“Biasakanlah nasihatmu (disampaikan) dalam kesendirianku Dan hindarilah (menyampaikan) nasehat di perkumpulan orang, Karena sesungguhnya nasehat di tengah orang banyak merupakan salah satu bentuk Penghinaan yang tidak aku relakan untuk mendengarnya. Jika engkau menyalahi dan melanggar ucapanku ini, Maka janganlah kecewa (kesal) jika tidak ditaati (nasehatmu)”

Kamis, 11 Desember 2008

Tidak Cukup Jadi Tauhidolog

Ah, Apa sih manfaat mempelajari tauhid asma wa shifat Allah?! Dari dulu hingga sekarang kita tidak melihat dan merasakan manfaat sama sekali! Mending mempelajari hal-hal lain yang lebih terasa riil.

Dua belas tahun lalu kalimat itu pernah terucap dari seorang penggiat dakwah. Bukan bermaksud mengangkat masalah, tapi menarik untuk mengungkit latar belakang ucapan tersebut. Tidak bisa dipungkiri, di kalangan muslimin, ada sebagian yang merasa alergi untuk mempelajari masalah tauhid. Dalam pandangannya, tauhid dianggap sebagai ilmu yang tidak memberikan kontribusi bagi kebaikan masyarakat.

Ada Dua Sebab

Munculnya rasa tidak menerima ilmu tauhid memang bisa disebabkan oleh penyimpangan fitrah manusia. Sekelompok manusia, yang kemudian disebut mu’tazilah, menolak penyifatan bahkan penamaan Allah. Alasan mereka tidak ingin menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, sebuah alasan yang baik tapi salah jalan dan salah makna, sekaligus salah penempatan.

Dari pemikiran mereka yang terus berkembang inilah muncul manusia awam yang akhirnya ikut merasa tidak perlu mempelajari ilmu tauhidullah, khususnya tentang asma (nama-nama) dan shifat (sifat-sifat) Allah. Sepak terjang kelompok ini memang begitu gencar, khususnya zaman sekarang dengan sokongan dana yang begitu besar dari negara barat.

Sementara dari orang-orang yang mempelajari ilmu ini pun terkadang memunculkan sikap yang justru menguatkan kesan pendapat pertama. Orang-orang yang belajar tentang asma dan shifat pun kadang tidak jarang menunjukkan bahwa mereka kesulitan mendapat manfaat dari ilmu tersebut.

Ilmu sekadar hafalan, adalah salah satu faktor penyebabnya. Ini merupakan kesalahan yang cukup fatal. Sangat mungkin didasari kesalahan memahami pesan Al-Imam Syafi’i tentang ilmu, bahwa ilmu di dalam dada, bukan yang ada dalam lembaran kertas. Salahkah menghafal pelajaran, khususnya dalam agama? Tentu tidak! Tapi ilmu tidak cukup dihafal!

Butuh perenungan yang menyentuh jiwa. Ini faktor yang sering dilupakan orang. Bukankah ilmu adalah dasar pemahaman agama Islam. Ketika ilmu tidak mampu menyentuh jiwa maka seorang yang berlajar ilmu tidak akan tersibghah oleh ajaran Allah. Bagaikan kaum orientalis yang memandang Islam sekadar sebagai ilmu, tidak lebih! Tidak heran orientalis yang bisa hafal Al-Quran maupun hadits tapi tidak bisa mendapatkan manfaat dari keduanya. Statusnya tetap sebagai orang kafir yang fitrahnya tidak terluruskan. Perilakunya tidak menunjukkan sebagai orang yang beriman.

Perlu Penjiwaan

Keikhlasan merupakan ruh semua amalan. Tanpa keikhlasan semua amal akan berlalu sia-sia, mungkin bisa memberi manfaat bagi orang lain, tapi tidak untuk pelakunya. Karena itulah mempelajari ilmu tauhid asma dan sifat Allah pun tidak bisa tidak mesti dilandasi dengan rasa ikhlas. Keikhlasan ini memudahkan orang menjiwakan ilmu tersebut dalam dirinya.

Penjiwaan ilmu akan menjadikannya mencelup perilakunya dalam hidup keseharian. Bukankah setiap ilmu mesti diterapkan dalam kehidupan manusia sehari-hari? Sami’ dan Bashir, misalnya. Merupakan sebagian nama Allah yang disebutkan-Nya dalam Al-Quran.

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Melihat.” (Asy-Syura:11)

Allah menamakan diri-Nya dengan As-Sami’ dan Al-Bashir. Sudah keharusan setiap muslim untuk mengimani nama ini. Nama ini menunjukkan bahwa Allah punya sifat melihat dan mendengar. Tentu tidak bisa serupakan sifat melihat dan mendengar Allah dengan sifat manusia. Yang jelas Allah menegaskan bahwa Diri-Nya melihat dan mendengar. Bagaimana cara melihat dan mendengar di luar kemampuan manusia, karena selain tidak dijelaskan oleh-Nya juga tidak akan mampu digali dengan akal.

Yang sering dilupakan adalah bagaimana nama dan sifat Allah tersebut mampu memberi warna dalam kehidupan setiap muslim. Sehingga tidak sekadar meyakini sifat dan nama-Nya, tapi juga menyadari bahwa sifat Allah membawa tuntutan dalam diri seorang muslim. Kalau Allah mendengar tentu akan mendengar setiap ucapan setiap makhluk-Nya. Oleh sebab itu tidak layak bagi seorang muslim untuk berbicara semaunya? Dia harus menjauhi dusta. Namimah dan ghibah, serta omongan yang profokatif adalah hal buruk yang dibencinya. Karena semua omongan jelek yang keluar dari lisannya pasti didengar oleh-Nya. Karena yakin kalau Allah mendengar, perilakunya adalah refleksi keyakinan bahwa bukan hanya dirinya dan lawan bicara yang mendengarnya. Bukankah Allah telah mengharamkan kelaliman? Yang menyebabkan kita tak pernah sekalipun berpikir untuk melakukannya.

Sifat melihat pun begitu. Tidak sedikit yang meyakininya, tapi sulit menemukan orang yang selalu merasa dilihat oleh Allah. Seharusnya tertanam dalam benak setiap muslim , bahwa Allah ta’ala tidak hanya melihat perbuatan baiknya, tetapi juga mengetahui perbuatan buruk dan tercela yang boleh jadi tertutup dari penglihatan manusia. Oleh sebab itu adalah sesuatu yang ironis bila seorang muslim yang harusnya selalu merasa dilihat Allah ta’ala , melakukan hal-hal yang tercela untuk mendapatkan keuntungan duniawi sementara di akhirat nanti niscaya mendapatkan kerugian. Mestinya seorang muslim merasa takut untuk melakukan perbuatan buruk dan tercela, karena Allah ta’ala begitu mengawasi setiap gerak-geriknya.

Silahkan saja orientalis menjadi islamolog karena menempatkan ajaran Islam sekadar ilmu tanpa amalan, tapi seorang muslim jangan sampai hanya sekadar menjadi seorang tauhidolog, menjadikan Tauhid sekadar ilmu dan bahan pelajaran, tanpa disertai keimanan yang mendalam hingga membentuk perilaku muslim yang baik dan terpuji. Wallahu a’lam.

0 komentar: