak pas sakit atau tiba- tiba kangen suami. Semua saya kembalikan kepada Allah ta'ala dan sabar.” Mata Ummu Fawwaz tampak berkaca saat menuturkan ini. “Tapi semua ada hikmahnya juga kok, jadi lebih mandiri….”

Sementara Ummu Daud memaparkan, “Kalau ana sih kebetulan suka baca, jadi setelah pekerjaan rumah selesai ana pakai untuk baca buku atau ngajak anak-anak ke taklim, ke rumah mertua atau kegiatan bermanfaat lainnya. Banyak mohon kesabaran dan berdoa itu sudah pasti, tidak absen tiap waktu. Apalagi ana cuma sama anak-anak di rumah. Inginnya sehat terus agar bisa menjaga anak- anak. Kondisi fisik pun harus selalu fit karena ana harus mengerjakan apa-apa sendiri. Tapi tetap senang saja kok. Alhamdulillah semua bisa jalan.”

Ternyata para ummahat ini sungguh luar biasa, meski harus jadi “single parent” selama suami bekerja di rantau. Tanggung jawab dan keseriusan mereka untuk tetap menjaga diri, menjalankan segudang pekerjaan rumah layak diacungi jempol. Tak mudah, tapi mereka telah membuktikan. Ikhlas dan sabar adalah kunci mereka bisa menjalani semua itu. Nah, bisa kebayang kan bagaimana jika suami tiada, untuk itu bagi para janda jangan biarkan kondisi seperti berlangsung terlalu lama.

(Ummu Nabhan)

0 komentar: